Pementasan terhenti sejenak saat kumandang adzan Dzuhur terdengar. Semua orang yang berkewajiban untuk beribadah, ada yang langsung menuju mesjid, ada juga yang masih di luar dengan alasan ntar-ntaran.
"Hai Ricky!"
Merasa ada yang memanggilnya, Ricky mendongak saat ia sedang duduk untuk mengikat tali sepatu. "Hai Wina, Eza."
"Lihat Caca sama Yoga?" tanya Eza.
"Masih di mesjid paling." Setelah ia mengikat tali sepatunya, ia berdiri. "Lu berdua baru datang?"
"Iya," jawab Wina. "Pensinya begini aja. Kurang menarik."
"Kalau siang bolong gini mah, emang sepi. Nanti malam tuh, pasti rame," sambar Yoga yang baru saja keluar.
Tidak lama kemudian, Aurel, Lita, dan Caca pun keluar dan langsung mengenakan alas kaki mereka.
"Habis ini kita ke mana?" tanya Wina.
"Makan yuk, laper," jawab Caca sambil mengelus perut datarnya. Usulan itu disetujui oleh mereka. Gerai yang menjajakan makanan langsung mereka serbu. Setelah mereka membeli makanan berat, seperti nasi dan ayam itu, mereka mencari tempat untuk berteduh.
"Kak Aurel gak makan?" tanya Caca. "Mau cobain nasi goreng aku, kak?" tawarnya.
Aurel yang sedari tadi diam sambil memainkan ponselnya, memandang Caca. "Tidak terima kasih, tadi aku udah makan kok," tolaknya halus.
"Bohong banget," celetuk Ricky. Aurel tidak terlalu menanggapinya.
"Lagi diet ya, kak?" tebak Wina.
"Nggak. Lagi gak nafsu makan aja."
"Aurel!" Tiba-tiba Jane menghampiri Aurel yang sedang duduk di kursi taman sebelah adiknya.
"Kenapa?"
"Dicariin, malah keluyuran. Anak-anakmu perlu bantuan kamu."
"Ooh iya, maaf." Aurel terkekeh sekilas sambil beranjak dari kursi. "Aku permisi dulu."
"Iya kak!"
Setelah Aurel dan Jane pergi, Yoga mulai membuka topik baru.
"Gue kira lu ngikutin kakak lu lagi," kata Yoga. Tentu saja itu ditujukan pada Ricky.
"Emangnya gue bodyguard-nya, ngikutin dia ke mana-mana?"
"Ya kali aja. Kan biasanya lu emang ngintilin terus," balas Yoga.
"Lita di mana?" tanya Ricky sambil mengedarkan pandangan. Ia bermaksud mengalihkan topik yang berhubungan tentang Aurel.
"Emang dia sama kita tadi?" heran Caca.
"Gue kira ngikutin." Ricky memasukkan ayam teriakinya ke dalam mulut.
"Habis ini kita ke Obake, yuk!" ajak Wina antusias.
"Boleh!" setuju Yoga dan Eza.
"Obake itu apa?" tanya Caca.
"Rumah hantu," jawab Ricky. Ia terlihat biasa saja.
"Gak mau ah, serem!" Caca menolak ajakan itu.
"Ikut aja lah, Ca!" kata Yoga.
Ponsel Caca bergetar pendek di saku celananya dan ia langsung mengambilnya untuk melihat pesan dari sepupunya itu. "Yah, gue jemput sepupu gue dulu."
"Jangan banyak alasan, Ca! Ini kesempatan lu masuk rumah hantu. Kapan lagi coba!" seru Yoga. Ia memandang Caca lekat-lekat seakan mengirimkan pesan telepati padanya.
Caca memandang balik Yoga dan mengerti maksudnya itu. "Nggak bisa, Ga. Sepupu gue baru balik dari Bandung dan dia minta jemput. Gue bisa kesini lagi bareng sepupu gue nanti sore. Gimana kalau nanti sore aja?"
"Yah nanti sore udah habis, Ca. Batasnya sampai jam 3," kata Wina.
"Yah, ya sudah mau gimana lagi." Caca beranjak dari kursi dan membuang sampah makanannya. "Gue duluan ya." Ia benar-benar menyesali kesempatan masuk ke dalam rumah hantu bersama Ricky.
***
"Kyaa!!"
Seorang wanita masih saja berteriak saat ia sudah berada di luar rumah hantu. Lelaki di sebelahnya yang juga ikut masuk itu, menenangkannya sambil tertawa melihat reaksi wanita itu.
"Kayaknya serem banget deh." Nyali Wina tiba-tiba saja ciut saat melihat dua pengunjung yang baru saja keluar itu.
"Gue heran sama mereka yang takut. Di dalam itu kan, manusia didandanin menor doang," komentar Eza.
"Katanya yang masuk cuman boleh berdua aja," kata Ricky yang baru kembali setelah bertanya pada penjaga tempat. "Sendiri juga bisa. Tapi kalau berdua bisa dapat potongan harga."
"Gue sama Wina," kata Eza cepat.
Ricky dan Yoga saling bertatapan sesaat. "Masa gue sama Yoga!"
"Ya udah gak apa-apa. Daripada gak ada yang temenin eikeh." Yoga menjulurkan tangannya dan bersikap melambai.
"Gue gak bakal mau!" Ricky bergidik ngeri melihat sikap Yoga itu walau ia tahu itu hanya gurauan saja. "Nanti kalau lu udah keluar, bareng gue, Win," kata Ricky.
"Abis itu bareng Yoga? Udah kayak piala bergilir dong gue!" protes Wina. Matanya menangkap Lita dan Nia yang baru saja turun dari lantai tiga. Saat di lantai dua, Wina langsung mencegah mereka berdua untuk ikut masuk ke dalam rumah hantu bersama Ricky dan Yoga.
"Yoga?" Nia tidak tahu saat Wina menyuruhnya untuk masuk rumah hantu bersama Yoga.
"Oh iya, kalian beda kelas ya."
Yoga menghampiri Nia dan menjulurkan tangannya. "Halo, gue Yoga Adriatama. Biasa dipanggil Yoga." Senyum ramahnya merekah.
"Vania Az-zahra. Panggil Nia aja." Gadis dengan rambut sepundak itu menjabat tangannya. "Wah, lu model yang tampil itu, kan?"
"Iya! Gimana? Gue keren gak waktu itu?"
"Keren kok keren!" Nia menunjukkan dua ibu jarinya sambil tersenyum. Sambil mengantre memesan tiket, mereka pun terhanyut dalam obrolan yang Yoga buat.
"Kamu kenapa, Lit?" Ricky terheran dengan wajah Lita yang sedikit pucat itu. "Takut, ya?"
"Ng-nggak," jawabnya. Suaranya sedikit bergetar. "Aku cuman penasaran. Soalnya ini pertama kali masuk rumah hantu.
Ricky memperhatikan Lita sesaat. Bisa terlihat jelas kalau ia ketakutan saat ini. "Kalau kamu gak kuat, mending gak usah. Daripada jadi trauma tersendiri."
"Tapi bukannya Ricky sendiri mau masuk?"
"Ya elah, obake buatan sekolah mah gak sebanding sama obake yang diadakan di acara tahunan festival Jepang. Aku juga sebenarnya kurang tertarik masuk."
"Gak apa-apa, Rick. Aku masih bisa masuk. Soalnya penasaran," timpal Lita. Ya, dia memang penasaran, tapi takut.
"Ooh ya sudah. Bagus kalau gitu."
Setelah Eza dan Wina masuk, saatnya Ricky dan Lita untuk menunggu giliran. Salah satu panitia obake memberikan Ricky sebuah senter dan instruksi padanya.
"Obake ini bernama Red Maze. Jalan di dalam berliku-liku dan banyak jalan buntu. Kalian harus bisa secepat mungkin menemukan jalan keluar sebelum gadis merah penunggu di dalam mengejar kalian." Ia berkata dengan suara dingin dan misterius.
(Labirin, ya. Menarik juga,) batin Ricky. Ia melihat Lita di sebelahnya. Mulutnya berkomat-kamit menyebut jalur labirin yang tertempel di depan pintu. Setelah mereka berdua memberikan tas mereka kepada panitia dan sudah dipastikan kalau mereka tidak membawa apa-apa selain senter, barulah Ricky dan Lita dipersilahkan masuk.
Hawa sejuk menerpa wajah mereka ketika pintu di buka. Ricky mengepalai untuk masuk lebih dulu dan Lita di belakangnya. Saat ia melihat pandangan di depannya sangat gelap dan pintu di belakangnya tertutup tiba-tiba, Lita terlonjak kaget dan langsung meraih kedua pundak Ricky sambil memejamkan mata.
Ricky benar-benar merasa aneh saat ia berjalan dengan posisi Lita memegang kedua pundaknya, layaknya sedang bermain ular naga. "Lit, mendingan lu pegang ta—"
"Apa kita sudah sampai?" sela Lita cepat.
"Ehm... baru juga masuk." Akhirnya Ricky membiarkan saja Lita seperti itu. Ia pun mulai melangkah lagi. "Lit, kamu masih ingar jalurnya gak?"
"Lurus, kanan, kiri, kiri, kanan, lurus," sebut Lita. Kedua matanya tertutup dan mulutnya terkatup rapat menahan jeritan yang ingin keluar.
Ricky pun mengikuti instruksi Lita. Hantu-hantu di dalam yang siap mengganggu pengunjung itu, Ricky lewati dengan santai tanpa ekspresi. Bahkan, hantu dengan wajah paling seram yang menatap tajam pada mereka pun, tidak Ricky gubris. Ia menguap bosan seakan ia sudah ribuan kali memasuki rumah hantu. Ekspresi biasa yang ditujukan Ricky justru membuat hantu-hantu di dalam geram padanya.
"A-aduduh... Lita kenapa?" Ricky meringis saat pundaknya diremas cukup kuat oleh Lita.
Lita tidak menjawab. Ia tertunduk dengan mulut bergetar. Ricky pun berhenti dan menoleh ke belakang. Ternyata ada hantu tuyul botak jahil yang membisikkan Lita sesuatu. Ricky menyenterinya, tuyul itu tertawa, menunjukkan deretan giginya yang menghitam sebelum ia pergi menjauhi mereka.
Tidak lama kemudian, akhirnya mereka menemukan jalan keluar. Saat mereka sudah di luar, Ricky memberikan senter itu ke panitia. Lita masih memejamkan mata dan tangannya bergetar mencengkeram pundak Ricky.
"Lit, kita sudah di luar," kata Ricky.
Perlahan Lita membuka kedua matanya dan menyesuaikan diri dengan cahaya yang ada. Lita melepas cengkeramannya dan berjalan gontai ke penopang bangunan. Tubuhnya benar-benar lemas saat ini.
"Demi apa dari tadi lu berdua jalan kayak gitu di dalam?" kata Wina tidak percaya.
"Lu di dalam main ular naga, ya?" celoteh Eza.
"Ya mau gimana lagi?" balas Ricky sambil mengedikkan bahu.
Tidak lama kemudian, Yoga dan Nia keluar dari rumah hantu.
"Seenggaknya, pegangan tangan kayak mereka dong," tunjuk Wina pada Nia dan Yoga. Bisa terlihat dari wajah pucat mereka dan napas yang tersengal-sengal kalau mereka berdua sangat ketakutan.
"Masalahnya bukan pegangan, Win," kata Ricky, "lu udah bikin nyawa anak orang hampir melayang gara-gara lu ajak dia masuk rumah hantu." Ia menunjuk Lita yang terduduk lemas bersandarkan penopang bangunan di sebelahnya.
"Gue kira kan—"
"Gila! Tadi serem banget!!" seru Yoga. "Parah, gue hampir budek gara-gara teriakan Nia.
"Gue teriak karena lu teriak!!" balas Nia tidak terima.
"Gitu doang, sih. Gak ada seram-seramnya," sambar Ricky.
"Elah, ngomong doang. Emangnya lu gak teriak di dalam?" tanya Yoga.
"Kagak. Tanya aja Lita."
"Emang bener, Ta?" tanya Yoga penasaran.
Setelah tenaganya cukup pulih, ia pun berdiri. "Iya. Gak teriak sama sekali."
"Lita sendiri juga gak teriak. Salut banget gue sama dia," kata Ricky sambil tertawa sekilas. Ia tahu kalau Lita menutup mulutnya rapat-rapat dan menahan teriakannya entah untuk alasan apa.
"Tapi selama di dalam, mereka pegangan kayak ular naga. Kan aneh," sahur Eza.
"Ya nggak apa-apa. Lumayan dapat pijatan gratis dari Lita."
Lita tertunduk malu mengingatnya. "I-itu aku gak sengaja," gumam Lita pelan.
"Ricky!!"
Ia menoleh ke sumber suara. Ternyata Aurel yang baru turun dari lantai tiga memanggilnya. Ia menghampiri adiknya itu dengan mata berbinar-binar.
"Masuk rumah hantu yuk," ajak Aurel penuh semangat.
"Aku udah masuk tadi."
"Yah...," Aurel mengeluh kecewa.
"Sama aku aja, yuk, kak," ajak Yoga.
"Boleh." Aurel mengangguk.
"Kak," Ricky menarik ujung dress Aurel, "Emangnya kakak berani?"
"Berani-berani aja, sih," jawabnya sambil mengedikkan sebelah pundak.
"Yoga," panggil Wina sebelum laki-laki itu buka suara untuk mengajak Aurel. "Lu gak mau nonton penampilan Girl's band?"
"Girl's band?" bingung Yoga
"Band yang isinya cewek semua dari sekolah lain. Mereka lagi perform sekarang," kata Eza sambil menunjuk ke arah panggung.
"Wah beneran? Liat ah!" Yoga langsung mengacir menuruni tangga untuk melihat penampilan itu. Wina dan Eza pun pamit pada mereka, begitu juga Lita dan Nia. Tinggallah Ricky dan Aurel di sana.
"Jangan egois gitu, lah, Ki," tegur Aurel sambil tersenyum.
"E-egois kenapa?" heran Ricky. Ia tidak mengerti kenapa disebut egois oleh kakaknya sendiri.
"Kamu mau aku masuk sama kamu, kan?" Aurel tertawa pelan.
"Hah? Nggak juga—"
"Ya sudah lah ya. Yuk masuk!" Ia meraih tangan Ricky dan menariknya ke barisan antrean. Ricky terdiam saja karena Aurel ternyata memang tahu dirinya sekali.
"Gak apa-apa, kan, masuk dua kali?"
"Gak apa-apa kalau kakak bayarin," kata Ricky sambil tersenyum jahil.
"Iya, aku bayarin kok."
Ricky bersorak dalam hati. Saat menunggu antrean, terlintas pertanyaan yang ingin ia lemparkan pada Aurel. "Kak, laki-laki yang ditabrak kakak itu siapa?"
"Nggak tahu," jawabnya cuek.
"Terus, kenapa dia kenal kakak?"
"Hmm... emang iya?"
"Iya. Dia manggil nama kakak."
Aurel mengusap-usap dagunya dan keningnya berkerut. Ia berpikir beberapa saat. "Siapa, ya? Aku gak tahu. Mungkin lupa. Aku kan orangnya lebih ingat nama dibanding wajah."
"Oh iya, ya." Ricky baru teringat hal itu.
Akhirnya mereka sampai di ujung antrean untuk membayar tiket masuk. Lagi-lagi Ricky yang memegang senter.
"Kakak yakin masuk gak, nih? Nanti malah pingsan." Ricky masih mengingat kejadian sebelum Aurel pergi ke luar negeri saat ia melihat Aurel masuk ke rumah hantu bersama ayahnya. Dan waktu mereka keluar, gadis itu langsung pingsan.
"Itu kan sudah lama banget, Ki." Aurel memberikan tas kecilnya pada panitia. "Gimana kalau kita buat taruhan. Siapa yang menjerit selama di dalam, traktir takoyaki."
Ricky mendecih dan tersenyum remeh pada Aurel. "Boleh aja. Paling kakak yang traktir nanti."
Kemudian, mereka berdua pun masuk ke dalam. Aurel menggenggam tangan Ricky erat-erat dan bibirnya sudah bergetar saat tahu di dalam sangatlah gelap.
"Waa!!"
"Kyaa!!" Aurel sudah menjerit histeris saat hantu pertama mengagetkannya.
Jantung Ricky hampir copot dan telinganya berdengung mendengar Aurel menjerit tiba-tiba. "Kakak kalah! Nanti traktir, ya!" balas Ricky sambil tersenyum penuh kemenangan.
"Ini belum selesai!" gerutu Aurel.
Kemudian hantu-hantu berikutnya muncul dan Aurel selalu berteriak histeris pada mereka. Ia sangat ketakutan saat ini dan sudah tidak bisa kembali kecuali cepat-cepat menemukan jalan keluar.
"Ayo, kita keluar!" rengek Aurel.
"I-iya, kak. Ini lagi dicari." Ricky mulai panik karena dari tadi ia tidak menemukan jalan keluar.
"Kiki, aku takut...," Aurel mulai terisak dan air matanya perlahan jatuh.
"Lagian sok-sok berani sih. Kalau takut, bilang dari awal." Suara Ricky meninggi bercampur amarah.
"Ya maaf." Aurel tertunduk sambil menyeka air matanya.
Ricky membuang napas panjang. "Ya sudah, sekarang kita harus cari jalan keluarnya. Dari tadi ketemu jalan buntu terus!" gerutu Ricky. Ia merutuki otaknya yang tidak mengingat jalur yang pernah Lita berikan itu.
Lagi-lagi mereka menemui jalan buntu. Kali ini Ricky melihat ada hantu yang memojokkan diri di sana. Ia pun mendekatinya dan bertanya padanya.
"Mbak, jalan keluarnya di mana ya?" tanya Ricky.
Gadis berambut pendek acak-acakan dan kulitnya pucat pasi. Gadis itu memandang Ricky lekat-lekat tanpa memberinya jawaban. Mata merahnya terlihat keruh dan kosong.
"Mbak?" Ricky tampak heran dengannya yang terus memandangnya tajam. Ia mengedikkan bahu dan kembali pada Aurel. "Gak mau jawab, mungkin kita disuruh cari sendiri."
Aurel kembali menggenggam tangan Ricky dan kembali melangkah. Kali ini ia tampak kebingungan dengan apa yang barusan Ricky lakukan.
Tiba-tiba saja Ricky merasakan sesuatu yang sedang berjalan di punggung tangannya. Ia pun menyenteri tangan kirinya itu dan ternyata ada serangga paling menyeramkan yang hinggap di tangannya. Ricky diam membeku.
"Kenapa, Ki?"
"Ke...ke...," serangga itu mulai berjalan lagi. "KECOAK!!" Dengan kekuatan yang entah dari mana, Ricky berlari secepat kilat meninggalkan Aurel.
"Kiki! Tunggu!!" Aurel hendak berlari mengejarnya, namun hantu-hantu itu terus menakut-nakutinya. Ia pun tertinggal di dalam.
***
Akhirnya Ricky bisa menemukan jalan keluar. Napasnya tersengal-sengal saat di luar.
"Kenapa bisa ada kecoak, sih!" rutuk Ricky. Ia mengecek kembali tangannya, dan bernapas lega karena tidak ada makhluk mengerikan itu hinggap di tangannya. Lebih baik menonton film horor di ruangan yang gelap sendirian daripada bertemu serangga menjijikkan itu.
"Karena selama di dalam kakak yang paling sering teriak. Jadi—" ucapan Ricky tertahan saat ia tidak menemukan Aurel di belakangnya. "Kak?" Ia memutar tubuhnya dan mencari di sekitarnya. Aurel benar-benar tidak ada di sana. "Ja-jangan-jangan masih ada di dalam!"
Ricky hendak menerobos untuk masuk lagi, tapi dihalang oleh panitia. "Kalau mau masuk, silakan antre lagi."
"Ta-tapi kakak saya masih ada di dalam!" Ia panik bukan main. "Nanti kalau pingsan gimana?"
"Pasti ada kru dalam yang menangani."
Di dalam ruangan, di salah satu rute jalan buntu, Aurel berjongkok memojokkan diri dan wajahnya ia benamkan. Di sana adalah satu-satunya tempat tanpa adanya gangguan hantu. Ia pasrah dan berdoa untuk keselamatannya. Tenaganya sudah habis untuk teriak-teriak. Kedua kakinya saja sudah susah untuk menopang tubuh, apalagi untuk berjalan.
"Aurel?"
"Kiki!" Aurel mengangkat kepalanya. Cahaya senter yang menyilaukan memaksanya untuk melindungi matanya dengan tangan. Cahaya itu pun sedikit dialihkan dan Aurel bisa melihat wajah penolong itu. Ternyata ia bukanlah Ricky. "Si-siapa kamu?"
"Ya ampun, ternyata lu masih lupa, ya." Pemuda itu membantu Aurel berdiri. "Sebaiknya kita keluar dulu." Ia merangkul Aurel yang sudah lemas itu untuk membantunya berjalan.
Beberapa menit kemudian, akhirnya mereka bisa melihat cahaya jalan keluar.
Aurel mengambil napas dalam-dalam. Memenuhi paru-parunya dengan udara luar yang ia rindukan. Pemuda penyelamat itu membantu Aurel duduk dan bersandar penopang bangunan.
Ricky langsung keluar dari antrean saat ia melihat Aurel terduduk di lantai. "Kak! Kakak perlu ke UKS sekarang?" Melihat wajah Aurel yang sudah pucat membuat Ricky benar-benar merasa bersalah padanya.
"Dia gak kenapa-kenapa. Cuman lemas karena terlalu takut," jelas pemuda itu.
Ricky sedikit tersentak karena pemuda yang menyelamatkan Aurel adalah jurnalis yang selama ini ia curigai. "Te-terima kasih."
"Sama-sama," balasnya sambil tersenyum samar.
Tatapan Aurel yang awalnya kosong, akhirnya bisa kembali normal. Kesadarannya mulai pulih. "Kiki..."
"Kak, apa kabar?" Ricky tersenyum miris padanya.
Kedua mata Aurel kembali berkaca-kaca dan lagi-lagi meneteskan air mata. "Jahat!" pekik Aurel sambil memukul-mukul pundak Ricky.
"Ma-maaf kak hehehe." Ricky terkekeh.
Aurel berhenti memukul. Kepalanya tertunduk dalam dan bersandar di dada Ricky. "Aku takut."
"Makanya jangan ke sana lagi kalau emang takut," tegur Ricky sambil mengelus rambut Aurel sekilas. "Udah ah jangan nangis. Malu tau."
Setelah cukup tenang, Aurel mengangkat kepalanya. Ia menoleh ke kanannya, ke arah pemuda yang masih setia berdiri di sana. Aurel berdiri dengan bantuan Ricky, lalu menghampiri pemuda itu. "Makasih ya. Nama kamu siapa?"
Laki-laki itu tampak frustasi. "Padahal sekelas tiga tahun, tapi masih saja lupa."
"Ooh, teman SMA Kak Aurel?" kata Ricky memastikan.
"Iya. Dulu Aurel sering pakai Lu-Gue ke siapa aja, bahkan ke orang yang gak dikenal pun, kecuali guru. Padahal, aku sudah susah payah ngikutin panggilanmu itu," keluhnya.
"Iya, apa?" Ricky tampak tak percaya. Jujur saja, ia tidak pernah mendengar kata itu keluar dari mulut manis Aurel.
"Ka-kamu siapa sih?" Aurel benar-benar tidak menemukan petunjuk tentang laki-laki berkacamata yang lebih tinggi darinya itu.
Tiba-tiba saja Lita datang menghampiri mereka. "Eh ketemu lagi. Hai, Ricky, Kak Aurel," sapanya ramah.
"Hai, Lita," balas Aurel.
Ekspresi Lita yang awalnya ramah, langsung berubah menjadi kesal saat melihat pemuda itu. "Kak Arsya gimana, sih? Aku udah telpon berkali-kali gak diangkat!" gerutunya.
"Aku baru aja pegang HP. Tadi aku masuk ke rumah hantu dulu. Karena gak ada yang temenin, ya udah sendiri aja."
"Ooh ini Kak Arsya," kata Ricky sambil mengangguk.
"Eh? Aku kira Kak Aurel udah kenal Kak Arsya." Lita sedikit tertegun.
Arsya mendesah pasrah saat Aurel benar-benar melupakannya.
Kedua mata Aurel berbinar-binar, senyumnya mulai merekah sempurna. Ia tidak menyangka kalau pemuda tinggi dan berkacamata dengan rambut disisir rapi uang berdiri di depannya itu adalah Arsya, teman lamanya yang ternyata sudah banyak berubah dan tampak lebih keren dari terakhir yang pernah ia lihat.
"Long time no see, Arsya Geovanie!!"