Apalagi yang bisa menjawab pertanyaan itu kecuali : "Iya, Kak. Aku bercerai dengan Mas Lazuardi."
"Kata Umi kamu baru saja pulang dari tempat Abi dan Umi tadi. Sekarang kamu ada di mana? Biar Kakak temui kamu."
"Aku lagi di jalan. Bagaimana kalau aku yang ke rumah kakak?"
Berikutnya, Alma meminta kepada supir taksi yang sejak tadi melihatnya dengan penuh welas asih karena tangisan Alma, untuk pindah tujuan. Ia harus menemui Sang Kakak.
* * *
"Ini tehnya, diminum dulu." ujar Kak Zulfa sembari menghidangkan teh hangat beserta dengan kue kering.
Alma melihat ke dalam rumah, terdengar tawa bahagia suami Kak Zulfa dengan orang tua mereka. Terdengar begitu menyenangkan.
Bukannya Alma iri, tapi dia hanya menyayangkan dirinya sendiri.
Padahal, Kak Zulfa juga dijodohkan oleh Abi dan Umi. Tapi Kakaknya ini cukup beruntung. Dia bisa mendapatkan seseorang yang memang diciptakan olehnya, tanpa perlu menjalani kegetiran pernikahan.
"Alma, katakanlah pada kakak. Kenapa kamu bercerai dengan Mas Lazuardi? Pasti bukan karena ketidakcocokan, kan?"
Apakah Alma harus mengatakan semuanya? Dengan jujur? Dan mencoreng nama baik Mas Lazuardi? Ataukah dia harusnya mengatakan kebohongan kembali?
Alma hanya mampu menangis. Ia bahkan belum mengatakan alasannya. Ia bahkan merasa sedih. Ia biarkan tangisan ini untuk menutupi kesedihannya.
Alma sesengukan, sampai Kak Zulfa tidak tega dan membiarkan gadis itu untuk beristirahat di rumahnya.
Alhasil, Alma ketiduran di kamar Kak Zulfa hingga menjelang maghrib.
Pada saat bangun, Alma pun membersihkan diri dan turut shalat berjamaah. Sungguh, ini adalah sebuah kenikmatan dunia.
Alma melihat sinar kebahagiaan yang terpancar dari Kak Zulfa dan suaminya. Mereka berdua salim pasca shalat maghrib. Lalu membaca Al-Qur'an bersama-sama.
'Apa yang telah aku lakukan? Kenapa aku tidak bisa hidup bahagia seperti kakak dan suaminya?'
'Aku juga ingin... punya suami sholeh yang bisa bersamaku...' batin Alma dengan perih.
* * *
Alma ikut makan malam bersama dengan keluarga Kak Zulfa. Dengan penuh perhatian, Kakak Alma itu pun menanyakan. "Kamu selama ini tinggal di mana, Alma?"
"Aku tinggal bersama dengan Faradina di apartemennya."
"Kantor kamu nggak cukup jauh dari sini. Kenapa nggak ikut tinggal bersama kami? Suami kakak juga rasanya nggak masalah, kan?"
"Maksud Kakak, daripada kamu sama Faradina.. Dia kalau nggak salah juga non-muslim, kan?"
Alma tersenyum sembari menggelengkan kepalanya. "Nggak apa-apa, kok, Kak. Faradina orang yang baik. Dia mau menampungku. Kantorku lebih dekat juga dengan tempat Faradina. Aku sudah bilang ke dia, mungkin dua atau tiga bulan kedepan, aku baru berani ambil indekost sendiri."
"Baiklah kalau begitu... Kita nggak usah bahas hal yang sedih-sedih, ya... Kakak mau kamu juga senang di rumah ini."
Alma menganggukkan kepalanya. Dia juga enggan untuk membahas soal Mas Lazuardi pada saat ini.
* * *
Bagi Alma, Mas Lazuardi itu seperti misteri. Lelaki itu tak pernah memberitahukan apa pun isi hatinya. Apa yang ada di pikirannya. Dan juga bagaimana sejatinya perasaan dia.
Mungkin Alma bisa mengetahui alasan Mas Lazuardi masih menjaga kesuciannya, karena dia merasa tak pantas untuk bersama dengan Alma. Sebab dia sudah menikmati malam bersama dengan Mbak Geisha sebagai peredam nafsunya.
Tapi... Alma masih tak habis pikir pada Mas Lazuardi, kenapa setelah perceraian, Mas Lazuardi malah makin gencar mendekatinya? Apa maksud lelaki itu?
* * *