"Apa?" teriak Ruri serasa tak percaya akan penjelasan Dino.
Awalnya Dino mengelak untuk memberikan jawaban. Ia malah dengan sengaja berucap, "Kenapa enggak bertanya sendiri dengan orangnya? Heh, aku yakin dia pasti enggan menjawabnya. Iya kan? Seharusnya kau tau, jika enggan berarti itu sesuatu yang memalukan baginya. Tapi kenapa kau terlalu kepo!"
Rasa bersalah timbul, namun penasarannya lebih besar dari rasa itu. Hingga tanpa sadar mulut Ruri kembali berceloteh, "Aku bukan kepo. Tapi aku penasaran dan hawatir. Ah, bukan berarti aku tak yakin dia bisa menyelamatkan diri. Hanya saja ...."
Suara Dino menggelegar, tawanya membahana memenuhi ruangan. Syukurnya kamar kecil itu kedap suara, jika tidak pasti seluruh penghuni rumah akan marah karena kebisingan yang mereka perbuat.
"Kenapa kalian tidak jadian saja?" ledek Dino. Matanya melirik kesal diikuti gelengan. Tak mengerti akan maksud reaksi pemuda kecil itu, namun Ruri sadar wajah itu terkesan tak menyukai kalimat yang keluar dari mulutnya sendiri.
"Jika kau tak ingin menjawab, baiklah. Aku lebih baik pergi. Sepertinya aku hanya pengganggu bagimu," ucap Ruri. Perasaan kesal karena direndahkan oleh pria yang lebih muda darinya, membuat Ruri menjadi tak nyaman belama-lama di sana.
"Hei! Siapa yang bocil sih? Kenapa kau begitu sensitif jadi cowok?" sambung Dino. Rasa menyesal telah bersikap begitu pun hadir. Namun, Ruri tetap melangkah hingga Dino menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.
"Apa kau tau, kalau cewek tomboy itu juga merisaukanmu? Hah!"
Seketika langkah kaki Ruri terhenti. Bahagia, hingga kembali ingin mendengar perkataan itu.
"Dia terus mencarimu sampai sulit berkonsentrasi. Entah sudah berapa kali ia keluar rumah memastikan keadaanmu. Jika aku boleh menebak, mungkin dia berpikir telah terjadi hal buruk padamu, makanya kau hilang kabar beberapa hari ini. Mulutnya tak berhenti mengataimu. 'Dasar bodoh! Nekadmu itu bisa membunuh. Bodoh!' itu terus yang ia ucapkan, sampai telingaku merasa bosan. Tapi aku yakin, meski bibirnya mengumpat tetapi yang terjadi dalam hati justru sebaliknya."
Itulah yang menyebabkan Ruri sampai berteriak kaget. Tanpa disangka Sesilia sepertinya memiliki perasaan yang sama dengan dirinya dan ini membuat ia ingin pingsan karena terlalu syok.
"Ada lagi yang ingin kau tanyakan? Sepertinya aku butuh konsentrasi tingkat tinggi saat ini," ucap Dino. Mendadak bertukar, Dino kecil menjadi dewasa dan Ruri seperti bocah karena sedang jatuh cinta.
Ruri terlalu bahagia, hingga salah tingkah. Bingung berkata apa dan akhirnya ia berucap, "Tidak. Ah, maksudku apa yang sedang kau kerjakan?"
"Apa kau yakin ingin menanyakan itu saat ini?" ledek Dino. Bibirnya menyungging, ia kembali meledek Ruri.
"Aku penasaran karena benda itu terlalu kecil," jelas Ruri. Ia sungguh merasa bodoh saat ini. kalud, senang, bingung, semua bercampur dan tak mungkin ia pergi begitu saja. Pasti hal itu akan semakin membuat Dino meledek dirinya.
"Ini proyek baruku. Aku yakin kau pasti akan takjub setelah mengetahuinya. Jadi akan aku beritahukan setelah alat ini bisa digunakan saja."
Bukan merasa lega, Ruri justru semakin ingin tahu. Tangannya bergerak mengambil beberapa lembar kertas yang tergeletak di atas meja kerja Dino. Sebuah skema dengan beragam kode, berikut jalur dan dayanya tertulis jelas di sana.
"Bukannya ini earphone ya?" tanya Ruri.
Tak mendapat jawaban, Ruri kaget saat Dino menatap picik ke arahnya.
"Bagaimana kau tau? Apa sebenarnya keahlianmu?" tanya Dino. Kali ini tatapan penasaran pun berpindah di wajahnya.
"Ah, aku juga enggak tau. Aku enggak yakin dengan kemampuan apa yang aku miliki. Tapi entah kenapa aku bisa menebak itu setelah melihat skema ini."
"Yah, kau benar itu earphone. Tapi sayang bukan itu fungsinya. Mungkin ia memiliki bentuk dan mekanisme yang mirip, tetapi aku telah memodifikasinya."
Ruri kembali melanjutkan untuk membuka lembaran berikutnya. Ia membaca keterangan tertulis yang ada di sana. Lagi-lagi mulut manisnya mengeluarkan ucapan yang tak disangka.
"Ini keren, kau pasti membuat alat multifungsi kan? Pelacak, yah, ini pelacak. Dengan alat ini maka kau bisa melacak keberadaan seseorang meskipun berada jauh di dalam tanah. Ini benar-benar keren."
"Heh! Kembalikan lembar kerjaku. Aku enggak mau kau terlalu jauh menebak. Tidak surprais lagi jadinya!" ujar Dino kesal.
"Maaf, aku enggak bermaksud begitu. Tapi ... bukannya alat itu akan ketahuan saat tubuh diperiksa menggunakan alat pendeteksi logam?"
"Sudah aku bilang, ini proyekku. Kau akan tau nanti. Tak perlu pusing memikirkan ini. Biar ini menjadi tanggung jawabku. Nantinya kau yang aku jadikan kelinci percobaan dengan alatku. Okey! Keluarlah. Kau tau di mana pintunya kan?"
Meski terkesan mengusir, namun wajah Dino tak menunjukkan hal itu. Ia tersenyum ramah sembari mengedipkan matanya.
Tak ada lagi yang Ruri perlukan di sana, terlebih setelah mendengar ucapan Dino mengenai tanggung jawab. Seketika ia pun teringat akan janjinya untuk mencari tahu cara mengikuti permainan kelompok aneh itu.
"Argh! Jika ada Sesilia pasti dia sudah ikut-ikutan meledekku."
"Hei, kemarilah!" seru Ayah yang sedari jauh melambaikan tangan ke arah Ruri. Sepertinya pria dewasa itu sudah sedari tadi menunggu dirinya.
"Mati aku, jangan bilang Ayah ingin bertanya tentang perkembangan janjiku," gumam Ruri. Ia begitu cemas dan wajah itu menggelitik Sesilia. Dari depan pintu Sesilia tersenyum meledek dengan jari telunjuk kanan menggores pada lehernya.
Ruri hanya bisa melangkah pasrah, dia hanya perlu mengaku bahwa ia belum mendapatkan jawaban dari janjinya.
"Apa kau sudah makan? Kau terlihat lemas," tanya Ayah. Tangan besar itu mendarat di pundak kiri Ruri. Meski tidak berat, entah mengapa Ruri merasa dirinya begitu kecil saat ini.
"Sudah."
"Baguslah, kau perlu mempersiapkan diri. Aku rasa tak semua orang bisa ikut permainan itu. kemungkinan hanya remaja yang mereka butuhkan."
"Sial! Lagi-lagi dia membahas ini. Sudahlah, aku hanya perlu mengaku kelemahanku."
"Duduklah! Ada yang ingin aku tanyakan," ucap pria itu.
Lemas, kedua kaki Ruri mendadak hilang kekuatan. Ia pun menjatuhkan tubuhnya di atas kursi kayu yang ada di halaman samping.
"Apa sebelumnya kau mengalami terapi mengembalikan ingatan di rumah sakit?" tanya pria itu. wajahnya teduh dan terlihat tulus penuh perhatian.
"Ah, ya. Hipnotis sekali. Tetapi tidak berjalan baik. Makanya aku diberi waktu terlebih dahulu sebelum melakukannya kembali," jawab Ruri. Kini jantung yang nyaris copot itu kembali berdetak normal.
"Apa mereka memberikanmu obat?"
"Tidak, hanya pereda rasa sakit dan itu pun hanya dua kali. Saat itu kepalaku berdenyut hingga membuat pandanganku kabur," jelasnya.
"Aku harap mereka tak terlalu ikut campur untuk mengembalikan ingatanmu. Karena aku takut hal sebaliknya yang justru terjadi. Seperti yang kau katakan sebelumny, aku pun juga menaruh curiga dengan para pekerja yang ada di rumah sakit itu. Bukan tidak mungkin kalau mereka saling berkomplotan."
"Yah, syukurnya aku dibebaskan meski harus terus kembali ke rumah sakit untuk memeriksakan keadaan."
"Jangan terlalu memaksakan diri. Aku yakin ini tidak mudah untukmu. Tergesa-gesa juga tidak baik. Biarkan semua berjalan tepat pada waktunya. Kembalilah ke sini kapanpun kau mau. Setidaknya beri kabar, agar kami tau kalau kau baik-baik saja."
"Yah, terima kasih," sahut Ruri. Ingin menangis rasanya, Ruri merasa bahagia mendapat perhatian dari keluarga kecil ini. Ia sungguh tak menyangka bisa bertemu mereka semua. Memutuskan pamit untuk kembali ke rumah sakit sebelum senja datang, Ruri dijegat Sesilia yang ternyata sedari tadi menguping pembicaraan mereka.
"Hei! Mau ke mana kau?" tanya Sesilia mengagetkan Ruri.
"Aku harus kembali ke rumah sakit."
"Hati-hati di jalan, jangan sampai kau kenapa-kenapa. Karena kau masih punya hutang tanggung jawab untuk tugas yang kau tentukan sendiri," ucap Sesilia. Matanya menatap puas wajah sendu Ruri.
"Hah!" hanya bisa menghembuskan napas berat dan berharap ia bisa bertemu kembali dengan pemuda itu.