"Aku bilang kan langsung ke kantin lagi kalau sudah selesai."
Lita tersentak saat ada yang menepuk pundaknya dari belakang. Ia pun buru-buru melihat siapa orang itu. "Eh Ricky! Kirain siapa." Ia bernapas lega.
"Sekarang sudah malam. Rawan kalau kamu jalan sendiri."
"I-iya, aku tau." Lita tertunduk sambil memeluk tas tentengannya. "Habis Maghrib, aku nyariin kamu di kantin. Tapi gak ada. Aku telpon, nomormu gak aktif."
"HP ku mati, Lit." Ricky melihat jam tangannya yang sudah menunjukkan angka 7.30. Lalu, mulai terdengar suara dentuman musik dari panggung. Akan tampil penampilan selanjutnya sesudah terhenti sejenak karena memasuki waktu Isya.
"Caca dan lainnya ke mana?" tanya Lita saat Ricky mengajaknya ke depan panggung untuk melihat penampilan selanjutnya.
"Mereka ketemu teman-teman SMP-nya," jawab Ricky. Mereka berhenti tak jauh dari pagar pembatas panggung. "Tadi, kenapa kamu menghindar dari Caca dan lainnya?"
"Aku gak menghindar!" Lita tidak menyangka kalau Ricky bisa membaca pikirannya.
"Gak usah ngeles. Aku tau kok," timpalnya. "Udah lama aku liat gerak-gerik kamu waktu ketemu sama Caca." Lita terdiam sesaat dan memandangnya tidak percaya. Ada kata-kata aneh yang tidak sengaja keluar dari mulutnya.
"Ngeliat gerak-gerik aku?" ulang Lita.
Seperti ada yang memukulnya keras, Ricky langsung tersadar dengan apa yang baru saja ia ucapkan. "Ng-nggak. Bukan. Ini bukan berarti gue merhatiin lu atau apa. Gue cuman...," wajah Ricky langsung memerah karena malu. "Aku cuman gak nyangka aja liat kamu menghindar dari orang sebaik Caca." Ricky mengakhiri kalimatnya dengan tawa renyah.
"Ooh begitu," Lita mengangguk lambat dan kembali melihat ke depan. Jantungnya lagi-lagi memompa cepat. Ia tidak boleh seperti ini setelah melihat Aurel yang berharap padanya untuk menjadi teman Ricky saja. "Aku tau Caca emang baik."
"Terus?"
"Ya, gak tau aja. Aku merasa kurang nyaman sama Caca." Lita mengedikkan bahu. "Padahal aku tau Caca yang paling sering puji karya desain gue."
"Tapi kenapa menghindar?"
Lita mendesah pelan. "Kalau udah kumpul sama teman-temannya aja, aku ngerasa gak nyaman. Gak kayak cowok yang menurutku mau berteman sama siapa aja, Rick. Terkadang, beberapa cewek perlu sesuatu yang pas buat berteman sama seseorang. Istilahnya, pilih-pilih teman."
"Hmm... memangnya cewek kayak gitu?"
"Sebenarnya gak semua. Yang aku lihat selama ini, sih, iya. Cewek ngomongnya aja mau berteman sama siapa aja. Tapi sebenarnya, hati kecil mereka tidak ingin seperti itu," jawab Lita. "Aku hanya berpendapat. Aku yakin ada banyak cewek ekstrovert yang tidak sependapat. Tapi umumnya, cewek introvert sependapat denganku."
Ricky mengangguk lambat. "Aku gak ngerti cewek."
"Aku juga gak ngerti cowok," kata Lita. "Tapi aku heran. Kamu dekat sekali dengan Kak Aurel, tapi masih gak ngerti cewek. Maksudnya apa?"
Ricky menghela napas. "Aku juga bisa bertanya hal yang sama hubungan denganmu dan kakakmu."
Lita memandang Ricky penuh tanya, dan Ricky memandangnya balik. Mereka bertatapan sesaat seakan saling membaca pikiran masing-masing sebelum akhirnya mereka sama-sama tertawa dan kembali menghadap ke depan.
"Ternyata kakak kita sama-sama aneh."
Ricky menghembuskan napas panjang."Hhhh... akhirnya aku punya teman yang senasib," gumamnya pelan.
"Ciee... Kalian beneran pacaran kali, nih!"
Ricky langsung menoleh ke kirinya. "Dibilang nggak," balasnya bosan. Lita tidak menoleh sama sekali, ia menyembunyikan wajahnya yang mulai kemerahan.
"Soalnya dari tadi berduaan terus sih. Ngobrolnya pake aku-kamu lagi. Dan kayaknya sudah nyaman satu sama lain, nih." Caca terus tersenyum untuk menggodanya. Ricky memandangnya datar, ia terlihat seperti kesal jika membahas hal itu terus. Sedangkan Yoga, Wina, dan Eza melihat miris kondisi Caca saat ini.
"Aku-kamu, bukan berarti pacaran," timpal Ricky.
"Ah tapi biasanya, kan, orang yang pacaran pake aku-kamu. Ada juga sih yang lo-gue, tapi lebih manisan pake aku-kamu," jelas Caca.
"Hhh... terserah." Ricky tidak bisa mengungkapkan padanya kalau ia lebih nyaman dengan sebutan itu.
Ricky memperhatikan penampilan Caca yang masih cantik dan segar. "Lo seharian ini masih cantik aja, Ca." Ia bermaksud untuk membuat suasana baru supaya Caca tidak terlalu membahas Lita.
Caca terdiam sesaat mendengarnya. Yoga sulit untuk menahan amarahnya, kalau saja Wina tidak langsung meraih tangan Yoga, mungkin akan terjadi sedikit keributan di sana.
"Ah bisa aja kamu!" Caca tertawa genit sambil mendorong Ricky cukup kuat dan membuatnya sedikit melangkah mundur. Tetapi ia tidak menabrak Lita yang seharusnya ada di sampingnya.
Buru-buru ia menoleh ke arah Lita yang semakin menjauh darinya. "Lita!" panggilnya.
"Ricky!" seru Caca sambil menggenggam tangan Ricky untuk tidak beranjak dari tempat. "Kalau lu bilang gue cantik, seharusnya lu diam di sini."
"Hah?" Ricky menatapnya heran. Sekali lagi ia melihat ke arah Lita untuk memastikan. Untung saja Lita berada tidak jauh darinya dan saat ini sedang mengobrol dengan dua teman perempuan sekelasnya. Saat ia kembali menoleh ke arah Caca, tiba-tiba saja wajah Caca sudah sangat dekat dengan wajahnya. Refleks, Ricky pun langsung mundur beberapa langkah dari Caca dengan wajah memerah menahan malu. "Ca-Caca... lu tadi ngepain?"
"Lo sendiri ngepain?" Caca tertawa sekilas. Ia mendekat dan meraih tangan Ricky.
"Woy! lu berdua-duaan mulu. Gak inget teman apa?" sahut Yoga sambil menghampiri mereka. Kali ini ia sudah lebih tenang setelah ditegur Wina.
"Dasar teman!" sambar Wina.
"Woy, cepetan! Nanti kita gak dapet tempat di paling depan!" seru Eza. "Guess star-nya mau tampil habis ini!"
"Cepetan lari Za! Tag-in kita!"
Tanpa mendengar respons dari Ricky, Caca langsung menarik tangannya mengikuti teman-temannya yang sudah lebih dulu menerobos kerumunan orang. Akhirnya mereka dapat meraih tempat paling depan dan mereka dapat melihat guess star terkenal dari dekat. Mereka mengabdikan momen-momen tersebut dengan selfie bersama.
***
Saat waktu menunjukkan pukul 10 malam, akhirnya acara pensi selesai juga. Satu per satu orang mulai keluar, dan area dalam sekolah mulai sepi. Eza satu motor dengan Wina, Caca satu motor dengan Cika, sedangkan Yoga naik motor sendiri. mereka sudah pulang lebih dulu setelah menyarankan Ricky untuk bawa motor ke sekolah. Kalau saja ia punya motor di rumah, pasti ia sudah membawanya dari pertama kali masuk sekolah.
Beberapa menit setelah Ricky menelepon kakaknya menggunakan ponsel Lita, akhirnya sebuah mobil berwarna putih datang dan berhenti di seberang jalan. Ricky pun berpamitan dengannya sebelum ia menyeberang dan masuk ke dalam mobil itu. Saat ia sudah masuk, Ricky terheran mengapa kakaknya tidak langsung menancapkan gas, ia malah membuka kaca mobil.
"Lita! Gak mau bareng aja?" tawar Aurel.
Lita sedikit terkejut saat ada yang memanggilnya. "Nggak, makasih, kak. Kak Arsya udah jalan kok," tolaknya halus.
"Ok! Hati-hati, ya!" Aurel kembali menaikkan kaca mobil. Akan tetapi, ia masih tetap diam dan memperhatikan gadis itu.
"Kok gak jalan?" tanya Ricky.
"Sebentar, tunggu sampai dia dijemput dulu," jawab Aurel.
Beberapa saat Ricky terdiam dan menyimpulkan sesuatu. "Ooh, jadi Kak Aurel mulai perhatian sama adiknya Kak Arsya, ya? Ciee..."
"Bukan gitu. Aku cuman mau berbalas budi aja sama Arsya."
"Balas budi kenapa?"
"Dia udah jagain kamu walau sampai jam empat, jadi aku jagain dia sampai dia dijemput."
Sebuah pertanyaan terlintas di benak Ricky. "Kak Arsya itu, kan umurnya sudah 26 tahun dan dia itu teman sekelas kakak waktu SMA. Tapi kenapa Kak Aurel masih 25?"
"Aku kan waktu SMP masuk kelas aksel dua tahun," jelasnya.
"Ooh iya ya."
Tidak lama kemudian, datang sebuah motor di hadapan Lita. Seorang laki-laki yang Aurel kenal sebagai Arsya menaiki motor matic itu.
"Ok, kita pulang." Aurel menancapkan gas dan mobil pun melaju. "Kiki."
"Iya?"
"Sampai saat ini aku penasaran."
"Penasaran apa?" balas Ricky acuh tak acuh sambil melihat pemandangan jalan.
"Apa yang sebenarnya kau takutkan selain kecoak?"
"Serangga."
"Kalau hantu?"
"Hantu itu gak ada." Ricky menghela napas. "Adanya jin dan iblis."
"Hmm... begitu, ya." Aurel mengangguk lambat. Kemudian ponselnya bergetar pendek. Ia melihat sekilas pesan itu dari siapa. (Andi? Cepat sekali laporannya,) batin Aurel. Tentunya ia akan membaca pesan itu setelah ia sampai di rumah.
"Emang kenapa?"
Aurel kembali mengantungi ponselnya. "Tadi kamu ngomong sama siapa?"
"Tadi kapan?"
"Waktu di rumah hantu. Kamu ngomong sama siapa?" ulang Aurel. Suaranya terdengar datar.
Kali ini perhatian Ricky teralihkan dari pemandangan jalan. "Selama di rumah hantu aku ngomong sama kakak, kan." Ricky teringat sesuatu. "Oh iya! Kakak belum traktir takoyaki!" seru Ricky. Ia mencoba memecah suasana yang menurutnya sedikit suram itu.
Aurel memelankan laju mobilnya dan berhenti di depan kedai takoyaki. Tanpa berkata apa pun, ia keluar dari mobil dan langsung memesan beberapa takoyaki. Setelah itu ia kembali masuk ke dalam mobil dan memberikan sekotak takoyaki hangat pada Ricky.
"Setidaknya aku masih menepati janjiku. Nggak kayak kamu yang sampai sekarang gak beliin aku pelindung HP," kata Aurel sambil tersenyum. Senyum penuh sindirian.
Ricky mendengus sebal. "Iya nanti dibeliin." Karena masih panas, Ricky berencana untuk menyantapnya di rumah.
"Ok!" Aurel tersenyum senang sambil kembali melajukan mobil. "Kembali ke topik rumah hantu."
"Di dalam rumah hantu itu pemain semua, Kak. Gak ada apa-apanya!" Ricky mencoba berkelit.
"Begini, Kiki. Aku tahu ruangan yang mereka pakai untuk tempat rumah hantu. Itu ruang seni. Tempat ditemukannya murid-murid tak bernyawa akibat pembunuhan berencana 30 tahun yang lalu."
"Paling cuman cerita buat—"
"Bukan! Itu kisah nyata!" sela Aurel. "Makanya aku tanya ke kamu. Siapa orang yang kamu tanya waktu di rumah hantu? Aku gak lihat siapa-siapa di sana. Jalan buntu itu tidak ada orang sama sekali, dan kamu mendekati jalan buntu itu lalu bertanya pada seseorang. Padahal aku tidak melihat apa pun di sana."
Semakin Ricky mendengarnya, semakin cepat laju jantungnya saat ini. Untuk pertama kalinya ia merasa ketakutan karena cerita hantu itu. Kalau ini dialami oleh orang lain, ia bisa menghiraukannya. Tapi, hal mistis itu dialami olehnya sendiri. Keberanian yang sudah ada mulai memudar.
"Kakak salah lihat kali!" seru Ricky. Wajahnya mulai terlihat sedikit pucat.
"Nggak. Aku serius!" balas Aurel sambil menatapnya yakin. "Aku gak tahu kamu bisa melihat makhluk tak kasat mata—"
Dugg..
Aurel langsung memberhentikan mobil karena ia melindas sesuatu yang cukup membuat mereka tersentak.
"Sepertinya aku menabrak sesuatu." Aurel melepas sabuk pengaman dan langsung keluar untuk mengecek. Ricky pun mengikutinya. Tapi saat dicek, tidak ada apa pun di luar. Jalan aspal yang dilalui ban mobil itu datar dan tidak ada polisi tidur atau batu besar yang tergeletak di sana.
"Kiki, kamu gak 'ketempelan' kan?