Lampu interior pesawat meredup. Keadaan semakin sunyi. Sutris tidak henti mengawasi gerak-gerik gadis di sebelah. Gerak sekecil apapun terdeteksi oleh netranya yang menyipit.
Mendapati tangan Gadis masuk ke tas lengan, mengambil benda yang dia duga gagang senapan, Sutris bereaksi spontan berusaha menangkap pergelangan tangan gadis.
Di luar dugaan gadis sigap menepis tangan Sutris, mempertahankan diri menarik benda menjauh.
Dengan kemampuan menandinginya, Sutris yakin gadis ini bukan gadis biasa
"Mau apa kamu?" tanya Sutris dengan suara rendah, tak ingin memancing perhatian penumpang lain yang terlelap.
"Kamu yang mau apa." Bersuara rendah, gadis mendorong lengan Sutris.
Sadar yang dipegang gadis adalah handphone seketika wajah Sutris memerah. Dia merasa seperti telanjang di tengah umum.
Perlahan tersenyum kecut, Sutris menggaruk kepala walau tidak gatal. "Maaf, aku kira pembunuh."
"Pembunuh?" Gadis Jepang memandang heran sambil menggeleng kecil. "Apa maksudmu dengan pembunuh?"
"Maaf ya."
Gadis belum menggeser pandangannya, membuat situasi semakin parau. Tiba-tiba suara tawa gadis terdengar kecil seperti cicit hamster.
"Kenapa kok kamu bisa menganggapku sebagai pembunuh. Apa wajahku mirip pembunuh?"
Belum sempat menjawab, perut Sutris terasa dililit tali tambang. Dia meringis menekan perut supaya tidak 'keluar'. Pasti gara-gara makan mie ayam bermandi sambal tadi. "Permisi, mau ke toilet."
Menahan sakit yang teramat dia tergopoh menuju toilet pesawat. Tidak sengaja angin kecil keluar dari belakang ketika melintas di depan gadis.
"Kurang ajar," gumam gadis, menutup hidung, melirik jengkel padanya.
"Maaf, serius sakit."
Terbirit masuk ke toilet, Sutris bersyukur semua bisa keluar tanpa tragedi. Setelah lega dia bersiul bercuci tangan dan wajah di wastafel, menata rambut cepaknya jambul ke atas supaya ganteng.
Dia tersenyum memikirkan gadis tadi. Ambil positifnya, dia mendapat kesempatan berbicara dengan mereka. Hidungnya mengernyit, mencium aroma bacin dari ketiak. "Harusnya aku mandi dulu tadi. Bagaimana mau kenalan?"
Bergumam menyalahkan diri Sutris membuka pintu toilet. Belum juga pintu terbuka sempurna, seorang pria menendang dadanya hingga terdorong membentur dinding
"Mau apa kamu?"
"Shut up and die." Pria bersetelan jas hitam menodong pistol berperedam suara ke arahnya.
Ruang toilet terlalu kecil untuk badan berotot Sutris bergerak bebas.
Tiba-tiba gadis Jepang mendorong tangan pria bule dari samping. Mereka saling dorong memberi kesempatan Sutris bangkit.
"Lari, cepat!" Perintah gadis, pakai bahasa Indonesia.
Alih-alih menurut, Sutris memukul wajah pria bule hingga mimisan. Dia menariknya masuk ke toilet, mendorong ke dinding hingga pistol jatuh.
Di tengah pergulatan, gadis memungut pistol, menodong pria berjas. "Jangan bergerak, atau mau kukirim ke neraka?"
Pria berjas keder perlahan mengangkat tangan. Sempat hendak merebut pistol secara tiba-tiba, tapi gadis cekatan menarik tangannya menjauh.
"Jangan coba-coba." Gadis menodong pistol, sambil memberi kode ayunan tangan pada Sutris. "Hei, pria kentut, ikat dia."
Sutris menunjuk muka sendiri. "Aku pria kentut?"
"Iya, cepat amankan dia."
Mencopot ikat pinggang pria, Sugris mengikat tangannya lalu mendudukkan ke toilet.
Gadis dan pria berbicara memakai bahasa Jepang, lalu gadis menempeleng kening pria pakai gagang pistol hingga pingsan.
Gadis mengintip ke luar. "Aman, ayo pergi, sebelum ada yang datang."
Keduanya menutup rapat pintu toilet, pergi duduk ke tempat masing-masing.
Salut dan penasaran siapa gadis hebat menolongnya, Sutris memberanikan diri berkata, "Terima kasih sudah menolongku."
Gadis mengangguk. Senyumnya menampakkan gigi sigung yang begitu manis, membuat Sutris sedikit gugup. Gadis berucap, "Maaf, karena diriku kamu terseret masalah."
Satu alis Sutris terangkat. "Maksudnya apa?"
Ujung jempol gadis menunjuk ke belakang. "Pria berjas tadi pasti salah target. Dia mengincar nyawaku, tapi malah kamu yang diserang."
Perkataan itu memberi petunjuk Sutris tentang siapa gadis ini. Dia menerka. "Peserta Game Billionaire?"
Alis gadis melompat, bibirnya membentuk huruf o besar. Perlahan menunjuk Sutris. "K-kok tahu?"
Sutris terkekeh bersalaman dengan gadis. "Namaku Sutris, peserta. Kamu?"
"A-akiko. Salam kenal. A-aku juga peserta dari Jepang."
Sutris lekat memandang wajah gadis membentuk lekuk tirus kucing manis. Dia betah mengamati bibir tipis ber philtrum sempurna yang tersenyum sensual. Lagi-lagi gigi Akiko yang begitu lucu seperti gigi hamster imut menggemaskan, membuat Sutris salah fokus.
"Kenapa Tris?"
Lamunan Sutris pecah, pipinya memerah malu. Buru-buru dia menutupi dengan senyum. "Ah, tidak, kamu bisa bahasa Indonesia?"
Dia memajukan wajah. "Namaku Akiko Hantanto. Bapakku asli Indonesia."
Sutris tertawa kecil bersama Akiko. Jadi buat apa tadi mereka bicara pakai bahasa Inggris?
"Akiko maaf."
"Buat apa?"
"Tadi kentut di depanmu."
Spontan Akiko menutup mulut. Suara cekikikannya terbata-bata, hingga muncul suara seperti babi imut. "Enggak apa-apa, toh lantaran itu kamu punya panggilan keren."
"Panggilan apa?"
Akiko diam sejenak sebelum menjawab dengan suara panjang manja kecil. "Kentut-kun."
Sutris kesal dipanggil begitu, tapi berhubung Akiko manis marahnya meredup, tersenyum tanpa protes.
Perjalanan menjadi menyenangkan ketika ada teman. Mereka mengobrol berusaha mengenal lawan bicara.
Sutris tidak membahas masa lalu sebagai Kopassus apalagi Denjaka, tapi mengaku mantan tentara. Dia lebih suka mengorek informasi siapa gadis mungil di sebelahnya. Sementara Akiko mengaku sebagai gadis single, anggota JDF, Japan Defence Force, bagian penanggulangan terorisme.
Tak terasa obrolan mereka membuat waktu berjalan cepat. Cahaya hangat matahari menyelinap masuk melalui jendela pesawat. Begitu indah matahari yang baru terbit muncul perlahan dari lautan awan, menyapa dari ufuk timur ketika pesawat mereka mendarat ke bandara Port Moresby.
Belum juga turun dari pesawat, suara teriak histeris wanita melengking membuat mereka panik.
"Ketahuan?" gumam Akiko tanpa menoleh, berjinjit mengambil tas di bagasi atas.
Sutris mengamati sumber suara, di mana telah banyak orang berkumpul. Dia menggeleng, membantu mengambilkan tas Akiko. "Sepertinya dari depan, bukan belakang."
Keduanya bertukar pandang mengangguk kecil, bersama-sama menghampiri kerumunan.
Dua pria ditemukan tewas dengan leher tergorok di kursi mereka yang berjauhan. Satu lagi ditemukan tak bernyawa dengan luka tembak di kening.
Akiko menutup mulut, tak kuasa melihat nasib tiga orang itu, hingga nyaris jatuh, untung di belakang ada Sutris. Dia berbisik, "Apa mereka temanmu?"
Dari suara Akiko, dia tidak takut, mungkin berakting? Sutris berbisik, "Bukan. Tenang, jangan panik, kita pergi dari sini."
Keduanya meninggalkan pesawat dengan aman. Sutris sengaja berbohong, sebenarnya mereka yang tewas adalah rekan Sutris. Semua demi keamanan.
Udara segar minim polusi menyambut mereka di depan gedung bandara. Dering handphone membuat Akiko menjauh untuk menerima telepon, berbicara pakai bahasa Jepang. Hanya haik haik yang Sutris tahu artinya.
Handphone Sutris bergetar, nomor tak dikenal menghubungi. Ketika mengangkat telepon, suara yang dikenal menyapa.
"Sutris, bagaimana, sudah sampai Moresby?" tanya suara lelaki di dalam telepon, pasti Bambang.
"Sudah." Sutris mengamati sekitar, waspada dengan apa pun.
"Mana teman-temanmu?" tanya lelaki dalam telepon.
"Mereka tewas." Sutris mengamati mobil channel 8 yang parkir tak jauh dari posisinya berdiri. "Sebentar lagi masuk TV."
"Ah sialani. Apa kamu juga diserang?"
Sutris mengamati Akiko yang dijemput taksi. Gadis itu melambai dari dalam mobil yang melaju.
Waduh, Sutris belum tahu nomor teleponnya. Padahal dia ingin mengobrol.
"Sutris, jawab!"
"Tadi aku diserang, tapi aku hajar orang itu. Sekarang bagaimana?"
"Kamu ke hotel Kang Ming Brother, siap-siap boking kendaraan ke Morembre. Usahakan bawa pemandu. Kita bertemu di sana. Tidur yang nyaman."
"Siap." Dia menyudahi telepon.
Sabtu, berarti masih ada seminggu waktu beristirahat, atau lebih tepatnya seminggu waktu bermain kucing-kucingan dengan para pembunuh.
Sutris hanya membawa tas ransel hitam berisi uang juga pakaian baru, berharap bisa bertahan dengan semua ini.
Dia mengamati taksi yang Akiko tumpangi berhenti di lampu merah. Di belakang taksi mobil sexan Chevrolet hitam bergerak lambat seakan menjaga jarak dari taksi.
Sutris naik taksi lain lekat mengamati mobil Chevrolet. Ketika taksi Akiko bergerak, mobil ikut bergerak.
"Mau ke mana brother?" tanya supir taksi berkulit hitam dengan rambut keriting mie garing berbahasa Inggris kaku, sambil mengatur argo.
Sutris menunjuk ke depan. "Ikuti mobil karatan itu."
"Ok brother." Supir memutar stir, membawa mobil mengikuti mobil Chevrolet.
****