Chereads / A Love For My Little Brother / Chapter 30 - Ketakutan 2

Chapter 30 - Ketakutan 2

"Lu masih takut, ya?"

Ricky berhenti menyalin catatan Biologi Andi dan mendongak melihat Caca di depan mejanya. "Takut apa?"

"Cerita Wina tentang ruang seni itu," kata Caca. "Gue tahu kok rasanya. Waktu lu udah lama banget buat prinsip supaya lu bisa lebih berani, tiba-tiba dihancurin gitu aja saat melihat—"

"Gue dari awal emang gak takut hantu, Ca," sela Ricky cepat dengan kening berkerut.

"Seriusan?" Dua alis Caca terangkat.

"Serius."

"Tapi kok—" ucapan Caca terhenti karena ada yang memanggilnya dari luar. "Kenapa, Sa?"

"Dicariin Kak Farel," infonya.

"Ya elah dia lagi, dia lagi," gerutu Caca pelan sambil melangkah keluar kelas.

Setelah itu Ricky bisa kembali melanjutkan menyalinnya dan tidak mau memikirkan urusan lain. "Makasih, Di." Ia menggeser buku tulis itu saat ia sudah selesai, tapi yang punya buku tersebut tidak ada di sebelahnya.

Ricky tidak tahu apa yang akan ia lakukan untuk menghabiskan waktu istirahat keduanya ini. Ia menumpuk tangannya di atas meja dan kepalanya bersandar di atasnya. Ia menghadap ke kirinya, ke kursi Lita dan Nia. Saat ia melihat Lita, ia ingin bercerita sesuatu dan meminta pendapat padanya. Namun ia urungkan niat itu sementara saat melihat Lita sedang asik mengobrol dengan dua teman sekelasnya.

"Lita, aku ke toilet dulu. Mau ikut, gak?"

"Nggak ah. Kamu sama Nia aja."

Setelah itu, mereka berdua pun keluar kelas. Ini kesempatannya untuk bicara pada Lita yang saat ini sedang melamun.

"Lita."

"Kenapa, Rick?" Lita menoleh padanya.

"Kamu perhatiin satu per satu pemain yang ada di rumah hantu saat itu, gak?"

Lita terkekeh sesaat. "Aku tutup mata selama di dalam."

"Terus ngepain lu masuk coba," kata Ricky sambil memandangnya datar.

"Ya awalnya kan gue buka mata, tapi karena udah takut duluan dan gak mau kebayang-bayang sampai rumah, jadi aku tutup mata deh. Maaf ya kalau aku gak guna waktu itu " Lita tertunduk dengan senyum menyesal.

"Eh, gak apa-apa. Aku gak nyalahin kamu," balas Ricky sambil menggerakkan dua tangan. "Waktu itu, Kak Aurel lebih gak guna lagi," tambahnya.

Lita kembali memandangnya tanpa menghilangkan senyum di wajahnya. "Memang Kak Aurel kenapa di dalam?"

"Dia teriak-teriak gak jelas. Tapi bukan itu yang mau aku bahas," jawab Ricky. "Jadi, gini, Lit..." ia terdiam sejenak untuk menyusun kata-kata yang ingin dikeluarkan.

"Kenapa?"

"Aku dengar dari Wina dan Kak Aurel kalau ruang seni yang dijadikan rumah hantu itu benar-benar angker. Terus, pemain di dalam kurang dari sepuluh orang, tapi yang aku lihat malah ada tiga belasan." Suaranya terdengar sedikit bergetar di akhir.

Bulu kuduk Lita berdiri mendengarnya. "Kamu salah lihat kali."

Ricky menggeleng. "Nggak, Lit. Aku lihat jelas. Bahkan aku sampai ngajak ngomong salah satu dari mereka. Kalau Kak Aurel gak tanya siapa yang aku ajak ngomong di dalam itu, mungkin sampai sekarang aku gak akan setakut ini." Ucapannya memelan.

"Ricky indigo, ya?"

"Nggak, aku normal. Panca indraku ada lima, bukan enam," timpalnya.

Lita terdiam sejenak dan pandangannya tidak fokus pada Ricky. "Mungkin ini gara-gara kamu terlalu sombong?"

"Aku gak sombong!"

"Coba ingat-ingat lagi," kata Lita. "Perkataan lu tentang rumah hantu di sekolah tidak ada apa-apanya dengan rumah hantu di festival Jepang, bilang ke Yoga kalau kamu gak teriak sama sekali di dalam, dan bilang kalau rumah hantu sekolah gak ada seram-seramnya."

"Ooh itu." Ricky terdiam sejanak, mencerna maksud yang disampaikan Lita. "Tapi, apa ngaruhnya?'

"Ada ngaruhnya. Kamu jadi tinggi hati, dan menganggap lu yang paling berani. Jadi, istilahnya itu seperti kamu lagi kena tegur sama Tuhan gitu."

(Kalau diingat-ingat lagi, selama ini aku emang terlalu meremehkan hampir seluruh rumah hantu yang pernah aku masuki, sih,) pikirnya. "Iya... Tapi—"

"Nah, kan. Makanya, jangan sombong. Terus, seenggaknya kaget atau teriak sedikit pada mereka yang udah susah-payah dandan seram kayak gitu," sela Lita.

"Iya, aku tau. Tapi gara-gara itu, gue jadi phobia sama hantu."

"Hantu itu nggak ada. Adanya iblis, dan jin. Setan itu sifat jahatnya," timpal Lita. "Phobia sama takut biasa itu beda. Kalau phobia, itu takut setengah mati. Benar-benar susah dihilangkan, kecuali melalui tahapan terapi atau pembiasaan. Kalau takut biasa itu untuk perlindungan diri kalau-kalau ada bahaya. Dan kamu ini cuman takut biasa yang akan hilang jika kamu mulai lupa kejadian itu."

Mulut Ricky membulat. "Ooh, aku baru tau kalau itu beda,"

"Seperti yang aku tekankan di awal. Hantu itu gak ada. Sosok yang kamu lihat itu sebenarnya salah satu jin yang kerjanya menakut-nakuti manusia dan membawanya kepada kejahatan," jelas Lita lagi. "Jadi, jangan terlalu dipikirkan lagi. Lupain aja. Kamu gak bakal ngalamin kejadian yang sama kalau jiwamu tenang dan yaa, banyak-banyak berdoa aja."

Ricky mengangguk pelan mendengar penjelasan Lita yang panjang itu. Rasa takutnya mulai perlahan berkurang dan sepertinya ia akan kembali memasuki rumah hantu lagi nanti. "Ngomong-ngomong. Kamu bilang sendiri kalau hantu itu gak ada, tapi kenapa kamu malah takut masuk rumah hantu?" selidiknya.

"A-ah itu... ya, lu tau lah," Lita terlihat kikuk, "Aku orangnya gak bisa lihat yang seram-seram. Gampang banget kebayang."

"Berarti kamu takut hantu—"

"Ihh, itu bukan hantu! Itu cuman orang yang didandanin seram dan aku takut itu!" sela Lita.

Ricky tertawa sekilas melihat tingkahnya. "Intinya phobia juga, kan."

"Bukan phobia, tapi takut!"

"Oh iya, bukan pho—"

Dug!

Ricky meringis saat kepalanya menjadi sasaran bola plastik dari belakang. Ia cepat-cepat mengambil bola itu dan melihat siapa yang sudah melemparnya.

"Eh sori sori!" seru salah seorang teman laki-lakinya di belakang. "Main bola dong, Rick!"

"Kalau di luar sih ayo aja." Ricky berdiri dan bersiap melempar bola itu padanya. Tapi karena lemparannya terlalu kuat, bola itu melayang dan mengenai sisi bingkai foto berisi rumus pitagoras. Alhasil, bingkai itu bergerak ke kanan-kiri, dan hampir saja jatuh.

Mereka yang main bola di belakang langsung bernapas lega ketika melihat bingkai itu berhenti bergerak. "Untung aja. Kalau lempar jangan kenceng-kenceng!"

"I-iya, sori." Ricky terkekeh sesaat dan kembali duduk dengan wajah pucat. Ia benar-benar tidak bisa membayangkan kalau saja bingkai itu jatuh dan ia harus ganti rugi. Pasti urusannya akan repot.

Sudah cukup banyak kesialan yang belakangan ini menimpanya. Mulai dari teguran keras Leo yang memekakkan telinga, kenyataan jumlah pemain yang ia lihat di rumah hantu, sampai bingkai gambar yang hampir saja jatuh. Semua itu ia alami setelah Aurel bilang kalau dirinya mungkin saja 'ketempelan'. Tapi setelah ia bicara sebentar dengan Lita, Ricky berpikir. (Ah, mungkin cuman kebetulan saja.)