Hancur, itu yang Bobby rasa. Sama sekali tak terbayang bahwa hidupnya akan tiba-tiba terbalik seperti ini. Porak poranda dalam sekejap. Dengan lunglai Bobby masuk ke dalam kamar. Terduduk di kursi dengan tatapan kosong.
"Tuhan, apa yang Kau mau? Mengapa jadi begini?" Bobby mengepalkan kedua tangannya yang ada di atas meja. Berusaha menahan air mata yang mulai meleleh di pelupuk matanya.
"Yuan ..." Muncul wajah cantik kekasihnya di pikirannya. Dengan rambut indahnya yang sudah kembali panjang. "Bagaimana bisa aku mengatakan ini padamu? Kamu pasti akan kacau. Keadaanmu belum begitu baik. Kamu masih rapuh. Bagaimana mungkin aku tega mengatakan semua ini?"
Bobby mendesah. Sakit sekali dadanya. Semua seperti gelap dan jalan buntu di depannya.
"Manfred. Ya, Manfred ..." Bobby berdiri. "Aku akan bicara dengan Manfred."
Bobby mengambil jaket, kunci kontak motor. Dia pamitan ibunya dan segera meninggalkan rumah, menuju rumah Manfred. Begitu sampai, kebetulan temannya itu sedang asyik main gitar di teras.
"Hai, Sobat! Tidak ada kabar muncul tiba-tiba," sapa Manfred.
Bobby menghampiri Manfred. Manfred menaruh gitarnya begitu melihat muka lesu Bobby.
"What's up, Man? Kucel sekali," ujar Manfred. Tentu saja dia heran dengan perubahan Bobby. Tadi siang sampai sore mereka bergembira bersama. Lalu yang dia lihat di wajah Bobby?
"Ada yang penting aku harus bilang sama kamu." Bobby benar-benar serius. Manfred sampai bingung. Tidak biasanya Bobby begini.
"Ada apa ini?" Manfred menegakkan badannya, ikut serius.
"Aku akan menikah, Fred." Bobby berkata dengan hati perih.
"Apa? Kamu dan Yuana sudah ..." Manfred melotot, sangat terkejut dengan kata-kata Bobby.
"Tidak. Aku tidak pernah buat macam-macam sama Yuana. Paling cium pipinya saja," sanggah Bobby cepat.
"Tapi kenapa menikah?" Manfred makin bingung.
"Aku akan menikah dengan orang lain ..." Bobby juga bingung bagaimana mulai menjelaskan yang sedang dia hadapi. Dia sendiri masih belum bisa percaya.
"Bob ... kamu tidak sedang bercanda, kan?" Lagi mata Manfred melotot.
"Lihat aku, Fred. Apa kelihatan aku main-main?" tegas Bobby.
"Tapi ... Bob."
Mengalirlah apa yang Bobby dengar, yang barusan terjadi di rumahnya. Permintaan gila ayahnya, yang membuat Bobby rasanya tidak menapak bumi. Manfred sampai memukul kepalanya karena tidak percaya. Dia pun ikut merasa panik dan lemas.
"Fred ... aku tidak sanggup mengatakan ini pada Yuana. Dia juga beberapa waktu ini begitu kacau. Aku ga bisa bayangkan kalau dia tahu aku harus meninggalkannya dan menikahi orang lain." Bobby menunduk. Pedih hatinya. Sangat ...
"Bob, sepahit apapun lebih baik kamu jujur."
"Ya, kamu benar aku pasti akan memberitahu dia. Tapi bukan sekarang. Aku saja masih harus menata hatiku," ujar Bobby. Perasaannya benar-benar kacau. "Fred, aku tahu kamu bisa menolong Yuan. Selain aku, kamu yang paling dekat dengan Yuan selama ini. Tetaplah di sisi Yuan, Fred. Tolong aku."
"Tapi, Bob ..."
"Fred, kumohon berjanjilah. Demi Yuan, demi persahabatan kita." Bobby memegang bahu Manfred.
"Baiklah ..." Melihat situasi ini, begitu pelik, mungkin memang sementara waktu lebih baik Yuana tidak tahu apa yang terjadi.
"Terima kasih. Aku tahu aku selalu bisa mengandalkanmu." Bobby sekarang memeluk sahabatnya itu.
Manfred menggeleng-geleng, masih berharap semua ini cuma mimpi atau khayalan Bobby semata.
"Aku tak tahu apa yang kurasa, Fred. Semua lenyap, hancur dalam sekian menit saja." Bobby berusaha tersenyum, kecut.
Bobby masih bisa tersenyum? Manfred tidak bisa menggambarkan perasaannya melihat itu.
"Kamu hebat, Bob. Kamu berani menghadapi ini. Kalau aku mungkin aku akan kabur. Ini berat sekali," ujar Manfred.
Sunyi. Keduanya diam. Malam mulai turun.
*****
Hari-hari sebelum Bobby pindah ke Surabaya dia menghabiskan waktu cukup banyak dengan Yuana. Dia ingin menutup kebersamaan dengan Yuana semanis mungkin. Bobby berusaha bersikap biasa dan ceria seperti hari yang lalu. Rekreasi perpisahan di sekolah, acara wisuda lulus SMA, semua dia nikmati. Dia ingin melihat Yuana selalu tersenyum.
Sore itu, sehari sebelum berangkat, dia menghabiskan waktu di rumah Yuana. Seperti biasa rumah sepi. Hanya Yuana dan Ira yang ada. Ira membuatkan mereka camilan dan minuman. Lalu dia melanjutkan beres-beres di dalam dan memasak.
"Yu, aku merubah rencanaku. Aku lanjut kuliah di Surabaya," kata Bobby.
"Kenapa? Kok tiba-tiba?" Yuana kaget mendengar itu.
"Agak mendadak memang. Akhirnya ayah mau aku di sana, biar lebih bagus katanya. Aku ga bisa nolak, Yu. Ayah pingin yang paling baik buat aku." Bobby memakai ini sebagai alasan agar bisa membuat Yuana tenang dengan berita dia akan pergi.
"Jadi kita pisah, dong." Yuana langsung sedih.
"We have no choice." Nyeri rasanya mengatakan ini. Tapi Bobby melepas ekspresi wajar.
Yuana memajukan bibirnya.
"Jangan loyo gitu. Aku akan tetap rindu kamu, sayang kamu." Bobby mencubit pipi Yuana pelan.
"Iya." Yuana belum lega. "Nanti harus kontak terus, pasti aneh kamu tiba-tiba ga ada di sampingku."
Bobby hanya tersenyum. "Sakitnya hati ini. Kalau kamu tahu yang aku akan alami. Andai aku bisa menjelma jadi dua, satu tetap tinggal, dan satu pergi ke Surabaya. Tapi ada dayaku," batin Bobby.
Ira muncul, mempersilakan Yuana dan Bobby makan bersama. Keduanya menuju ruang makan. Sambil makan mereka lanjut bicara.
"Gimana kabar, Yoel?" tanya Bobby.
"Hebat. Dia sudah jadi supervisor sekarang. Dia juga lanjut kuliah S2 di sana. Dia punya pacar lagi. Namanya Victoria Daniella. Katanya masih turunan Eropa. Cantik sekali." Dengan semangat Yuana cerita.
"Wah, senang mendengar ini." Bobby tersenyum.
"Ya, aku jadi ingin ketemu dia. Kapan-kapan dia pasti pulang. Cuma belum tahu kapan." Yuana gembira bercerita tentang Yoel.
"Kamu dan Manfred sudah mantap kuliah di kampus yang sama." Bobby memotong daging dengan sendok dan garpu. "Aku tenang selama ada Manfred sama kamu."
"Tetap beda, Bob. Dia sahabatku, kamu yayang aku ..." Suara Yuana manja.
Bobby tergelak. Sakit mendengar itu. "Kamu harus aku lepaskan, Yuana." teriaknya di hati.
Setengah jam kemudian Bobby pamit pulang. Yuana mengantarnya sampai di depan rumah. Bobby menatap Yuana sambil menggenggam kedua tangannya.
"Yu, aku sayang kamu. Sayang sangat dalam. Ingat itu, ya ..." Ini bagian akhir dia bersama Yuana. Rasanya tidak ingin pergi, tidak mau melepasnya.
"Aku tahu, Bob." Yuana tersenyum. Cantik.
Bobby menarik Yuana dalam pelukannya. Dia hirup harum rambut Yuana yang dia suka. Dia peluk erat. Lalu dia cium lama keningnya.
Yuana merasa heran kenapa cowok ini romantis begini. Selama ini Bobby agak cuek. Tidak begitu suka peluk-peluk. Apalagi mencium lama seperti ini. Tapi Yuana menikmatinya. Hatinya rasa nyaman sekali dengan kasih sayang Bobby.
Bobby pun melepaskan Yuana, melangkah ke arah halaman rumah. Begitu meninggalkan rumah Yuana, di atas motor air mata Bobby berderai seperti hujan, bahkan banjir.
"Yuan, aku sangat sayang kamu, sayang sekali. Maafkan aku. Aku harus meninggalkan kamu. Kamu tidak tahu hidup apa yang aku akan jalani nanti. Aku sendiri masih merasa ada di lubang hitam yang dalam." Bobby bicara dalam hatinya.
"Lisa, seperti apa dia? Apakah seberat itu hidupnya sampai ayah dan ibu memaksa aku menerima Lisa? Ah, entahlah, yang terjadi terjadilah. " Bobby terus melaju menuju pulang.