Menyesal karena terburu-buru pergi, Ruri berhenti sejenak di taman yang sempat ia singgahi. Ia merasa seperti tengah bermimpi saat ini. Bisa melepas rindu hingga saling menggenggam tangan sungguh tak terbayangkan sebelumnya. Tersenyum sendiri jika mengingat hal itu, Ruri merasakan ada beragam bunga tumbuh memenuhi hatinya.
"Ah, ini bukan saatnya untukku membahas tentang ini. Setidaknya aku bahagia karena aku tau dia juga merisaukan diriku. Kenapa hatiku bisa sesenang ini, apa ini yang dikatakan jatuh hati?"
Benaknya kembali mengingat sosok wajah Sesilia. Wajah cantik yang terlihat begitu natural, manis meski dibalut gaya maskulin tak lantas memudarkan aura kecantikannya. Bahkan saat terlihat kesal pun gadis itu tetap saja manis di mata Ruri.
Sore itu taman mulai sepi, hanya beberapa gelandangan dan peminta-minta yang masih berada di sana. Selebihnya memutuskan pulang karena langit hampir gelap.
Tampak dari jauh sosok seorang pemuda bersama dua orang dewasa bersamanya. Pemuda itu terlihat tak asing. Berdiri tegak memfokuskan penglihatannya Ruri pun sadar kalau pemuda itu pasien yang sempat berbincang dengannya tempo hari.
"Hei!" teriak Ruri, berharap pemuda itu mendengarnya. Namun, pemuda itu tak melihat malah pria dewasa berambut cokelat yang melirik ke arahnya.
"Hei kau! Apa kau lupa padaku?" tanya Ruri kembali, kali ini tubuhnya beranjak mendekat ke arah mereka.
"Yah!" sahut pemuda itu. Tubuhnya kaku dengan tatapan ragu, melambaikantangan diikuti senyum terpaksa. Aneh, namun Ruri berprasangka baik akan hal buruk yang mungkin terjadi padanya.
"Bukannya wajar orang tua marah kepada anaknya? Apalagi setelah tau anaknya ikut permainan yang berbahaya begitu," gumam Ruri.
Ia terus saja melangkah tanpa menaruh curiga.
"Maaf, bolehkah aku berbicara sebentar dengannya," ucap Ruri dengan ramahnya kepada pria dan wanita dewasa yang ia kira kedua orang tua pemuda itu.
"Ada apa kau memanggilku?" tanya pemuda itu. Wajah cemas berselimut takut, pemuda itu berulang kali melirik ke arah dua orang dewasa itu.
"Maaf kalau aku mengganggu. Aku hanya ingin bertanya cara mengikuti permainan itu. Aku ingin mengikutinya kembali!"
"Apa kau gila? Bukannya kalau kau bisa kembali dengan selamatnya sudah cukup?" ucap pemuda itu. Matanya menyala kesal, dengan gigi yang merapat. Ia bersikap sangat berbeda dengan sebelumnya. Kasar dan tertekan.
"Tapi aku harus kembali ke sana."
"Apa? Kembali? Maksudmu kau sebelumnya sudah melewati permainan itu begitu?" tanya pemuda itu membuat Ruri menjadi bingung sendiri. Karena sebelumnya pemuda itu yang memancing Ruri dengan menceritakan banyak hal tentang permainan itu.
"Yah, aku ingin ingatanku kembali," jelas Ruri. Nada lembut penuh pengharapan berhasil meluluhkan pemuda itu.
"Aku enggak yakin kau bisa kembali mengikuti permainan itu. Mereka akan meminta data diri para peserta yang pastinya mereka akan tau jika kau pernah menjadi bagian peserta mereka."
Kecewa, Ruri seketika merasa pupus harapan. Namun, ia kembali teringat akan sosok Sesilia. "Jika aku tidak bisa ikut, mungkin Sesilia bisa."
Tersenyum penuh yakin, Ruri kembali bertanya, "Okelah. Aku hanya perlu tau bagaimana cara agar bisa mengikuti permainan itu. Itu saja!"
"Kau yakin? Jangan berharap kau bisa lepas dari sana seperti diriku!" jelas pemuda itu. Nadanya mendayu penuh penyesalan.
"Enggak akan, aku yakin itu."
Melihat keyakinan dan tekad besar pada sikap Ruri, pemuda itu pun mulai menjelaskan caranya. Tapi sayang pembicaraan mereka harus terhenti karena seorang pria dewasa telah mendekati ke arah mereka.
"Kita harus pulang. Maaf kalau aku mengganggu pembicaraan kalian," ucap pria itu. Tangan besarnya mendarat di pundak si pemuda, dengan sedikit meremas seakan memaksa.
"Yah, terima kasih banyak. Maaf membuat Anda menunggu," ucap Ruri diikuti sedikit bungkukan tanda hormat.
Sambil berjalan dari kejauhan Ruri melihat pemuda itu kembali bersikap aneh. Ia dengan sengaja meletakkan telapak tangan kanannya di balik punggung. Lalu mengembangkan kelima jarinya, mengatup rapat dan kembali membukanya. Begitu terus hingga ia mendekati mobil hitam panjang dengan pintu geser di bagian samping.
"Sudah dekat, enggak ada salahnya aku kembali menjenguk pria tua dan menyampaikan semua rencana kami."
Sebelum memasuki ruang si pria tua, Ruri terlebih dahulu melirik ke arah kamar Suster Lita dirawat. Namun, saat ini ruangan itu terlihat kosong dan sangat rapi.
"Apa dia sudah membaik yah? Kenapa enggak aku kabarkan kepadanya juga. Mungkin dia juga ingin ikut menjadi peserta untuk bisa bertemu dengan orang tuanya yang hilang."
Seperti dugaannya pria tua masih terbaring lemas di atas ranjangnya. Wajah keriput itu semakin putih dan menakutkan. Matanya terpejam dengan napas yang berisik. Sungguh keadaan yang memprihatinkan. Tak berniat mengganggu, Ruri memutuskan pergi setelah cukup lama berdiri memperhatikan ke arahnya.
"Apa itu kau, anak muda?" tanya pria tua masih dengan mata terpejam, membuat langkah Ruri terhenti dan kembali mendekat ke arahnya.
"Apa aku mengganggumu, Pak?" tanya Ruri meragu.
"Ada kabar baik apa. Aku melihat wajah ceriamu hari ini."
Dahi Ruri seketika mengernyit, ia bingung dan memperhatikan pada kedua kelopak mata yang tertutup. "Bukannya dia sedang tidur ya?"
"Mataku terasa lelah dan aku nyaman jika menutupnya. Namun, salah satu keahlianku bisa melihat meski sedikit membuka mata," jelasnya.
"Yah, kau benar Pak Tua. Aku memiliki kabar gembira. Aku sudah mengetahui cara bergabung bersama mereka, aku berharap putri manismu juga berada di sana. Maka sesuai janjiku, aku akan membawanya kembali padamu."
Tersenyum, perlahan suara berisik pada napasnya meredup. Matanya mulai terbuka dengan keadaan berkaca-kaca.
"Aku yakin itu. Bahkan sejak pertama menemukanmu. Harapan itu kembali datang. Aku tak perduli jika mendengar kabar buruk tentang kematian putriku. Setidaknya aku tau seperti apa keadaannya saat ini."
Ruri turut tersenyum, perasaan kasih seorang Ayah dapat ia rasakan dari si pria tua. Tulus dan hangat bahkan hatinya juga bisa merasakannya.
"Yah, meski aku tidak yakin dengan kemampuanku. Aku tau ini bukan hal yang mudah, tapi aku tak akan tau hasilnya jika tidak mencoba. Benar bukan?" ucap Ruri.
"Perkiraanku tidak akan salah dan aku yakin kau bisa menyelesaikan semuanya. Terkadang kau tak perlu sibuk mencari kelebihanmy, cukup jalani dan kesungguhan hati maka kau akan menemukan semua yang ingin kau temukan. Ingat, mati itu sudah ketentuan jadi jangan pernah takut melangkah."
Kalimat singkat itu menjadi arang pembakar semangat Ruri. Bergelor, Ruri semakin yakin akan semua keputusan yang telah ia perbuat selama ini.
"Ambil ini!" ucap si pria tua. Ia menyerahkan selembar foto gadis muda yang tengah tersenyum manis mengenakan jas dokter. "Ingat benar-benar wajahnya, aku tak ingin kau salah membawa pulang gadis."
"Yah, aku janji itu. Aku harus pergi, ada hal yang perlu aku kerjakan sekarang!" ucap Ruri berupaya pamit. Tak lupa ia membawa foto gadis itu guna diperlihatkan kepada Sesilia. Karena ia tak tahu hal apa yang mungkin terjadi nanti.
"Apa yang akan kau lakukan sekarang? Apa kau ingin ikut permainan itu dan meninggalkan rumah sakit? Apa kau ingin ketahuan, hah? Sudah, serahkan saja semuanya padaku. Kau tetap bekerja di sana dan jangan melakukan hal aneh lainnya. Atau rencana kita bisa gagal!" teriak Lili kepada lawan bicaranya. Sepertinya mereka sengaja berbicara di sana agar tak ada yang mendengar.