Selama perjalanan pulang setelah Aurel mengantarkan Jane kembali ke rumahnya, terjadi kecanggungan yang sangat langka dalam mobil itu. Tidak ada yang memulai bicara sama sekali. Aurel masih terfokus dengan jalan yang dilewatinya. Ricky tidak tahu apakah Aurel masih dalam mode diamnya atau Aurel memang selalu fokus di saat menyetir mobil? Pasalnya, ini pertama kalinya pula Ricky melihat Aurel yang sedang mengendarai mobil itu.
Saat ia sedang iseng menghitung pohon-pohon di pinggir jalan, tiba-tiba saja ia terpikirkan cerocehan Jane tentang Aurel. Iya, permintaan maaf itu. Entah kenapa, terasa susah sekali untuk keluar dari mulut.
"Kita sudah sampai," kata Aurel sambil mematikan mobilnya. Ricky sampai tidak sadar kalau ia sudah berada di garasi rumah karena terlalu larut dalam pikirannya itu.
Mereka pun keluar dari mobil. Aurel membawa dua tentengan belanjaan yang terlihat cukup berat.
"Sini, aku yang bawa." Ricky berinisiatif untuk membawa semua belanjaan itu.
"Gak usah. Ini berat, nanti kamu gak kuat," tolak Aurel.
Ricky berdecak sebal mendengarnya. "Kakak denger kata Jane tadi, kan? Jangan terlalu dimanjain."
Beberapa saat Aurel memandang mata Ricky untuk melihat kepastian. "Ya sudah kalau itu maumu," kata Aurel sambil menyerahkan dua kantung besar itu. Hampir saja Ricky tersungkur ke depan karena Aurel tiba-tiba melepas genggamannya di saat ia belum siap-siap untuk menahan belanjaan yang ternyata sangat berat itu. Aurel langsung berbalik badan untuk keluar dari bagasi tanpa memedulikan Ricky yang terlihat kesusahan.
"Kakak masih marah?" Akhirnya pertanyaan itu keluar dari mulutnya saat melihat Aurel yang masih diam saja menonton acara TV di ruang keluarga.
"Marah kenapa?" balas Aurel dengan mata tak beralih dari TV.
"Soal kemarin itu," kata Ricky. Ia menghela napas dan dihembuskan perlahan untuk menenangkan pikiran. Sekarang waktu yang tepat karena tidak ada siapapun di ruangan itu. "Aku minta maaf karena sudah berburuk sangka dan membentakmu kemarin."
"Hmm..." gumaman Aurel terdengar tak acuh.
"Aku sudah mendengarnya dari Jane. Ternyata sudah banyak sekali yang kakak korbankan untukku. Agak berlebihan—maksudku, sangat berlebihan. Tapi ya...," mata Ricky tidak bisa fokus untuk memandang Aurel, "Terima kasih untuk semua itu."
Sebenarnya Ricky cukup enggan untuk mengucapkannya, tapi pasti ngerasa tidak enak juga kan kalau tidak diucapkan? Fyi, ini pertama kalinya Ricky meminta maaf sekaligus berterima kasih pada Aurel sejak ia berangkat untuk menempuh pendidikan.
Aurel masih terdiam. Ia hanya memberikan senyum yang terkesan misterius itu sebelum ia kembali menoleh ke TV.
"Kak? Dimaafin gak nih?" seru Ricky pada Aurel yang duduk di sofa seberangnya.
Namun, Aurel masih terdiam dengan senyum misteriusnya itu.
Ricky menganggapnya sebagai tanda ia telah dimaafkan dan semua akan kembali normal. "Udah dimaafin, kan? Ya udah aku ke kamar dulu," ucapnya sambil beranjak dari sofa.
"Eh belum!" seru Aurel yang menghentikan langkah Ricky.
"Belum?" herannya.
"Iya, belum. Ada syaratnya kalau kamu mau dimaafin," kata Aurel sambil ikut berdiri dan menghampiri Ricky yang sudah berada di depan tangga.
"Mau dimaafin apa nggak, yang penting aku udah minta maaf," balas Ricky sambil melangkah menaiki tangga.
"Eh bentar dulu!" Aurel langsung menarik tangan Ricky untuk mencegahnya. "Kalau aku belum maafin, berarti aku masih marah denganmu. Kalau aku masih marah, aku gak akan ajarin kamu selama SMA, aku gak akan kasih tau trik untuk menghadapi Pak Abdul guru Fisika, aku juga gak akan buatin pecel lele kesukaanmu itu," ancam Aurel.
Ya ampun! Itu benar-benar ancaman yang fatal bagi Ricky. Saat ini ia mulai sadar kalau ternyata kakaknya itu memang segalanya.
"Ya udah, ya udah," erang Ricky. "Jadi, kakak mau apa biar dimaafin?"
Aurel tersenyum dan hendak memikirkan sesuatu. "Kamu minta maaf sekaligus terima kasih dengan pose pangeran yang akan melamar seorang putri dalam keadaan direkam handycam, bilang I Love You My Lovely Sister dalam keadaan direkam juga, gak boleh bawa teman perempuan ke rumah, gak boleh pacaran selama di sekolah, dan kamu harus ikut sesi pemotretan untuk desain jaket baruku," sebut Aurel.
Ricky hanya bisa ternganga mendengar permintaan yang tak mungkin ia lakukan itu. "Allahu Akbar… Harus semuanya?"
"Iya." Aurel mengangguk senang. "Oh, apa mau lagi?" tanyanya yang salah mengartikan mimik Ricky itu.
Ricky menggeleng cepat. "Nggak. Aku malah minta dikurangin."
"Ehmm... ya udah deh. Minimal 3 dari apa yang aku sebutin tadi,"
"Gimana kalau minimal 1?" tawar Ricky.
"3."
"2 deh."
"3."
"2,5?"
"3."
"Ya udah, 3." Ricky hanya bisa pasrah mendengar Aurel terus menjawab tiga dengan ekspresi dan nada yang sama itu.
"Asik! Jadi, mau yang mana?" girang Aurel.
"Aku salat istikharah dulu."
"Kelamaan! Belum tentu kamu langsung dapat petunjuk setelah sholat istikharah, kan? Aku butuhnya sekarang, Kiki," rengek Aurel sambil mengayun-ayunkan tangan adiknya itu.
"Ya udah sebentar. Aku mau mandi sekalian solat Ashar. Ini udah jam 5, kak."
Aurel pun melepas tangan Ricky. "Aku tunggu sampai jam 7 malam. Kalau lebih dari jam segitu kamu belum Tentuin pilihan juga, aku anggap kamu mau ngelakuin semuanya."