Pakaian suit ketat membentuk tubuh. Slerekan depan terbuka sedada. penampilan menggoda gadis bule yang berlari dikejar bahaya dalam kelam.
Pria berkulit legam nyaris menangkap gadis, beruntung Akiko menembak lengan pria itu.
Sutris menembak kaki pria lain di belakang gadis, lalu menembak pria di balik semak. Sutris melambai pada gadis bule. "Cepat kemari!"
Tembakan ke-tiga Sutris gagal. Pria yang Sutris tembak bersembunyi di balik pohon besar. Akiko menembak pria itu. Pelurunya menembus pohon mengenai target.
Pria legam menembakkan anak panah yang melesat dalam kegelapan, nyaris menghantam lengan Sutris. Tiga anak panah lain ditembakkan pria lain dalam gelap, menancap ke tanah depan Sutris.
Sutris melihat bintang kejora berkibar di kain merah, strip biru putih di sisi kanan bendera. Dia yakin mereka OPM.
Teriakan tak beraturan menebar teror, nyanyian peperangan membuat Sutris bergidik juga bingung. Para anggota OPM melompat liar ke sana ke mari, menembak ke arah Sutris dan Akiko berkali-kali.
Puluhan anak panah menerjang gadis bule. Satu mencederai kakinya hingga dia terjatuh. Beberapa lelaki menarik kaki itu mundur masuk dalam kegelapan.
Gadis bule menarik dahan muda di sampinya untuk bertahan dan berhasil. badannya berhenti terseret. "Tolong!"
Tarikan pria legam lebih kencang. Perlahan dahan penyelamat gadis bule tertarik seakarnya, membuat badannya kembali tertarik. Menggaruk tanah dia berusaha bertahan, tapi gagal.
Akiko menembak satu pria di belakang gadis, tapi gagal mengenai target. Dia takut mengenai gadis. "Sialan! Mereka bergerak-gerak di depannya!"
Sutris menanyai Aris. "Bisa pakai pistol?"
Aris menggeleng. "A-aku hanya bocah!"
Sutris tetap mengoper senjata pada Aris, lalu mengambil golok di tangan bocah itu. "Cukup tembak siapapun yang mendekat." Dia maju menyerang para penjahat, berusaha menolong gadis bule.
"Sutris!" teriak Aris. "Bambumu woi!"
Sutris tidak merespon. Mengayun golok dia menyayat punggung pria di depan lalu menendangnya jatuh.
Dua teman pria legam menembak Sutris pakai senjata AK-45. Sutris menggelinding maju menebas kaki mereka.
Dari belakang seorang menebas punggung Sutris. Sutris berbalik menebas dada pria itu lalu menendangnya.
"Sutris, bambumu!" Suara Aris melengking dalam gelap.
Sutris menoleh ke belakang mendapati Aris berlari membawa dua bambu mengejarnya. Dia yakin Aris bisa menjaga benda itu dan akiko melindunginya. Dia bangkit menebas tangan pria yang menarik kaki gadis bule.
Pria itu melengking histeris melotot mendapati dua pergelangan tangannya putus, sempoyongan mundur.
Tiba-tiba ledakan besar mengguncang bumi. Cahaya terang membakar penglihatan. Beberapa OPM membungkuk kaget, beberapa menyerang Sutris.
Sutris mengayun lugas golok ke pundak pria di depan. Goloknya nyangkut dan pria itu menahan golok hingga susah ditarik lepas. Sutris gagal bereaksi ketika pria lain dari belakang mengayun bambu runcing menusuk punggung.
Akiko menembak putus lengan pria itu, lalu Sutris menendang selangkangannya, lalu menekan golok hingga lengan pria di depan putus.
Sutris memandang tajam dua pria yang hendak menyerang. Para pria aneh kabur berpencar. Mungkin setelah menjadi saksi kebrutalan Sutris dan teman-teman, nyali mereka ciut.
Keadaan sejenak sunyi, hingga terdengar suara dedaunan kering yang Sutris pijak. Dia menarik tangan gadis bule, membantunya berdiri. "Kamu tidak apa-apa?"
"Aku baik-baik saja," ujar gadis bule, pakai bahasa Inggris. "Punggungmu--"
"Luka kecil."
Gadis buke dibantu Sutris melangkah menuju tempat aman tertatih memegang kaki kanan, tangan lain melingkar ke leher pemuda penolong. "Terima kasih, kalian menolongku."
"Ayo kembali ke goa!" ajak Aris, tak sadar di belakangnya seorang pria berusaha menyerang memakai golok.
Sutris gagal bereaksi. Akiko pun telat. Gadis yang mereka tolong melempar belati ke kepala pria penyerang. Aris kaget, menoleh ke belakang lalu memandang gadis seksi, tidak percaya akan apa yang terjadi.
Gadis bule berkata, "you're welcome."
Mereka berhasil kembali ke goa. Di sana Akiko menyambut dengan menarik Aris menjauh, memeriksa keadaannya.
"Boncel kamu tidak apa-apa? Mana yang luka? Mana? Maaf tadi aku tidak bisa menembak, takut kena jidatmu."
Sutris mendudukkan gadis bule ke batu besar goa, memeriksa kakinya. Mematahkan anak panah, dia mengoyak pakaian suit di bagian kaki gadis. Darah segar mengalir dari luka yang menganga.
Akiko menarik lengan Sutris menjauhi gadis bule. "Buat apa menolongnya? Dia mau membunuh kita!"
"Tapi gagal, kan?" Sutris mengambil pisau lipat Akiko, merobek lengan kaos untuk mengikat kaki gadis bule supaya pendarahan berhenti sejenak. "Aris, bawa bara api ke sini, tolong."
Aris membawa kayu api, menaruh ke sebelah Sutris, tapi Akiko menginjak padam benda itu.
"Kamu tahu, dia tidak berpikir banyak ketika melempar belati menyerang kita, biar dia mati!"
Sutris paham Akiko naik pitam lantaran gadis yang dia tolong jahat, tapi gadis itu menolong Aris tadi. Selain itu didikan Ibu Sutris mengharuskannya menolong wanita. Dia memilih tidak mendebat Akiko, tapi menarik api unggun mendekat.
"Sutris! Kamu dengar enggak?" Akiko mendorong badan kekar pemuda itu. Melihat luka di punggung Sutris, sekejap dia panik, tapi amarah mendominasi pikirannya. "Dia penjahat! Dia membunuh--"
"Aku juga penjahat, membunuh banyak orang tadi." Mulut bicara tangan Sutris bekerja, mencongkel kepala anak panah di kaki gadis.
Akiko berdecak. "Kamu beda, kamu melakukan itu karena melindungi nyawa. Sementara dia?"
Sutris membakar pisau. "Kita semua pernah berbuat salah."
Gadis bule mengamati bagaimana pisau memerah sambil menahan suaranya. Sementara Sutris berusaha memanaskan pisau untuk dipakai menarik keluar peluru di dalam luka.
Pisau itu membuat memori masa lalu Sutris muncul ....
Tangis bayi terdengar kembali dalam benak Sutris ketika benda panas itu menyentuh pipi Bayi.
"Lepaskan dia! Lepaskan dia! Baik, akan kuberitahu lokasinya." Pria arab di depan Sutris ditendang terlentang. Moncong senapan serbu milik rekan Sutris mendorong keningnya. Melihat pisau Sutris menggores pipi anaknya, pria arab baru mau bicara.
Tepukan di pundak Sutris membuatnya tersadar dari lamunan. Memori kelam tadi sirna begitu saja.
Aris menepuk pundaknya sekali lagi. "Sutris, sudah panas banget itu."
Sutris sadar pisau telah memerah karena panas yang berlebih. Dia mengusap air matanya. Air mata yang sama membuat Akiko terdiam, mungkin dia merasa aneh melihat seorang Sutris selemah ini.
Sutris menarik peluru keluar, lalu mengoles pisau panas ke luka, berharap membakar luka hingga tertutup.
Gadis bule meringis menahan sakit, terpejam menggigit bibir bawah.
Setelah semua usai Sutris melempar pisau, bangkit dari jongkoknya. "Sekarang lebih baik tembakkan flaremu."
Gadis bule menggeleng, bicara pakai bahasa Inggris. "Flare-ku di sana. Aku tidak mau kembali ke sana." Memandang kegelapan hutan.
Akiko mendorong pelipis gadis itu. "Ya sudah biar saja dia di hutan, biar mati!"
Aris menarik pinggang Akiko mundur, sambil mengumpan senyum pada gadis bule. "Terima kasih ya, tadi menolongku."
Gadis itu mengangguk. "Terima kasih menolongku dan maaf, tempo hari menyerangmu."
"Ah santai saja, yang penting aku tidak apa-apa."
Sutris mengambil Flare miliknya, menembak ke angkasa gelap. Api merah bersinar terang, perlahan turun.
"Percuma," ucap gadis tadi, sambil menyeringai kecut. "Tidak akan ada yang datang. Coba pikir, mereka dapat apa dengan menolong peserta yang menyerah?"
"Mampus!" sentak Akiko, masih sebal.
Sutris duduk di sebelah gadis bule. Baginya selalu ada kesempatan kedua untuk siapapun, bahkan untuk gadis ini. Dia mengajaknya bersalaman. "Namaku Sutris, kamu?"
"Annastasia Kirovski, Anna."
Sutris meraba telapak tangan Anna, terasa kasar, terdapat luka senar di ujung telunjuk. Menurut pengetahuannya, dari keahlian meracik racun juga melempar pisau, menggugurkan anggapan jika dia gitaris atau dokter bedah. Dari tato di dekat luka kaki gadis bule, Sutris menebak, "Kamu anggkta Spetsnaz?"
Anna mengangguk. "Bagaimana kamu bisa tahu?"
Akiko mendengus sebal, mengambil pisau miliknya, duduk di sudut lain. Entah apa arti sikapnya ini.
Aris duduk di dekat api unggun, menoleh ke kanan mendapati Akiko sibuk mengisi magazine Beretta, menoleh ke kiri menjadi saksi Sutris mengobrol dengan Anna.
Malam semakin larut, semua terlelap kecuali Sutris. Kenangan kala menjalankan misi dulu membuatnya gagal tidur.
Akiko terbangun, mendapati Sutris duduk sendiri memandang api unggun. Dia merangkam menghampirinya. "Sini, luka punggungmu biar kubersihkan." Dia memberi kode supaya Sutris melepas baju dan segera menggigit gagang pisau.
Suara gemertak kayu terbakar mengiringi Akiko menuang air ke luka Sutris. Setelah luka bersih, dia menjahit luka dengan perhatian. Tiada obrolan terjadi di antara mereka hingga semua usai memerban luka. Akiko kembali ke tempatnya untuk tidur.
"Terima kasih," ucap Sutris, tanpa mendaoat jawab. Dia memakai kaosnya kembali.
Ketika fajar menyingsing, mereka bersiap pergi.
"Tinggalkan saja dia di sini," ucap Akiko, berdiri memakai tas ransel. "Biar alam yang menentukan apa dia hidup atau mati."
"Tolong jangan," pinta Anna, duduk meraih tangan Sutris, mengiba. "Aku mohon, aku akan mati jika kalian tinggal. Aku telah gagal. Egrangku meledak, kumohon bawa aku ke desa terdekat."
Sutris mengamati dua gadis. Satu seperti Mak lampir, satu memasang wajah Dewi Quam Im.
Sementara Aris memilih angkat tangan pergi duluan. "Jangan melihatku, aku hanya bocah."
****