"..., 97, 98, 99, 100, selesai." Aurel meletakkan sisir yang ia gunakan untuk merapikan rambut panjangnya itu. Ia mengembangkan senyumnya di cermin sambil memasang jepitan untuk menahan poninya ke arah kanan. Setelah dirasa semua beres, ia keluar dari kamarnya dan langsung menghampiri pintu di sebelahnya. Pintu yang tertempel berbagai macam stiker tokoh animasi Jepang mulai dari yang bajak laut, balap sepeda, sampai ninja.
Tanpa mengetuk, Aurel membuka pintu itu lebar-lebar dan menyahut, "Selamat pagi! Waktunya sekolah... Kiki?" Tapi tidak ada siapapun di dalam kamar. Merasa curiga, ia pun langsung melihat jam dinding di dalam kamar itu. "Aku kesiangan!" pekiknya sambil berlari menuju tangga dan menuruninya.
Tepat saat Aurel sampai di meja makan, ia menemui Bi Suli yang sedang membereskan piring-piring kotor di meja makan itu. Setelah bertanya padanya, Aurel dapat info kalau orang yang dicari-carinya itu sudah ada di halaman depan dan akan berangkat. Ia pun langsung berlari-lari lagi ke sana.
"Kiki!!"
Suara yang membuatnya merinding terdengar jelas dari dalam rumah di suatu ruangan. Namun, ia yakin kalau kakaknya yang tak tahu malu itu akan segera menghampirinya. "Ma, aku pergi dulu!" kata Ricky setelah ia mencium punggung tangan mamanya. "Ayo, Pa!" Ia juga langsung menarik tangan papanya untuk segera masuk ke dalam mobil dan berangkat.
Lily yang sudah siap-siap menahan Aurel di ambang pintu, langsung menangkapnya. "Dia mau sekolah, sayang," kata Lily sambil menggenggam tangan Aurel yang nekat untuk mengejar mobil hitam yang sudah keluar melewati pagar rumah itu.
"Ahh... tapi aku mau kasih goodbye kiss," keluh Aurel.
"Kenapa kamu menyayangi Ricky sampai sebegitunya?" Lily mengeluarkan isi benaknya setelah ia melihat hasil rekaman kemarin malam.
"Bukannya wajar kalau adik-kakak saling menyayangi?" jawab Aurel.
"Iya, sayang dalam batas kewajaran," Lily melipat tangannya, "Tapi kamu melebihi kewajaran itu seakan Ricky itu bukan adik kandungmu."
"Ma... maksud Mama?" kening Aurel berkerut dan kepalanya sedikit dimiringkan.
Lily menghembuskan napasnya dan berkata, "Apa kamu masih takut untuk menyukai laki-laki lagi selain adikmu?"
***
Bel masuk berbunyi, bertepatan dengan kehadiran Ricky di kelasnya. Ia duduk di tempat biasa, di paling depan, sebangku dengan teman misterius di sebelah kanannya yang bernama Andi.
"Pagi, Ricky."
Sapaan yang terdengar dari seorang gadis, membuatnya menoleh ke arah kirinya. "Pagi... Lita, kan?"
Gadis berhijab putih cap sekolah itu mengangguk dan tersenyum. "Iya."
Sekarang hari Jumat, di mana semua perempuan beragama Islam diwajibkan berhijab dengan pakaian muslim, sedangkan yang non berpakaian putih abu-abu tanpa hijab pastinya. Ricky membalas senyumnya sambil meletakkan tas, lalu ia melakukan aktivitas lain—mengecek apakah ada buku yang tertinggal atau memeriksa ponselnya untuk melihat apakah ada pesan atau panggilan masuk dari kakaknya atau tidak—sambil menunggu kedatangan guru yang akan mengajar Sejarah nanti.
Senyum Lita mulai terlihat masam sambil mengarah ke papan tulis. (Dia lupa?) batin Lita. Ia ingin mengingatkan Ricky akan hutangnya kemarin, tapi mulutnya tidak terbuka dan bersuara mengikuti perintah otaknya. (Lumayan loh 5000 itu,) lagi-lagi Lita mendengar pikirannya berbicara, namun ia mencoba untuk tidak menggubrisnya dan fokus kepada guru Sejarah yang bernama Bu Idah yang baru saja masuk itu.
Hari ini ada yang sedikit berbeda, pengeras suara yang terpasang di setiap kelas mengumumkan kalau hari ini ada membaca surah Al-Kahfi bersama di mana banyak keutamaannya jika dibaca di hari Jumat. Begitu juga yang non di mana akan diadakan Saat Teduh untuk melakukan ibadahnya yang bertempat di aula besar sekolah di lantai satu. Agenda rutinan hari Jumat yang dilakukan setiap minggu.
Waktu sudah menunjukkan pukul 9.45 pagi dan saat itu lah bel istirahat berbunyi.
"Lit, lu gak jajan?"
Suara laki-laki yang berasal dari kanannya membuat ia menoleh sambil mengeluarkan sebuah kotak makan krem dari dalam tasnya. "Bawa bekal. lu sendiri, Rick?"
"Ciee akhirnya pakai lu-gue juga," goda Ricky. Lita hanya tertawa renyah. "Gue lagi tahap berhemat. Uang per minggu gue menipis," jawabnya.
Lita mengangguk dengan mulut membulat. Ia menghela napas dan mencoba memberanikan diri menagihnya. "Oh ya, Ricky, kemarin—"
"Woy Ricky! Jajan yok!" Tiba-tiba Yoga datang sambil menggebrak meja Ricky.
"Wey santai aja!" Ricky kesal dengan Yoga yang terus-terusan menggebrak mejanya setiap ia mengajak ke kantin. "Gue gak ada duit. Traktir gue dong."
Beberapa saat Yoga terdiam sambil memandang Ricky sebelum akhirnya ia berlalu ke belakang, ke arah Eza yang akan menghampirinya. "Za, ke kantin yok!" serunya, seakan ia tidak menggubris Ricky sama sekali.
"Sialan lu, ga," rutuk Ricky.
"Lu gak ke kantin, Rick?" heran Eza yang baru saja sampai di depan meja Ricky.
"Gue gak ada duit, serius deh," kata Ricky. "Tinggal 20 ribu."
"Itu masih banyak, kampret!" umpat Yoga.
"Ya udah yok, Ga, ke kantin," kata Eza sambil merangkul Yoga keluar kelas.
"Wey parah banget lu pada, sama temen sendiri!" seru Caca yang sedang menghampiri dari tempat duduknya itu.
"Mereka bukan temen gue, Ca. Wajar aja," kata Ricky santai sambil mengedikkan bahu.
Eza dan Yoga yang berhenti di ambang pintu hanya tertawa dan merutuki kalimat yang Ricky lontarkan itu.
"Lu beneran gak ada duit?" tanya Wina yang terlihat selalu menempel sama Caca itu.
"Ada sih, cuman 20 ribu. Tapi kan di kantin mahal-mahal."
"Ya udah, gue traktir. Asal lu ke kantin ya," kata Caca sambil menarik Ricky berdiri.
"Nah gitu dong. Ini baru namanya temen. Gak kayak lu pada!" Ricky mencemooh Eza dan Yoga balik sambil berdiri dan mengikuti tarikan Caca keluar kelas.
"Eh Ca! Kok Ricky doang sih?" protes Yoga.
"Curang lu, Rick!" sambar Eza.
Caca hanya menjulurkan lidah pada mereka, dan kemudian, mereka pun keluar kelas dengan canda tawa yang menunjukkan keakraban mereka.
Seorang gadis yang sedang menikmati bekalnya itu hanya bisa tersenyum samar setelah mendengar obrolan kelima remaja tadi. Walau ia tampak sedang menikmati nasi goreng dengan telur mata sapinya, sebenarnya ia mendengarkan percakapan itu.
"Kamu kenapa gak langsung minta uangmu balik, Lit?" Akhirnya teman sebangkunya bisa bertanya padanya setelah orang-orang yang ngobrol dengan suara tak karuan itu sudah pada pergi ke kantin.
"Nggak ah, nanti aja, Nia" kata Lita setelah ia menelan suapan nasi gorengnya. Gadis bernama Nia dengan rambut sepundaknya itu hanya menggeleng pada keputusan yang Lita ambil.
Dua puluh menit kemudian, bel masuk berdering. Disusul dengan masuknya guru pelajaran Matematika yang bernama Pak Maman sepuluh menit kemudian. Pelajaran Matematika itu selesai di hari ini saat waktu menunjukkan pukul 11.30. Tinggal satu mata pelajaran lagi, yaitu Kimia, setelah ishoma. Eza sempat mengajaknya ke kantin, tapi Ricky menolak. Alhasil, Eza minta kasih tahu Yoga untuk ke kantin jika Yoga ke sana.
"Eh Rick! Coba lihat deh." Lagi-lagi Yoga datang menghampiri Ricky saat para siswa sedang menunggu waktu salat Jumat. Kali ini Yoga menunjukkan tampilan ponselnya. "Coba tebak ini nomor siapa?"
Ricky mengambil ponsel itu dan melihatnya lebih jelas. Yoga menunjukkan kontak yang bernama 'Cintaku' itu. "Widih mantep lu, Ga! Udah punya nomor gebetan aja," kata Ricky seolah-olah memuji Yoga sambil mengotak-atik ponselnya. Padahal Ricky tahu sekali nomor siapa itu.
"Iya lah. Gue gitu!" Yoga menunjuk dirinya bangga. "Eh, emang lu gak tau ini nomor siapa?" heran Yoga.
"Hmm... gue tau kok," jawab Ricky sambil mengembalikan ponsel Yoga. "Lu dapet dari mana?"
Kedua mata hitam Yoga terbelalak saat melihat ponselnya kembali. "KENAPA LU HAPUS, PE'A?!!!"
"Gue gak mau kakak gue dideketin sama lu," timpal Ricky. "Itu namanya lu emang temenan sama gue cuman ngincer kakak gue aja."
"Sialan, mana udah dihapus lagi nomornya di papan tulis," gerutu Yoga dengan tatapan pada ponselnya.
"Lagian juga, lu gak cocok sama kakak gue. Serius, gak bohong." Ungkapan yang dilontarkan Ricky terdengar tajam. "Bagai malaikat dan setan yang gak bisa jalan beriringan. Nah, lu setannya Ga," tambah Ricky sambil tertawa.
Yoga hanya ikut tertawa menanggapi candaan yang terdengar berlebihan itu. Ingin rasanya Yoga berkata kasar saking gondoknya. "Sialan lu!"
"Emang lu gak bisa ngira-ngira umurnya berapa sekarang?"
"Baru 19-an, kan?" balas Yoga ragu.
"Ishh umur lu sama dia beda jauh cuy," timpal Ricky. "Dia udah 25 tahun."
"Widih... tapi muka umur 19-an yak!" kaget Yoga.
"Yang namanya dikutuk jadi awet muda terus, ya begitu," katanya sambil mengedikkan bahu. "Hey, lu belum jawab pertanyaan gue. lu dapet dari mana nomor Kak Aurel?"
"Dia dateng bareng anak-anak latihnya. Promosi ekskul," jawab Yoga sambil mengantungi ponselnya. "Kelas lu gak didatengin?"
"Nggak. Terus dia di mana sekarang?" tanya Ricky sambil berdiri sekilas untuk melihat keluar kelas.
"Kayaknya sih udah pulang," balas Yoga sambil mengedikkan bahu. Ricky hanya mengangguk dan sedikit bernapas lega. "Eh, lu udah baikan sama dia, kan?" Yoga baru terlintas pertanyaan itu di benaknya.
"Udah."
"Gimana baikannya? Minta maaf aja apa lu traktir sesuatu?" Ia terlihat penasaran.
"Kepengen tau aja lu," kata Ricky berkelit. Ia langsung teringat pesan yang disampaikan Eza sebelum ia keluar. "Lu dicariin Eza di kantin."
"Oh iya gue lupa!" seru Yoga sambil menepuk jidat. "Ya udah, gue ke kantin dulu. lu gak ke kantin juga?"
"Nggak."
Kemudian, laki-laki berambut keriting itu pun keluar dari kelas dan segera menemui Eza untuk suatu urusan.
Ricky menghela napas dan dihembuskan perlahan. Rumus-rumus runyam matematika yang baru saja mengisi otaknya sudah membuatnya sedikit tertekan, ditambah Yoga yang tadi menunjukkan ia baru saja mendapat nomor Aurel membuatnya semakin berat untuk mengangkat kepalanya dari meja. Keluar dari kelas dan tiba-tiba bertemu dengan Aurel di sekolah membuat mentalnya sedikit tertekan akibat MOS saat itu. Kendati pun itu hanya salah paham saja.
"Ricky."
Panggilan itu membuat Ricky mengangkat sedikit kepalanya dan merebahkan kembali ke meja dengan mengarah pada gadis yang memanggilnya. "Apa, Lit?"
"Lu sekarang... emang lagi gak ada duit ya?" tanya Lita hati-hati.
"Ada sih. Tapi tinggal sedikit. Emang kenapa?"
Lita mengangguk. "Nanti naik angkot lagi?" tanya Lita.
"Nggak tau deh. Antara Kak Aurel yang mau jemput atau Pak Udin yang udah sehatan. Tapi kalau mereka emang gak bisa ya gue naik angkot," jawab Ricky. "Emang kenapa?"
Lita mengangguk sekali lagi. "Nggak kenapa-napa. Cuman tanya."
Ricky merasa aneh dengan pertanyaan itu dan ia merasa ada sesuatu yang ia lupakan. Sampai, ia mengingat kejadian salah angkot kemarin. "Ooh iya! Gue ngutang 5000 sama lu, kan?" seru Ricky sambil mengangkat kepalanya.
"Iya, hehe." Lita terkekeh.
"Kenapa gak bilang dari tadi, kamu." Ricky tertawa pelan sambil melihat isi saku baju kokonya.
"Yaa... aku gak enak aja sama lu," kata Lita yang merasa malu dengan kode-kode yang ia berikan agar Ricky lebih peka.
"Bilang aku-kamu dicampur lagi, nih," goda Ricky. Kali ini ia mencari sesuatu di dalam tasnya.
"Iihh... lu nya sih! Mancing-mancing gue!" gerutunya.
"Yah Lit, gue gak ada duit lagi nih," keluh Ricky setelah ia tidak menemukan 500 rupiah lagi untuk menggenapkan uangnya menjadi 5000. "Gue cuman ada 4.500."
"Ooh, ya udah gak apa-apa," kata Lita sambil tersenyum. "Lain kali aja. Itu buat angkot aja kalau kamu gak ada yang jemput."
"Seriusan, nih?" Senyum Ricky ikut merekah di wajahnya.
"Iya. Gue juga masih ada uang kok."
"Makasih ya!" serunya sambil tersenyum lebar. "Oh iya, Lit, sebenarnya lu lebih nyaman pakai aku-kamu apa lo-gue sih? Labil banget hehehe." Ricky terkekeh melihat tingkah Lita yang tak biasa itu.
Aku nyamannya sama kamu, pikiran nakal Lita berbisik dan berefek pada kepalanya yang menggeleng-geleng padahal bukan itu jawaban yang Ricky pinta.
"Kenapa, Lit?"
"Nggak! Nggak kenapa-kenapa," jawab Lita cepat. "Ya gimana ya, Rick? Gue emang labil, maklum aja. Tapi gue usahain pakai aku-kamu kok—eehh maksudnya lu-gue!" Suara Lita terdengar naik turun.
"Apaan, sih, Lit?" Ricky kembali tertawa. "Emang biasanya pakai aku-kamu?"
"Sama kakak diwajibkan aku-kamu. Tapi kalau temen ya lu-gue. Tapi gak tau kenapa sekarang malah labil. Mungkin lagi terbawa suasana rumah hehehe."
Mulut Ricky membulat. "Ooh punya kakak juga? Cewek bukan?"
"Cowok, kira-kira seusia Kak Aurel lebih dikit kayaknya?" kata Lita mengira-ngira.
"Emang kamu bisa ngira umur Kak Aurel?" Ricky terlihat tidak percaya.
"Umurnya sudah 25-an, kan?"
Beberapa saat Ricky terdiam sambil mengerjapkan mata. Ia tidak menyangka ada manusia yang hampir tepat bisa menebak usia Aurel. "Iya. Dia baru menginjak 25 tahun. Kakakmu umur berapa?"
"26 tahun."
"Namanya?"
"Kak Arsya Geovanie."
Ricky mengangguk-angguk dan memikirkan sesuatu. Ia pun melihat waktu di jam tangannya. "Eh, aku ke mesjid dulu," pamit Ricky.
"Iya," balas Lita sambil tersenyum sebelum akhirnya ia bernapas lega saat Ricky berjalan keluar kelas.
***
Aura hitam bercampur merah terpancar dari seorang gadis yang dari tadi berdiri di luar kelas untuk mengintip sesuatu di dalam kelas tersebut. Ia tidak memedulikan tatapan-tatapan aneh di sekitarnya, bahkan membalas ketus siswa-siswa yang menyapanya karena apa yang ia lihat dari tadi di kelas itu sudah membuat mood-nya jatuh sejatuh-jatuhnya.
"Siapa gadis itu? Siapa gadis itu? Siapa gadis itu?" Mulutnya berkomat-kamit mengucapkan kalimat itu.
Tepat saat ia melihat adiknya berjalan keluar kelas, kepalanya perlahan bergerak menoleh ke kanan, ke arah laki-laki yang berdiri mematung dan memandangnya tidak menyangka.
"Kiki...," panggil Aurel dengan suara dalam.
Susah payah Ricky menelan ludahnya saat melihat Aurel dengan tatapan memangsa itu. Ini pertama kalinya ia melihat Aurel yang sepertinya akan meledak.
"Siapa... gadis... itu?" Aurel melangkahkan kaki ke arah Ricky yang sudah berancang-ancang mengambil langkah seribu.
Tanpa aba-aba, Ricky pun langsung berlari, begitu juga Aurel yang mengejarnya.
Namun sayangnya, Aurel tidak bisa melampauinya karena Ricky sudah masuk ke dalam mesjid. Cukup lama ia tidak berlari membuatnya tidak bisa berlari secepat dulu. Aurel berdecak sebal dan menggantungkan rasa penasarannya sementara. Ia benar-benar tidak pernah merasa sekesal ini pada Ricky sebelumnya. Oh bukan, pada gadis itu. Ia tidak pernah merasa sekesal ini pada seseorang sebelumnya. Gadis itu sudah masuk dalam daftar nama yang ingin ia santet dan dia ada di urutan pertama.
Ya, bisa dikatakan Aurel tengah cemburu saat ini. Sudah lama sekali ia tidak merasakan hal itu dan ia sangat tidak mau merasakannya lagi.
"Apa kamu masih trauma dengan laki-laki lain?"
Ucapan Lily kembali terngiang-ngiang di benaknya dan ia tidak mengerti dengan keadaannya saat ini.