Ricky menuruni tangga dengan perasaan yang cukup tenang setelah ia mengetahui kalau hubungan Lita dan Aurel sudah baik-baik saja. Ia hanya menguping saat Aurel minta maaf pada Lita, seterusnya ia tidak tertarik untuk mendengarnya lagi dan memilih untuk melihat beberapa gerai yang ada di sepanjang koridor dasar.
Saat ia berjalan menyusuri koridor, ia melihat gerai yang menjual berbagai macam barang yang berhubungan dengan animasi Jepang. Buru-buru ia menghampiri gerai tersebut dan mulai berburu barang-barang kesukaannya untuk menambah koleksi.
"Silakan, Kak, pilih saja. Posternya lagi diskon, nih Kak."
(Diskon? Poster di festival lebih murah dari harga diskon di sini.) Ricky tidak mungkin untuk berterus terang seperti itu. "Yang buka gerai ini cuman satu, Mbak?" tanya Ricky sambil mencari pin dengan gambar karakter anime kesukaannya dalam tumpukan pin itu.
"Iya, Kak." Perempuan yang menjaga gerai itu beralih ke pelanggan yang datang di sebelah Ricky. "Mau cari apa, Kak?"
"Ada poster Noragami gak, mbak?"
"Kayaknya ada. Bentar ya." Ia pun mencarinya di tumpukan poster tersebut.
Karena merasa kenal dengan suara itu, Ricky pun menoleh ke sebelahnya. "Lah, Andi? lu suka anime juga?"
"Iya," jawabnya datar.
"Ooh, baru tau gue. Kenapa gak bilang dari—"
"Sudah kuduga kamu ada di sini."
Ricky terkejut saat ada yang memeluknya dari belakang. Kalau bukan kakaknya yang bertingkah aneh itu, siapa lagi?
"Ini ngepain sih nempel-nempel," risinya. Jelas sekali kalau Ricky tidak suka perlakuannya itu.
Kepala Aurel bersandar di pundak Ricky dan tidak terlalu memedulikannya. "Eh ada Andi. Wah, jaketnya langsung dipakai, ya. Sekarang Andi jadi lebih keren!"
"Makasih."
Ricky memperhatikan jaket jeans yang dikenakan Andi itu. Ternyata jaket itu adalah jaket yang diinginkannya saat ia pertama kali ke butik Aurel. "Itu lu beli di butiknya Kak Aurel, ya?"
"Iya."
"Kami juga ada diskon," sambar perempuan penjaga gerak itu sambil menunjukkan dua kaos pada Ricky dan Aurel. "Kaos soulmate dari anime romence terkenal!"
"Wah, bagus tuh. Beli, yuk!" pinta Aurel.
Ricky terheran-heran dengan tawaran itu sampai ia menyadari kalau Aurel masih melingkarkan tangannya di pinggangnya dan kepalanya masih bersandar di pundaknya. Mereka terlihat sangat dekat layaknya sepasang kekasih.
"Mbak, cewek aneh di belakang ini kakak saya," kata Ricky.
"O-ooh... maaf maaf, saya kira pacar anda. Soalnya—eh... kalian adik-kakak yang sangat dekat ya!" Perempuan berambut pendek itu tertawa renyah, menertawakan kebodohannya itu.
"Lepasin, kak!"
"Iya, iya, gak usah marah gitu dong." Aurel tertawa sekilas sambil melepasnya. "Kaos itu harganya berapa, Mbak?"
Ricky mendorong Aurel dari belakang untuk menjauhi gerai itu. "Pergi dari sini! Jangan ganggu!"
Aurel mengambil beberapa langkah dan berbalik badan menghadap ke arah Ricky. "Iya, Kiki," Aurel berjalan mundur dan melambai padanya. "Kalau ada apa-apa, telepon kakak saja, ya."
"Iya." Ricky melirik ada orang berjalan di belakang Aurel dengan mata terfokus pada kamera "Eh awas!" Ricky tidak sempat memperingati Aurel yang masih berjalan mundur itu.
Aurel pun menabrak orang itu. Ia refleks mengambil sebuah barang yang terjatuh dari tangan orang itu. "Maaf!"
"Yah... lensanya pecah," keluh pemuda itu sambil melihat retakan pada lensa kameranya.
"Ma-maaf, aku teledor. Aku ganti, ya. Harganya berapa?" Aurel mengeluarkan dompet dari tas kecilnya.
(Tunggu... orang itu kan jurnalis yang tadi,) batin Ricky yang baru menyadari pemuda yang ditabrak Aurel. Ia masih ingat bagaimana pemuda itu memfoto berbagai kegiatan yang ada di pentas seni sekolah sambil sesekali mencatat sesuatu di buku kecilnya.
Aurel bingung saat ia tidak menerima uang yang akan diberikan. "Kenapa?" Aurel memandang pemuda berkacamata itu.
"Gue gratisin kalau lu masih inget gue, " ucapnya.
Kening Aurel berkerut melihat senyum percaya diri yang terukir di wajah pemuda yang sedikit lebih tinggi darinya itu. Tapi, Aurel sendiri sedang tidak ingin mengingat siapa pun untuk saat ini, serta agak risi untuk menemui seorang laki-laki asing. Jadi ia menunduk sebelum sempat melihat wajah pemuda itu lebih rinci dan berkata, "Maaf, aku gak kenal." Aurel meraih tangan pemida itu dan meletakkan dua lembar seratus ribu di tangannya. "Aku permisi dulu." Ia segera meninggalkannya.
"Eh tunggu. Aurel!"
(Hah? Dia kenal Kak Aurel?) kaget Ricky dalam hati. (Siapa sebenarnya dia)
Pemuda itu hendak mengejarnya dan Ricky bermaksud mengikutinya. Tapi, tiba-tiba saja ia berhenti saat mendengar musik dari pementasan paduan suara di panggung. Ia menyiapkan kamera yang ia kalungi itu dan segera menuju panggung untuk mengambil gambar. Lalu tampaknya ia juga kembali mencatat di buku kecilnya.
Ricky kembali ke gerai itu dengan perasaan campur aduk antara khawatir dan penasaran.
"Gue kira lu bakal kejar kakak lu, Rick," kata Andi dengan mata terfokus pada poster-poster itu.
"Dia... dia bisa jaga diri."
"Kalau memang bisa jaga diri, seharusnya lu gak usah khawatir dong."
"Ng-nggak, gue gak khawatir," protes Ricky.
"Gue liat lu refleks mau kejar laki-laki tadi. Tapi gak jadi karena laki-laki itu gak kejar kakak lu." Akhirnya Andi menemukan poster yang ia cari-cari. "Kalau gue jadi lu, gue bakal kejar Kak Aurel karena gue rada curiga sama laki-laki tadi."
Ricky menunduk. Pikirannya tidak fokus untuk mencari pin itu. (Masa di acara pensi bisa kemasukan orang jahat, sih?) pikirnya. Ricky menghela napas. "Ya sudah, Di. Gue cari dia dulu." Ia pun setengah berlari mencari keberadaan Aurel.
Andi menyodorkan poster pada penjual itu. "Ini aja, mbak."
Ia menerimanya dan menggulung poster itu sebelum dimasukkan ke dalam plastik. "Ehm Kak, sebenarnya mereka itu beneran adik-kakak, ya? Apa mereka pasangan tapi cuman dianggap adik-kakak aja?"
"Mereka memang adik-kakak kandung. Hanya saja, mereka mengekspresikan rasa sayang mereka satu sama lain sebagai saudara kandung dengan cara yang berbeda."