Keesokan harinya, Pak Calvaro memanggil Alma untuk datang ke dalam kantornya. Masuklah perempuan itu ke dalam ruangan. Ia menemui sosok Pak Calvaro. "Bagaimana, Pak? Katanya Bapak memanggil saya?"
"Iya. Aku memanggilmu. Aku mencemaskan kondisimu. Kamu baik-baik saja, kan?"
Alma menganggukkan kepalanya. "Mataku sudah membaik. Kalau tidak membaik, tentunya aku tidak akan berangkat kerja."
"Syukurlah."
"Baiklah kalau begitu, Pak. Saya izin pamit lebih dulu."
Alma pun hendak keluar dari ruangan Pak Calvaro, tetapi lelaki itu mencegatnya untuk keluar. "Tunggu dulu, Alma." katanya.
"Iya? Bagaimana, Bapak?" tanya Alma.
"Aku tahu ini adalah urusan pribadimu. Tetapi, aku tidak mau kalau sampai ada crash di perusahaan. Apakah kamu tidak apa-apa dengan hal itu?"
Alma menganggukkan kepalanya. "Tidak apa-apa, karena aku mencoba untuk profesional kedepannya."
"Terima kasih, Alma. Jangan ragu jika kamu membutuhkan sesuatu. Katakan saja padaku."
Alma mengiyakan, lantas gadis itu keluar dari ruangan Pak Calvaro dengan penuh tanda tanya. Pasti semua orang sudah tahu mengenai keadaannya dengan Mbak Geisha.
Pak Calvaro menanyakan hal itu bukanlah tanpa alasan. Alma menghela napas panjangnya. Ada sedikit rasa malu akibat rumah tangganya yang berantakan hingga sampai terendus di kantor.
'Tetapi ini semua bukan salahku. Ini karena Mas Lazuardi,' Gadis itu pun kembali ke kubikelnya sendiri. Membuat naskah berita yang cukup ringan, dibandingkan kemarin. Pasti Pak Calvaro merasa bersalah.
Sebuah ulasan senyuman tersungging di bibir Alma. Gadis itu merasa bahagia.
* * *
Mas Lazuardi sengaja ingin memberikan kejutan pada Alma. Lelaki itu sudah membawakan buket bunga mawar sebagai permintaan maafnya. Ia tahu, ini tidak seberapa. Namun masih mending membawa bunga, daripada datang dengan tangan kosong.
Lelaki itu sudah tiba kantor Newsweek, siap untuk pergi berkencan dengan Alma.
Ia akan menunggu keberadaan Alma, lalu menyuguhkan senyuman kepadanya. Banyak orang berkata kalau kejutan sederhana akan membuat jantung berdebar bahagia.
'Ayolah keluar, Alma. Aku menunggumu.'
Dalam situasi kantor yang mulai sepi, banyak orang yang keluar dan pulang, Mas Lazuardi menantikan istrinya sendiri.
Ia setia menunggu. Bahkan tanpa menginterupsi Alma.
* * *
"HOAAAMM!!" Alma menguap. Ia baru saja membuat tiga naskah berita, dan sudah dikirimkan ke editor.
"Ah, lelah sekali. Buat tiga naskah saja, researchnya lama." umpatnya.
Melihat ke arah jam dinding, ternyata sudah jam tiga sore.
"Kamu mau pulang, Mbak Andini?" tanya Alma kepada teman sebelah kubikelnya. Ia adalah perempuan yang hamil enam bulan.
"Iya, aku mau pulang. Suamiku juga sudah menunggu di depan."
Karena Mbak Andini adalah salah satu wartawan senior, dia bertanggungjawab atas naskah feature, sehingga tidak mengharuskan perempuan itu tetap berada di kantor.
"Hati-hati, ya, Mbak. Aku mau pulang satu jam lagi."
"Oke. Semangat, Alma!" katanya berbisik di telinga Alma.
Tak lama setelah Mbak Andini keluar dari kantor, mendadak Mbak Andini menelpon. Karena dirasa penting, Alma segera membuka ponselnya.
"Bagaimana, Mbak?"
"Aku melihat Mas Lazuardi ada di parkiran tadi. Kamu ada janji temu dengannya?"
Deg. Untuk apa Mas Lazuardi datang ke sini? Jangan-jangan ... Lelaki itu akan bertemu dengan Mbak Geisha?
Bahkan setelah tertangkap basah oleh dirinya, lelaki itu tanpa perasan malu datang ke tempat kerjanya? Untuk menjemput Mbak Geisha?
Alma meringis. Perasaannya makin terasa luka. Secepat kilat, gadis itu pun bangkit. Ia turun ke lapangan parkir di basement.
Seperti dugaannya. Mas Lazuardi memang datang untuk Mbak Geisha. Perempuan itu sudah berada di sana, mencium buket bunga mawar yang jelas diberikan oleh Mas Lazuardi.
'Harusnya aku tak usah ke sini.'
Gadis itu berlalu pergi dari sana. Ia semakin yakin, kalau apa pun yang dikatakan oleh Mas Lazuardi hanyalah bualan semata.
* * *