Sutris mengamati suasana hening di sekitar, setelah ledakan mortal sepertinya peserta lain memilih menunggu. Dia mendekati para Spetsnaz.
"Apa rencana kalian?" tanyanya pada ketua grup Rusia.
Sergei mengamati jam tangan. "Beberapa menit lagi kita harus naik egrang, lebih baik mundur sejenak lalu naik di tempat aman selama--"
Suara tawa Aris memotong ucapan Sergei. Cukup berani dia melakukan hal ini. "Aku kira kalian cerdas, nyatanya biasa saja." Dia mengundang lirik bingung dari para Spetsnaz, pria cepak di antara mereka bersiap menarik pisau militer.
Dia jengkel karena merasa terhina. "Tutup mulutmu semut kecil, sebelum pisauku menggorok lehermu--"
Anna menahan tangan pemuda di samping, menekan masuk pisau kembali ke tempatnya. "Jangan salah menebak begitu teman, biar bocah itu selesai bicara."
Arwah Aris nyaris terbang karena ulah sendiri bicara seenak udel hingga menyinggung orang. Setelah mengatur napas dia menjelaskan pada para orang Rusia sembari menunjuk leher. "Lihat, kami tidak memakai kalung detektor seperti yang kalian pakai. Benda itu terikat di kepala bambu egrang."
Para orang Rusia menoleh nyaris serentak ke arah egrang yang bersandar pohon tak jauh dari tempat mereka, lalu kembali fokus pada Aris. "Jadi jika kami menaruh kalung dan gelang ke sana dan mendirikan bambu seperti milik kalian, semua akan aman?"
Aris menggeleng. "Detektor pada kalung dan gelang tidak sama, pada gelang kaki terdapat sensor panas juga detektor pendeteksi jarak.
"Kira-kira detektor gerak gelang kaki berjarak dua puluh meter. Jika kalung berjarak lebih dua pukuh meter dari gelang, boom, akan meledak. Untuk itu egrang yang kita beri kalung harus berada dekat dengan kita.
"kita tidak bisa melepas gelang kaki karena akan terdeteksi, tapi anehnya gelang leher bisa, mungkin mereka sengaja menciptakan celah. Paham?"
Aris mengecek waktu pada laptop kesayangannya. "Lima menit lagi sebelum kita masuk jadwal egrang, sebaiknya kalian segera mencoba saranku."
Para orang Russia bergegas melepas kalung masing-masing, memasang ke kepala egrang seperti saran Aris. Mereka menanti kebenaran dari ucapan ris sambil mengamati jam di tangan masing-masing.
Benar saja, Sergei terkekeh karena tiada satupun egrang mereka meledak.
"Bocah, kamu ternyata jenius. Andai bertemu lebih cepat, kami tidak perlu kehilangan lima orang karena permainan egrang. Baiklah sekarang kembali ke bisnis." Sergei mengambil kertas oret-oretan, menulis sesuatu pakai pensil. Seketika teman-temannya beserta tim Sutris mengerumuni.
Dia menggambar bundaran beserta beberapa silang kecil di kertas. "Menurut pengamatan kami mereka berada di sana, sekitar lima sampai sepuluh--"
"Delapan," sahut Aris, memotong Sergei. Kali ini tiada lirik kesal dari tim Rusia. "Semua posisi mereka terdeteksi di laptop."
Sergei mengangguk. "Delapan orang, berarti masih dua orang dari mereka hilang entah bersembunyi atau mati. Mereka memakai mortal, sniper, dan berpakaian kasat mata.
"Untuk itu kami akan memancing dengan melempar bom asap, dengan begitu mereka bisa terdeteksi. Untuk mengalihkan perhatian, tiga orang akan menyerang dari sisi kanan, sementara Sutris ikut aku ke sisi kiri. Anton, tetap di sini bersama Anna, gadis jepang, dan si jenius. Walau tidak terlalu ahli, Anton bisa memakai senapan sniper. Anna dan Anton, support kami dengan tembakan kalian Mengerti?" Sergei memandang satu persatu mereka semua. "Ada pertanyaan?"
Sutris mengangkat tangan. "Apa kita ketika menyerang tidak terdeteksi oleh mereka?"
"Terdeteksi, tapi kami punya pakaian anti panas. Anton, lepas pakaianmu, beri ke Sutris."
Sutris terkekeh, memberi kode Anton untuk tidak melepas semua itu. "Jangan menganggap remeh tentara Indonesia. Kami tidak perlu teknologi untuk menang dalam perang."
Anton tertawa geli, mengangguk setuju. "Yeah, US SEAL kalah dari mereka ketika diadu tanpa teknologi. Aku rasa tentara Indonesia patut diperhitungkan."
Semua setuju dengan rencana Sergei, mereka bersiap pergi ke pos masing-masing sesuai rencana.
"Sutris," Akiko menarik lengan Sutris, hingga pemuda itu menoleh ke arahnya. Terlukis kekhawatiran di wajah gadis. "Bagaimana jika mereka mengkhianati kita?"
"Ada Anna, dia bakal menghabisi Anton jika perlu."
"Bagaimana jika dia salah satu dari mereka?" Akiko cemberut memandang Anna yang mengobrol dengan Anton. "Mereka orang Rusia."
"Ada Aris," sahut Sutris, melepas genggaman Akiko pada lengan. "Tenang saja, semua akan baik-baik saja."
Gadis itu meninju kesal dada lawan bicara. "Bagaimana denganmu? Kamu sendirian di antara orang Rusia." Tinjuan kedua lebih keras lagi. "Bagaimana, ayo jawab!"
"Aku percaya kamu dan senapan snipermu akan menjagaku."
"Tapi jika gagal bagaimana? Aku …. Bukan, maksudku, kami akan kehilanganmu."
Sekarang jelas alasan utama Akiko menahan Sutris karena khawatir. karena itu senyum Sutris merekah. "Kenapa, apa aku seganteng itu hingga kamu takut kehilanganku?"
Wajah Akiko memerah, dengkulnya menghantam selangkangan Sutris, hingga dia tersungkur. "Bodoh, Bukan itu!" Dia pergi menghampiri Aris tanpa menoleh ke belakang.
Wanita memang aneh, benar dianggap salah, apalagi salah.
Sergei tertawa kecil ketika tangan meremas pundak Sutris. "Wanita memang berbahaya."
Sambil menunggu jam H, Sutris melepas kaos, membasahi badan pakai air dingin lalu melumuri dengan lumpur. Dengan begini sensor panas bakal sedikit terganggu. Dia menghafal peta, di mana letak sungai, untuk jaga-jaga jika terdeteksi musuh. Air sungai bisa menghapus aura panas badan.
Sergei duduk di batu besar mengamati Sutris. Mungkin baginya yang hidup di negara maju perilaku Sutris aneh. "Sangat tidak praktis, lebih baik memakai baju Anton. Apa itu akan berhasil?"
"Semoga saja," sahut Sutris, melumuri muka pakai lumpur. "Sudah masuk waktu untuk bergerak?"
"Masih seperempat jam lagi." Sergei membantu Sutris keluar dari kubangan lumpur dengan mengambil bambu miliknya. "Jadi bagaimana kalian bisa bersama Anna?"
Sutris duduk di sebelah Sergei. "Dia dikejar OPM dan kami menolongnya. Kenapa gadis semengerikan itu tidak ikut dalam tim kalian?"
"Dia keluar dari Spetsnaz, Iraq 2003. Dia menetap di sana hingga bertemu pacarnya orang Amerika. Akubdengar sekarang pacarnya tertawan oleh teroris di sana. Presiden Amerika tidak berdiskusi dengan teroris, tapi Anna mau."
"Aku kira dia berada di Syria," gumam Sutris, merasa tertipu oleh Anna.
"Perang dingin tahun 2010 antara Rusia dan Uni-eropa, kamu juga di sana?"
Sutris mengangguk, senyum kecut terlintas di bibir. Karena perang lucu itu dia terpaksa dia pergi ke sana.
Ketukanoerang itu terjadi, para teroris menawan kru kapal tanker Indonesia ketika melintasi laut merah. Mereka mengira Indonesia bekerja sama dengan Amerika dan membawa tawanan mereka ke Syiria.
Denjaka dan US Seal pergi untuk membebaskan tawanan. Misi itu misi terakhir yang membuat Sugrus diberhentikan tidak hormat.
"Tahun yang menyenangkan, huh?" Ledek Sergei, bangkit dari duduknya. "Saatnya bergerak."
Sutris mengikuti Sergei sambil membawa senapan serbu, menyusuri anak sungai nan jernih.
Terpantul sosok yang sama di sana seperti ketika dia berada di perbatasan Yordania dan Syria. Bedanya wajah Sutris kala itu berlumur pasir dan badannya berbalut pakaian kamuflase Timur Tengah berwarna kuning pasir.
****