Sutris baru mengenal Akiko belum ada satu hari, tapi rela menguntit karena takut jika terjadi apa-apa padanya
Dia melakukan ini bukan karena Akiko cantik, singel, masuk dalam tipe calon pacar idamannya, tidak, bukan itu. Namun, karena dia berhutang budi pada gadis itu. Ya, karena alasan hutang nyawa dia bertindak senekat ini.
Mobil Chevrolet sadar jika ada taksi yang mengekor. Mereka berbelok mengambil jalan lain di lampu merah.
Ketika taksi Sutris hendak berbelok, dia menepuk pundak supir, berbicara pakai bahasa Inggris. "Ikuti taksi di depan saja, Brother."
"Ok Bro, santai saja. Aku jamin taksi itu tidak akan sadar jika diikuti." jawab supir taksi dengan percaya diri, padahal baru saja membongkar penyamaran taksi mereka tadi.
Kendaraan mereka masuk ke lahan parkir teduh oleh pepohonan kawasan hotel dimana banyak mobil parkir. Taksi Sutris ikut berhenti tepat di belakang taksi Akiko yang berhenti di depan teras gedung hotel.
Gadis di taksi depan keluar menenteng tas ransel masuk ke hotel dengan langkah seribu.
Sutris hendak keluar taksi, tapi supir menarik lengannya. Dia menengadah tangan. "Bayar dulu Bro, lima dolar."
Sutris membayar lima dolar, tapi supir taksi tidak melepasnya pergi. "Lima dolar kan ongkos argo, ongkos mata-matanya belum."
Geram dia ingin meninju muka supir taksi. Bagaimana kalau kehilangan jejak Akiko, tapi Sutris menahan diri, berusaha menekan amarah supaya tetap tenang. "Berapa?"
"Lima puluh dolar."
Menaruh lima lembar uang sepuluh dolar ke tangan supir, Sutris hendak pergi tapi supir enggan melepasnya.
Kali ini Sutris mencengkram kedua pipi supir. "Main beginian ada batasnya, Bro. Aku orang Indonesia, kalau marah bisa habis mukamu."
Pria itu mengangguk pelan melepas Sutris pergi sambil angkat tangan.
Buru-buru masuk gedung hotel berlantai tujuh, Sutris mengawasi lobby. Obrolan-obrolan kecil mewarnai langkahnya di lantai batu marble putih. Banyak pengunjung duduk-duduk bersantai di ruang tunggu, sebagian membentuk antrian di depan meja resepsionis.
Netranya menjaring sosok yang tengah melangkah santai menuju lift seorang diri. Sutris tidak menghampiri gadis itu, tapi mengawasi sekitar. Akan lebih baik jika dia tidak mendekati Akiko, pura-pura tidak kenal, supaya orang-orang yang menarget Akiko tak mengenalinya.
Sutris menghampiri gadis resepsionis, bicara ramah pakai bahasa Inggris. "Permisi, bisa beritahu menginap di kamar nomor berapa gadis Jepang tadi?"
Gadis resepsionis bingung, berbisik pada temannya, lalu menjawab, "Maaf Tuan, kami tidak bisa memberitahu Anda. Ini kebijakan privasi hotel."
Sutris mendengus kesal. "Namanya Akiko, aku pacarnya, mau memberi surprise ulang tahun."
"Maaf, sekali lagi …." Alis gadis resepsionis terangkat melihat dua lembar uang sepuluh dolar mendarat ke atas mejanya. "... kamar 707, Tuan."
Sutris menyeringai puas. Uang memang bukan segalanya, tapi dengan uang dia bisa mendapatkan segalanya. "Sekalian beri saya kamar di sebelah kamar 707, bisa?"
"Baik, Tuan, biaya semalam di sini lima puluh dolar."
Sutris menaruh sepuluh lembar uang sepuluh dolar ke meja. Semua uang yang dia pakai adalah sebagian uang yang ditemukan dalam ransel. Entah kenapa Bambang memberi banyak sekali sangu kepadanya.
Setelah membayar, Sutris pergi ke lantai tujuh tempat kamarnya berada. Sebelum masuk ke sana, dia memastikan kamar sebelah benar-benar 707 dan berpenghuni.
Sengaja dia mengetuk pintu. "Room service." Lalu kabur masuk ke kamarnya, sambil menguping.
Sayup terdengar suara gadis mirip suara Akiko dari kamar sebelah, membuatnya yakin Akiko ada di sana. Sekarang dia ingin melepas penat.
Ketika mandi handphonenya bergetar. Benda baru yang dia temukan dalam ransel. Segera dia menghidupkan loudspeaker supaya terdengar dalam ribut gemercik air.
"Kemana kamu, Sutris?" tanya Bambang. "Kenapa kamarmu kosong?"
Sutris membatu sesaat, memegang sabun di ketiaknya. "Loh, kamu di mana? kok bisa tahu aku tidak di kamar?"
"Ahm, orangku yang bilang. Ya sudah, kamu di mana sekarang? Apa sedang di dekat air terjun? Apa di sana hujan?"
Sutris curiga kenapa Bambang marah-marah dan kepo sekali. "Entah, aku juga tak tahu. Ada apa?"
"Segera kembali ke kamarmu. Nyawamu dalam bahaya, mengerti? Sampai acara dimulai, para pembunuh bayaran akan mencarimu."
Sutris terkekeh lanjut mandi.
"Hei Tris, aku tidak main-main. Kamu peserta terakhir yang kukirim, mengerti?" Dia menyudahi telepon begitu saja.
Orang aneh, sungguh aneh. Sutris semakin tidak percaya dengan Bambang. Harusnya dia senang karena Sutris berinisiatif mengganti hotel demi keamanan, kenapa malah marah?
Setelah mandi Sutris memakai kaos putih yang mengikuti lekuk badan dan celana training trendi. Penampilannya mempesona di cermin, bahkan dia bergaya seperti binaraga membuat dadanya gerak-gerak sendiri.
Setelah puas mengagumi badan, dia beribadaj, lalu mengambil handphone ingin menelepon Ibu, menanyakan kabar adik, tapi … bagaimana jika ada yang menyadap? Dia tidak ingin keluarganya terseret dalam masalah.
Tiba-tiba suara bel membuat lamunannya pecah. Entah siapa, dia tidak memanggil room service, atau itu pembunuh bayaran? Parahnya dia tak punya senjata untuk melindungi diri.
Sutris melepas colokan lampu kecil di atas lemari dekat kasur. Rencananya dia ingin mencekik leher orang pakai kabel.
"Siapa?" tanya Sutris, bersiap di belakang pintu.
"Ini aku, Akiko."
Kepala Sutris mundur. Bagaimana mungkin Akiko tahu dia berada di sini? Dia membuka pintu, benar saja gadis itu memberi senyum terbaiknya.
Dalam balut jersey babydoll katun hitam, penampilan Akiko bak boneka barbie asia. Netra Akiko turun ke sepatu ket milik Sutris, perlahan naik hingga tiba di wajahnya. "Wow Tris, kamu amazing banget pakai pakaian seperti ini. Mana wangi pula.
"Oh? Eh, anu--"
"Dah yuk, makan, lapar nih," ajak Akiko, mengelus perutnya, membuat kesadaran Sutris kembali.
"Hah? Makan?"
"Ayo." Akiko menyeret tangan Sutris keluar kamar seperti adik yang manja.
"Sebentar." Setelah mengambil kartu kunci kamar, Sutris mengikuti kemauan Akiko untuk makan bersama.
Mereka naik lift menuju lantai dasar. Sepi, hanya mereka berdua di dalam lift.
"Bagaimana kamu tahu kalau aku di kamar sebelah?" selidik Sutris.
"Semenjak kamu turun dari taksi, aku mengamatimu. Nah, ketika kamu menyewa kamar hotel, aku mendengar semua obrolanmu."
Penjelasan yang membuat Sutris semakin bingung. Bagaimana dia bisa mendengar percakapannya dengan petugas resepsionis? Selain jarak mereka jauh, kala itu keramaian di lobby mendominasi suasana. Lagi pula Akiko langsung naik lift tadi, tidak menunggu Sutris dulu.
"Sudah, enggak usah mikir," sahut Akiko, logat Indonesianya mendominasi, membawa Sutris keluar lift.
Mereka duduk di kafe hotel. Musik santai mengiringi kegiatan mereka makan steak sapi yang lezat. Sembari mengobrol, Sutris mengawasi sekitar. Siapa tahu dalam keramaian ada pembunuh bayaran menyerang.
"Kenapa kok seperti orang ketakutan?" tanya Akiko, mengiris daging dengan bantuan pisau dan garpu. "Takut ketahuan sama pacar, ya?"
Menggeleng sambil terkekeh, Sutris menjawab, "Mana ada pacar. Akiko, kamu tidak takut kalau aku membunuhmu?"
Akiko menggeleng. "Aku melihat namamu ada dalam daftar pemain, jadi kamu tidak mungkin membunuhku."
"Kenapa?" Lalu Sutris memakan daging.
Akiko menyeringai nakal, meneguk lemon juice lalu menjawab, "Hmmm kelihatan, kamu enggak pernah buka buku panduan lomba, ya?"
"Kenapa emangnya?"
"Ada aturan jika ketahuan sesama peserta saling bunuh sebelum lomba dimulai, akan didenda lima ratus juta dolar dan di banned dari kompetisi. Kalau enggak bisa bayar, dor. Mati." Akiko tersenyum sambil mengunyah ketika jarinya membentuk pistol menodong Sutris.
Sepertinya nanti Sutris harus membaca buku panduannya lebih lanjut.
"Tris, sebaiknya bersikap santai saja. Kalau tegang nanti cepat tua."
Keduanya tertawa kecil nyaris serentak. Mereka makan dengan bahagia, bercerita banyak hal hingga sore menyapa. Setelah puas keduanya kembali ke kamar masing-masing.
"Besok jalan-jalan yuk Tris," ajak Akiko ketika pemuda itu membuka pintu kamar.
"Ya, besok kalau ada kesempatan. Aku mau beribadah dulu."
Baru menutup pintu, Bambang menelepon. Melambai pada Akiko, Sutris menutup pintu, menjawab telepon.
"Tris dengar. Aku tidak peduli kamu mau kemana sampai hari H tiba, malam ini kamu harus ke hotel yang kusuruh, titik!"
"Kenapa?"
"Pistol, ya pistol … uhm, juga peralatan bertahan untukmu dan peserta lain aku taruh di kamar hotel itu. Intinya malam ini kamu harus ambil peralatan itu, titik!"
****