Chereads / A Love For My Little Brother / Chapter 22 - Pentas Seni

Chapter 22 - Pentas Seni

Lita membawa pensil dan papan jalannya saat ia menuju ruang desain berupa ruang kelas tak terpakai yang berada di lantai dua. Kali ini jiwanya mantap untuk menerima materi dari Aurel dan ia merasa lebih yakin kalau karyanya bisa berkembang lebih baik dari sebelumnya. Tidak peduli Aurel bersikap seperti apa padanya, yang penting ia bisa menggambar desain pakaian sekaligus membuatnya. Dorongan dari kakak laki-lakinya secara tidak langsung membuatnya menjadi lebih semangat.

"Aku dengar, pentas seno sekolah mulai diadain bulan depan ya?" tanya Aurel. "Di sini ada anak OSIS?"

Seorang anak perempuan mengacung. "Saya kak. Iya, tanggal 2 November nanti ada pensi. Acara itu berlangsung dua hari."

"Ooh begitu. Oke, makasih Ida." Aurel mengambil sebuah patung dan ia letakkan di depan. "Untuk pensi nanti, aku ingin kalian menampilkan rancangan pakaian murni dari kalian."

"Maksudnya murni, apa kak?"

"Tuangkan ide rancangan pakaian kalian tanpa menyontek hasil karya orang lain yang sudah jadi."

"Hah?" Kebanyakan dari mereka tampak menolak, kecuali Lita dan dua anak kelas 10 yang tidak mengerti. "Tapi kak, biasanya untuk desain baju itu, kita lihat langsung dari yang sudah jadi. Kita cuman tambahin dikit-dikit aja. Terus tinggal dibuat, deh," protes salah seorang anak kelas 11.

"Kalau seperti itu, kalian tidak akan berkembang jauh," jawab Aurel. "Ok, kalau menurut kalian terlalu susah, kalian boleh melihat contoh. Asal, kalian harus bisa membuatnya berbeda dari apa yang ada di contoh."

"Sama seperti kemarin, kak?"

"Iya. Mengembangkan karya yang sudah ada."

Setelah itu, barulah mereka langsung mengerjakan apa yang Aurel perintahkan. Saat beberapa menit telah berlalu, Aurel mulai memeriksa satu per satu hasil karya mereka yang masih berjalan.

"Hani, sebaiknya berikan lengkungan-lengkungan halus di bagian bawahnya supaya tidak terkesan datar."

"Skirt-nya jangan terlalu rame ya, Fia."

"Seharusnya Ida jangan kasih pita yang besar, nanti terkesan norak untuk rancangan dress seramai itu."

Aurel membimbing mereka dan memberi mereka saran yang baik. Lalu, ia sampai di meja terakhir, yaitu meja Lita.

"Hmm," Aurel mengamati hasil karya itu dengan teliti, "Kamu menggabungkan dua contoh jadi satu, ya?"

"I-iya kak. Menurut kakak?" Harap-harap cemas Lita menunggu komentar dari Aurel.

"Kreatif juga sih, tapi tolong hati-hati, ya. Terkadang kalau mencampur dua contoh jadi satu itu, hasilnya bisa tidak sesuai harapan karena terlalu banyak yang dimasukkan." Aurel tersenyum pada Lita. "Ini kan temanya Summer Vacation, ya. Kalau kulihat, rancanganmu ini sudah cukup tepat. Good work!"

"Makasih, kak!" girang Lita. Dengan begini, ia menjadi lebih semangat lagi untuk membuatnya.

"Ini sudah mau jam 5 sore, apa ada yang sudah selesai?" tanya Aurel. Sebagian ada yang belum dan sebagian lagi ada yang sudah. "Wah, ternyata susah juga, ya?"

"Iya, kak! Ini kita baru pertama kali ngelakuin ini," sahut Hani.

Aurel tertawa pelan mendengarnya. "Tidak apa-apa, namanya juga masih belajar. Nanti kalian juga akan terbiasa kok. Minggu depan, aku harap sudah pada selesai ya, soalnya kita mulai merancang masing-masing satu baju lagi dengan tema Rainy Day kita. Bagaimana? Pada sanggup kan?"

"Sanggup!"

"Insyallah, kak!"

"Baguslah. Tenang aja, pasti kakak bantu kok," Aurel mengambil satu per satu kertas rancangan yang sudah selesai, "Oh iya, setelah kalian menyelesaikan dua rancangan ini, kita mulai membuatnya. Nah, kita buatnya langsung di butik kakak saja, ya."

"Wah asik!" Mereka bersorak karena baru pertama kali mereka membuat pakaian langsung di tempat butik yang sudah punya nama itu.

"Di sana pastinya sudah ada kain-kain yang kalian butuhkan. Jadi, usahakan kalian bisa datang terus sampai pakaian kalian selesai, ya."

"Siap kak!"

***

Hari-hari telah berlalu. Lita telah menghasilkan dua pakaian dengan tema berbeda melalui jerih payahnya, walau sebagian besar Aurel membantunya, sama seperti teman-temannya yang lain. Hari Selasa dan Kamis, Aurel membimbing mereka di butiknya. Hari Sabtu dan Minggu, Aurel memperbaiki sedikit kesalahan pada hasil karya anak-anak didikannya itu sekaligus membeli bahan kain baru. Untuk minggu-minggu ini Aurel tampak sibuk sekali karena menghadapi pensi sekaligus mengurusi butik dan pakaian pengantin kliennya yang sudah masuk tenggat

Ricky menyadari kesibukan Aurel itu. Jadi ia berusaha untuk tidak mengganggunya dan bertanya pada teman ketika ada PR yang sulit. Akan tetapi, Aurel masih bisa tersenyum lebar padanya dan masih bisa menghiburnya dengan tingkahnya yang tidak bisa diam itu. Seakan tidak ada letih yang terpampang di wajahnya. Sebenarnya Ricky agak jengkel dengan sikap Aurel yang tidak mementingkan dirinya sendiri itu, tapi setidaknya, suasana di sekitar kamarnya tidak terlalu sepi seperti saat Aurel masih di negeri orag.

"Kiki, pensi besok, jangan lupa liat penampilan klub kakak ya~"

"Iya."

Aurel melangkah masuk ke dalam kamar Ricky. "Eeh... Kiki, jangan main game terus dong," rengek Aurel. Tiba-tiba saja Aurel langsung menimpa Ricky yang sedang tengkurap di atas kasurnya.

"A-aduh... berat wey!"

"Makanya jangan main game terus. Nanti matanya minus loh," tegur Aurel. "Mending main sama kakak aja."

"Kalau main jadi model-modelan buat baju kakak, aku gak mau! Udah ah, berat, kak." Ricky berusaha melepaskan diri, tapi Aurel telah menguncinya.

"Emang aku berat banget, ya? Hmm... sepertinya aku perlu diet, nih," gumam Aurel.

"Terserah." Ricky merebahkan diri karena sikunya sudah tidak kuat menahan beban yang ada.

Aurel tersenyum simpul melihatnya. "Kakak gemes deh sama kamu." Ia mengusap kasar rambut Ricky sebelum ia beranjak.

Saat Ricky mendengar pintu yang terbuka, ia mengangkat kepalanya dan memastikan kalau Aurel sudah benar-benar sudah pergi. Namun nyatanya, Aurel masih ada di ambang pintu dengan senyumnya yang seakan tak pernah pergi dari wajah cantiknya.

"Jangan lupa besok, ya. Chuu~" Aurel memberikan flying kiss pada adiknya itu, dan Ricky langsung menutup wajahnya dengan bantal, bermaksud menghindar dari lope-lope pink yang melayang padanya. "Ah, masa kakak nyium bantal sih," keluh Aurel.

"Kakak!" panggil Ricky sebelum Aurel keluar.

"Apa, say?"

Ricky merinding mendadak saat mendengar kata itu keluar dari mulut kakaknya. "Ke-kenapa kakak gak nyari pacar aja, sih? Kakak kan cantik, baik, pintar, pasti banyak cowok yang naksir sama kakak."

Aurel terdiam sejenak. "Banyak, ya? Siapa aja? Sampai sekarang, belum ada laki-laki yang mengirim bunga ke aku. Kalau pun ada satu orang yang menyatakan perasaannya padaku, aku akan menerimanya."

Kali ini Ricky yang tidak tahu membalas apa sampai terlintas nama Yoga di benaknya. (Ah, gak mungkin sama Yoga! Bahkan gak mungkin juga sama anak-anak SMA yang umurnya udah pasti jauh banget sama Kak Aurel,) batin Ricky.

Aurel tertawa pelan melihat ekspresi Ricky yang mencoba untuk membalasnya itu. "Kiki, semua orang itu sudah ditentukan jodohnya masing-masing. Jadi, untuk apa ribet-ribet berpacaran kalau ternyata bukan itu jodohnya? Pacaran dengan orang yang bukan jodohnya itu hanya meninggalkan sakit hati saja."

Ricky tertegun mendengar kata-kata bijak yang langka sekali keluar dari mulut Aurel. "Berpacaran dengan orang yang bukan jodohnya bikin sakit hati? Memangnya kakak pernah pacaran apa?" Ricky nampak tak percaya.

"Hmm...," Aurel mengusap-usap dagunya, "Sepertinya aku kelupaan sesuatu." Tiba-tiba pintu tertutup cepat dan Aurel benar-benar keluar dari kamar.

Ricky hanya bisa mendesah dan menggeleng melihat kelakuannya. Lalu ia kembali melanjutkan game nya yang sempat tertunda. Ia berpikir kalau Aurel tidak pernah berpacaran sebelumnya, jadi ia digunakan sebagai pelampiasan rasa hausnya akan kasih sayang seorang laki-laki. Seperti bersikap manja, suka cari perhatian, bahkan perlakuan yang bisa dikatakan kurang wajar untuk hubungan adik-kakak.

Semakin ia memikirkannya, semakin tidak fokus ia memainkan gamenya dan berujung pada kekalahan. Ricky melempar bantal ke arah pintu. Bisa terlihat dari wajahnya yang merona dan alisnya yang bertaut dalam kalau ia saat ini sedang kesal sekaligus malu dengan perlakuan kakak kandungnya itu.

Masalahnya, saat ini Ricky sudah menginjak 15 tahun. Ia sudah remaja dan sedang melewati masa pubertas. Seharusnya Aurel mengerti itu dan tidak terlalu memanjakannya seperti anak kecil atau bersikap manja padanya.

(Semoga Aurel cepat mendapatkan jodohnya!)