"Mulai hari ini, uang jajanmu Papa potong, Ricky." Leo mengeluarkan deklarasi paling menyeramkan yang pernah Ricky dengar.
"La-Lah? Kok gitu sih, Pa?!" Ricky hampir saja tersedak makanan sarapannya sendiri. "Aku salah apa?!" protesnya.
"Pertikaian antara kamu dan Aurel. Itu salahnya."
Ricky hanya berdecak sebal sambil menunduk melihat nasi uduk dan telur dadar di piringnya itu. Entah kenapa nafsu makannya berkurang.
"Ricky, kamu dengar Papa?" seru Leo. "Cepat habiskan makananmu atau Papa tinggal," katanya sambil beranjak dari kursi makan.
"Leo," panggil Lily. Namun, tidak digubris olehnya dan ia tetap melangkah keluar rumah dengan tas kerjanya. "Mama panggil Pak Udin dulu," kata Lily seraya mengeluarkan ponselnya dari saku baju.
"Gak usah, Ma. Aku saja yang antar Kiki," sambar Aurel, "Kalau Pak Udin gak akan sempat."
"Hmm... tapi, kan, kamu—"
"Biarin aja, Ma," sela Aurel. "Asal Mama diam aja, hehe." Ia terkekeh.
"Ya... ya sudah hati-hati."
Aurel mengangguk dan tersenyum sambil mengelap sekitar mulutnya dari sisa-sisa makanan dengan tisu.
***
"Bukan kamu saja yang dikasih hukuman sama Papa, loh." Ucapan Aurel memecah keheningan di dalam mobil.
"Memang kakak masih ada jajan?" tanya Ricky sambil memandang jalan di sebelahnya.
"Nggak. Aku sudah bisa menghasilkan uang sendiri, kan," kata Aurel. "Tapi aku dikasih hukuman gak boleh bawa mobil selama seminggu ini."
"Beneran?" Pernyataan itu menarik perhatian Ricky ke arahnya. "Terus kenapa kakak..." Ia tidak melanjutkan kata-katanya.
"Nanti kamu bisa telat. Sekarang sudah jam 6 lebih, perjalananmu ke sekolah itu 20 menit. Masuk jam 6.30 kan," jelas Aurel. "Jangan cemaskan aku. Selagi aku gak ketahuan menyetir mobil sih, aku gak apa-apa," tambahnya.
"Dih, siapa yang cemas coba?" sambar Ricky ketus.
Tiba-tiba saja Aurel menginjak rem dan mobil pun berhenti sangat mendadak. "Kok kamu jahat banget, sih, Kiki?!" gerutu Aurel.
"Cu-cuman bercanda, kak. Gak usah dianggap serius, ya ampun," kata Ricky sambil tertawa sekilas. Tangannya ia letakkan di depan dada dan merasakan jantungnya melompat karena rem mendadak itu. Ricky bisa mengambil sedikit pelajaran saat Aurel yang menyetir mobil.
Perlahan, mobil pun kembali melaju.
"Hmm... aku kira kamu masih marah padaku," gumam Aurel dengan pandangan ke depan.
"Bukannya kakak yang marah sama aku?" timpal Ricky.
Aurel menggeleng lambat. "Aku gak marah sama kamu, kok," balas Aurel sambil menoleh dan tersenyum sekilas ke arah Ricky.
"Lah, kok?" bingungnya. "Kemarin-kemarin kakak marah ya sama aku."
"Hmm... bagaimana ya?" Aurel tampak kurang mengerti apa yang ingin ia katakan.
"Kakak diemin aku sampai-sampai Papa ngira kita lagi marahan. Dan itu berlangsung lebih dari 3 hari."
"Ahh iya ya? Hahaha aku tidak sadar." Aurel tertawa sekilas. "Kalau begitu, aku minta maaf," ucapnya.
Sebuah ide melintas di pikirannya saat mendengar ucapan itu. "Tapi dengan syarat--"
"Tanpa syarat," sela Aurel.
"Dih, gak adli lah," protes Ricky.
"Gak adli apa?"
"Ya sudah kalau begitu, aku gak maafin," timpalnya.
"Ya sudah gak apa-apa, yang penting aku sudah minta maaf," balas Aurel dengan nada santainya.
"Lah, gitu? Oke, kakak gak usah ganggu aku dan jangan campur urusan hidupku lagi."
Tiba-tiba saja secara perlahan, mobil yang sedang dinaikinya itu berhenti di tepi jalan. Hal itu cukup membuat Ricky terheran pada Aurel mengapa ia memberhentikan mobilnya padahal sekolahnya masih 300 meter lagi.
"Keluar dari mobil," perintah Aurel sambil menatap Ricky dingin.
"Ke-kenapa? Sekolah kan masih jauh." Walau agak kagok saat tatapan mata tajam itu tiba-tiba mengarah padanya, Ricky mencoba untuk tetap pada posisinya.
"Aku mengantarmu sekolah itu sama saja aku ikut campur urusanmu dalam hal pendidikan. Mulai hari ini, aku tidak akan ikut campur lagi urusanmu dalam berbagai aspek sesuai kemauanmu sampai kamu mau memaafkanku," jelasnya dengan suara datar.
Aurel tampak sangat serius. Sifatnya terlihat menjadi jauh lebih dewasa saat ia seperti ini.
"Kalau dari berbagai aspek kayak gitu, buat apa hubungan adik-kakak?" protes Ricky.
"Kamu sendiri yang bilang jangan ganggu dan ikut campur urusan hidupmu lagi, kan? Urusan hidup ada banyak, asal kamu tahu saja," timpal Aurel yang merasa heran dengan pernyataan tadi.
Ah... iya, dia benar juga, batin Ricky. Ia terdiam memikirkan sesuatu.
"Cepat keluar Kiki, lima menit lagi gerbang tutup loh."
"Ya sudah aku maafkan," keluh Ricky, "Cepat antar aku!"
"Nah, gitu dong!" Aurel kembali tersenyum lebar sambil mencubit gemas pipi adik bungsunya. Itu cukup membuatnya gusar akan tingkah Aurel yang cepat sekali berubah. "Nanti aku traktir es krim, deh!"
"Iya terserah!"
Dan kemudian, mobil pun kembali melaju sampai sekolah.
***
"Biar gue tebak, pasti lu berantem sama kakak lu lagi," kata Yoga tiba-tiba setelah ia melihat ponselnya.
Ricky hampir saja tersedak karena baso yang ditelannya itu saat mendengar pernyataan Yoga. "Gue dengar lu sekali lagi ikut campur--"
"Kagak. Dia cerita ke gue," sela Yoga cepat sambil menunjukkan layar ponselnya.
Bisa terlihat dari tampilan layar chat yang ditampilkan itu kalau Aurel—yang ada tambahan (cintaku) di sebelah namanya itu—bercerita banyak di dinding pesan Yoga. Namun, Aurel mengakhiri kalimat 'Eh maaf salkir' di chat tersebut.
Saat Ricky hendak mengambilnya, Yoga langsung menarik ponselnya kembali secepat kilat. "Wey, gue gak bakal tertipu untuk kedua kalinya," ujarnya.
"Lu ngepain nyimpen nomor kakak gue, sih?" kata Ricky keki.
"Ya gue mau ikut ekskul fashion itu lah," timpal Yoga.
"Pembual!"
"Nggak. Dia memang sungguhan mau ikut," sambar Eza yang duduk di sebelahnya.
"Iya?" Ricky menatapnya heran.
"Dari SMP si Yoga emang mau ikut itu selain basket," tambah Wina.
"Dari SMP? Tunggu... waktu itu lu berdua pada kenalan, kan?" bingung Ricky.
"Cerita panjang! Pokoknya ini rencana aneh Yoga yang sok-sok gak kenal pas SMA," timpal Caca. "Jadi intinya, gue, Wina, Eza sama Yoga emang udah deket dari SMP," jelasnya.
Ricky sedikit mengernyit. Ia sempat bertanya-tanya mengapa mereka sempat berbohong di awal pertemuan mereka. Walau begitu, Ricky tidak terlalu peduli karena ada hal yang jauh lebih penting dari itu. Ia hanya mengangguk. Kemudian matanya beralih pada Yoga yang terlihat senyum-senyum sendiri sambil memainkan ponselnya. "Woy, Ga," panggilnya. "Lu lagi chat Kak Aurel, kan?"
"Iya. Langsung di-read, Rick! doi baik banget!" girang Yoga.
Tiba-tiba saja Ricky setengah berdiri dan menjulurkan tangannya pada Yoga, namun langsung di tahan oleh Eza.
"Sabar, Rick! Lapangan kosong tuh!" kata Eza.
"Siapa yang mau berantem? Gue mau ngambil HP-nya aja!" protes Ricky.
"Ooh." Eza pun langsung melepas pergelangan tangan Ricky.
"Lu kenapa gak suka banget lihat Yoga chat sama Kak Aurel, sih?" kesal Wina. "Dia kan cuman tanya jadwal ekskul aja," tambahnya.
"Nggak gitu," timpal Ricky sambil menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. "Gue cuman gak mau Kak Aurel salah cowok aja."
"Eh? Maksud lu salah cowok apaan?" Yoga sedikit tersinggung dengan pernyataan itu.
"Yaa... mungkin, lu cuman mau kecantikan dan kebaikannya aja," jawab Ricky sambil mengedikkan bahu.
"Ettdah... lu kira—"
"Udah deh Yoga," sela Caca. "Ricky itu orangnya perhatian banget sama kakaknya, jadi jangan ganggu, ya?"
"Wey... jangan salah paham! Zaman sekarang cowok emang pada gitu." Ricky berdelik.
"Ngeles aja," sambar Wina.
"Itu lu aja kali, Rick. Gue mah kagak," tambah Eza.
Saat Ricky ingin berargumen kembali, tiba-tiba Yoga memanggilnya.
"Apa?"
Yoga melepas pandangannya dari layar ponsel dan melihat Ricky dengan tatapan serius.
"Lu lagi suka sama cewek, ya?"
Hal itu langsung menarik perhatian Eza, Caca, dan Wina.
"Serius? Siapa?" tanya Eza antusias. Ricky hanya terdiam sambil melipat tangan, tatapannya menyiratkan kekesalan yang besar. "Siapa, Ga?"
"Gak tau. Gue baca chat Kak Aurel yang salah kirim itu. Dia cerita kalau dia kesal karena Kiki lagi suka sama cewek satu kelasnya," jelas Yoga.
"Kiki? Siapa itu?" tanya Wina.
"Orang lain," jawab Ricky cepat.
"Itu nama khusus Ricky yang dipanggil Kak Aurel," jawab Yoga.
"Ooh, gitu," Wina mengangguk. "Jadi, siapa Rick? Teman sekelas nih, ya? Kasih tahu kita-kita aja. Janji gak bakal disebar kok."
Ricky masih terdiam dengan tatapan yang tidak bisa diartikan. "Lu pada percaya kalo gue lagi suka sama cewek?"
"Kakak lu yang bilang," jawab Yoga.
Tiba-tiba bel masuk berbunyi. Hal itu sangat mengecewakan mereka berempat karena merasa digantungkan oleh Ricky yang tidak mau menjawab karena bel sudah berbunyi.
(Cewek yang Ricky suka itu adalah teman sekelasnya,) batin Caca. Kalimat itu terus berputar-putar di benaknya dan membuat mood-nya sedikit lebih baik. Ia terlihat terus tersenyum saat sedang menaiki tangga, lebih tepatnya saat melihat punggung laki-laki di depannya itu. Kedua matanya seakan tak pernah bosan untuk melihatnya, bahkan saat pelajaran berlangsung.
Kalimat itu sudah menumbuhkan benih-benih harapan di hati kecilnya.