Instingnya mengatakan ada sesuatu yang tidak beres.
Kenapa bos begitu ingin dirinya ke hotel yang disiapkan? Untuk jaga-jaga jika terjadi sesuatu, Sutris memutuskan datang ke tempat yang dimaksud pada pagi hari.
Memakai jaket jeans senada dengan celana panjang yang dia kenakan, Sutris menumpang taksi menuju tempat yang dimaksud Bambang.
Dia duduk di kursi penumpang, menepuk pundak supir taksi. "Pak tolong ke hotel--"
Seperti hembusan angin musim semi, Akiko membuka pintu duduk di sebelah Sutris.
Memandang gadis ber-tanktop putih longgar dan celana jeans pendek, membuat Sutris bengong seperti patung. "Kenapa kamu ke sini?"
Dengan entengnya Akiko menjawab, "Kalau bukan aku, siapa lagi yang akan menjagamu?"
Sugris terkekeh menggeleng kecil. "Aku berterima kasih karena di pesawat kamu menolongku, tapi sekarang aku ingin sendiri."
Cemberut seperti bocah kecil tidak dibelikan mainan, Akiko menjawab dengan suara berat. "Okaay, siapa yang menjagaku jika kamu pergi?" Senyumnya merekah, hingga mata bertambah sipit.
Siapa yang tahan melihat wajah cantik manis, bergigi kelinci? Biasanya Sutris tidak membeda-bedakan pria dan wanita, dia tegas. Sekarang Akiko membuatnya mendesah pasrah. "Ke hotel Kang Ming Brother Pak supir."
"Yey!" Akiko tidak bisa diam, bersenandung kecil.
Sutris mengamati lekat gadis berkulit putih di samping. Rambut hitam halusnya berjoget mengikuti gerak tubuh. Harum bunga sakura semerbak, harum yang sama dengan adiknya. Sepertinya anak panah cinta mendarat tepat di hatinya. Siapa sangka dia bertemu gadis menyenangkan seperti Akiko. Apa ini takdir?
Suara getar handphone dalam saku jaket memecah lamunan Sutris. Nama Bambang di layar handphone memancing helaan napas.
Ketika telepon tersambung, suaranya deras sekali. "Sutris! Aku bilang apa kemarin? Malam datang ke kamar hotel!"
Sutris heran, bagaimana bos bisa tahu kalau dia mangkir? "Aku datang kok, baru saja selesai mandi di sana."
"Jangan bohong! Kalau kamu benar-benar di hotel, pasti---aaargh! Tenang … wuza wuza. Namaste." Suara Bambang kembali normal. "Baiklah, kamu pergi ke tempat penjual senjata. Beli senjata untuk persiapan lomba hari pertama."
Sutris menjawab, "Loh, katanya semua itu ada di hotel, bagaimana sih?"
"Sudah lakukan saja. Sampai bertemu di lokasi selanjutnya." Bambang menyudahi telepon tanpa kejelasan yang Sutris inginkan.
Tenggoran Akiko membuat Sutris menoleh menghadapnya. "Ada apa, tiba-tiba murung. Sakit perut lagi?"
"Bos aneh." Sutris menceritakan keanehan Bambang pada Akiko. Menurutnya tidak apa menceritakan hal ini pada Akiko. Tidak ada efek untuk keamanannya selama lomba.
Suara kekeh Akiko yang unik, seperti hidung mampet orang terkena flu membahana. Dia menepuk lembut genit lengan Sutris yang berotot. "Bosmu bisa jadi Hellbringer."
Satu alis Sutris turun. "Hah, apaan tuh?"
"Hellbringer, sebutan bagi klien yang mengirim orang untuk dibunuh demi uang."
Bengong tanpa reaksi, Sutris benar-benar tidak mengerti apa untungnya menjadi Hellbringer. Menurutnya dua ratus juta bukan jumlah sedikit, kenapa Bambang ingin membunuhnya?
"Kenapa, bingung?" Gini loh, Tris. Uang pendaftaran dua ratus juta rupiah, semisal pembunuh bayaran ingin mengeliminasi, mereka membayar sekitar lima ratus juta rupiah untuk membeli info tentang dirimu dari klien …. Bosmu untung tiga ratus juta per-kepala."
Diam dalam keterkejutan, Sutris benar-benar merasa seperti hewan ternak. Jelas sudah kenapa tiga temannya tewas tanpa pernah turun dari pesawat.
Akiko berdecak. "Kamu kira aku berbohong? Ok, lihat saja. Bosmu bilang ada tas berisi senjata yang harus kamu ambil. Kita cek ke kamar yang dimaksud, kalau tidak ada berarti dia hellbringer."
Mobil taksi yang mereka tumpangi berhenti di depan gedung bertingkat lima. Mereka turun masuk ke gedung yang lumayan padat pengunjung. Memakai lift, mereka sampai di depan kamar lantai tiga.
"Hellbringer," bisik Akiko, menggoda telinga Sutris ketika sibuk membuka pintu hotel.
Menginjak karpet kamar hotel luas, aroma rokok menyapa. Tiada asap, hanya residu. Sutris menggeledah kamar, tiada tas yang dimaksud Bambang.
Membuka gorden, Akiko ke luar ke balkon. "Enggak ada di sini, bersih."
Sutris duduk di tepi kasur empuk menghela napas panjang. Sepertinya ucapan Akiko benar. Bambang benar-benar menjualnya ke pembunuh.
Menabur garam ke luka Sutris, Akiko terkekeh meledek. "Benar kan, dia Hellbringer. Mending besok kalau ketemu jotos saja mukanya Tris."
Seperti kurang puas, Sutris memeriksa sekali lagi seluruh pelosok kamar bahkan di kolong kasur. Hasilnya tetap nihil. Kembali duduk di tempat semula, Sutris mengamati karoet sekitar. Ada sisa rokok di atas asbak. Karpet di bawah gorden kotor, sepertinya ada orang yang lama berdiri di sana. Mungkin pembunuh yang menanti.
Sutris tertawa kecil, memancing Akiko yang terlentang santai di kasur sambil bermain handphone bertanya, "Kenapa?"
"Kasihan para pembunuh." Jari Sutris menunjuk noda jejak sepatu di karpet. "Mereka pasti menunggu semalaman."
"Ya, kasihan juga sih." Akiko bangkit duduk di kasur. "Jadi sekarang mau apa?"
Sutris memperhatikan Akiko yang sengaja menggoda dengan berpose menantang seperti fotomodel, melipat kaki sambil mengelus leher pakai punggung jari. Gadis ini punya sikap … bagaimana ya menjelaskannya. Sutris bangkit merapikan penampilan.
"Beli senjata," ajak Sutris, bangkit menuju pintu keluar. "Kamu tahu lomba apa yang menanti kita?"
Akiko mengikutinya. "Menurut info, dalam game billionairei biasanya diadakan tiga sampai lima game yang menarik. Game sendiri rahasia, bahkan para peserta yang berhasil pulang hidup-hidup disumpah tidak boleh membocorkan game apa yang mereka mainkan. Kenapa? Takut?"
Sutris menggeleng. Mereka pergi dari hotel memakai taksi menuju toko senjata.
Setibanya di toko senjata sederhana, mereka disambut rak-rak penuh senjata api juga senjata tajam. Sayup terdengar letusan senjata dari arah belakang toko.
Sutris memilih senjata sambil melihat Akiko yang senang memakai sniper Barrett M82, juga membeli pistol Colt M1911A1, dan pisau militer.
"Kamu suka jarak jauh, ya?" tanya Sutris, mendapat anggukan gadis di depannya. "Senapan itu akan membuat mobilitasmu terganggu."
Akiko hanya melet, matanya semakin sipit. Sekarang dia yang mengamati Sutris, lalu mencibir, "Budget sedikit ya? Kenapa beli glock 17? Senjata itu kemampuannya di bawah Colt-ku."
"Aku tahu." Sutris mengongkang senjata, "Reliabilitas, ketahanan pada alam juga mudahnya membersihkan. Itu alasanku memilih pistol ini." menaruh senjata ke meja kaca, mengambil golok baru bersiul kagum pada ketajaman benda itu.
"Tetap saja Colt yang terbaik."
Sutris menyeringai. "Skill yang menentukan. Mau diuji?"
"Boleh."
Mereka pergi ke ruang tembak di belakang toko. Sebuah ruang luas di mana terdapat target tembak di ujung ruang. Keduanya memakai kaca mata bening dan headset besar, berdiri di seberang target.
"Kalau hanya menembak tidak seru, bagaimana kalau taruhan?" tantang Sutris.
"Boleh, mau taruhan apa?" sahut Akiko.
Sambil mengisi peluru hidup, Sutris bicara tegas. "Jika kamu kalah, aku minta nomor telepon juga alamat rumahmu." Dia pasti gila meminta hal ini, tapi tidak ada salahnya berusaha kan? Sutris menoleh ke arahnya. "Bagaimana, berani?"
"Boleh, kalau aku menang, aku minta nomor teleponmu dan alamat rumahmu," sahut Akiko.
Keduanya bertukar pandang. Akiko tak bisa berhenti senyum, naik turun kecil seperti mengikuti irama. Sementara Sutris mengumpan balik senyum. Kalah menang mereka akan bertukar nomor telepon, ini win win solution.
Keduanya mulai berlomba menembak, Sutris menang tipis. Setelah perlombaan hubungan mereka semakin dekat.
Entah Akiko menganggap Sutris sebagai apa, tapi dia menganggap gadis itu spesial. Baru kenal beberapa hari, Sutris tenggelam dalam laut spesial.
Hari yang dinanti tiba. Sutris dan Akiko menumpang taksi menuju lokasi yang dimaksud, lokasi Game Billionaire.
"Tegang Tris?" tanya Akiko, duduk di sebelahnya menutup rapat pintu taksi.
"Lumayan. Bagaimana denganmu Akiko?"
"Yep, seperti kencan pertama dengan mantan," jawabnya. "Pak supir, ke hutan Melellabu."
Mobil pun bergerak menuju tempat tujuan dengan santai. Selama perjalanan mereka mengobrol, menerka seperti apa lomba yang menanti.
"Bagaimana dengan kelompokmu, Akiko. Apa kamu akan bergabung dengan mereka?"
Akiko menggeleng. "Aku tidak percaya dengan kemampuan mereka." Dia menoleh memandang Sutris, lagi-lagi senyumnya merekah. "Tapi aku percaya padamu."
Entah apa maksud Akiko, tapi itu membuat Sutris bahagia.
"Nona, Tuan, kita sampai ke tujuan," ujar supir taksi, memecah lamunan mereka.
****