Ini kedua kalinya Ricky merasakan kecanggungan aneh di dalam mobil yang dikemudikan kakaknya itu. Seharusnya ia tidak merasakan ini dan seharusnya Aurel bawel seperti biasa. Tidak diam dengan ekspresi dinginnya itu.
"Kakak marah lagi?" tanya Ricky enggan sambil memandang pemandangan jalan di depannya.
"Nggak," jawab Aurel singkat.
"Bohong," timpal Ricky. Ia menoleh ke arahnya dan melirik ke arah kemudi mobil. "Kalau gak marah, Kakak gak mungkin genggam stir mobil sampai seerat itu," tambahnya.
Aurel yang menyadarinya, langsung mengendurkan genggaman kemudi mobil itu sambil menghembuskan napas. "Aku gak marah ke kamu, tapi ke gadis itu," jelas Aurel.
"Yang mana? Yang ngajak aku ngobrol di lapangan basket itu? Kenapa bisa marah sama dia?" Ricky benar-benar terheran dengannya. Padahal belum ada teman perempuannya yang ia kenalkan pada Aurel sebelumnya. Tapi kenapa sudah ada yang membuat Aurel semarah itu?
"Memang dia ngajak kamu ngobrol lagi di lapangan basket?"
"Ngobrol lagi? Maksudnya?" Ricky memandang Aurel penuh tanya.
Aurel memandang balik Ricky sekilas sebelum ia kembali melihat jalan. "Yang di kelas itu. Yang aku mengejar kamu sampai ke mesjid itu," ujarnya.
Beberapa saat Ricky terdiam untuk mengingat-ingat siapa yang Aurel maksud. "Ooh... dia. Yang duduk paling depan sebelahku itu, kan?"
"Iya itu, yang pakai kerudung putih. Siapa dia?"
"Banyak cewek yang pakai krudung putih, kak," timpal Ricky.
"Iya pokoknya yang itu deh. Yang buat kamu kelihatan lebih senang saat ngobrol sama dia!" seru Aurel.
"Dia orangnya lucu, wajar aku keliatan lebih senang," Ricky mencoba berkelit.
"Nggak, Ricky! Senang yang aku lihat saat kamu ngobrol sama dia itu beda!" protes Aurel dengan suara meninggi.
"Ma-maksudnya?" Ricky sedikit gugup dengan emosi Aurel yang pertama kali dilihatnya itu.
"Kamu suka sama cewek genit itu, kan?"
"Cewek genit? Kak, aku aja belum pernah nyentuh orang pemalu kayak dia. Tapi kakak bilang dia itu genit?!" Ricky merasa tidak terima dengan label itu.
"Kalo gitu, kenapa kamu bela dia? Itu tandanya kamu—"
"Kakak sendiri yang bilang kalau kita tidak boleh melabel orang sembarangan sebelum kita mengenal orang itu, kan?" sela Ricky.
Aurel langsung terdiam sambil memandang Ricky tak percaya. Itu benar, dia yang memberitahu untuk tidak melabel orang sembarangan, tapi kenapa malah dia yang melanggarnya?
Tiinn! Tiin!!
Ricky sedikit tersentak karena ada yang mengklaksonnya dan mengetuk kaca mobil itu dari samping. "Kak, sudah lampu hijau." Ricky membangunkan Aurel dari lamunannya.
Ia pun menancapkan gas secara perlahan dengan pandangan kembali ke depan. Ekspresi campur aduk Aurel yang susah sekali untuk ditebak, membuat Ricky sedikit frustrasi menghadapinya. Takut-takut Aurel membuat persyaratan yang lebih konyol lagi untuknya dengan ancaman tidak bisa mendapat apa yang ia butuhkan selama di sekolah nanti.
(Hhh... perasaan baru kemarin minta maaf. Kenapa dia ngambek lagi?) keluh Ricky sambil memandang pohon-pohon di sampingnya selama perjalanan.
***
"Belakangan ini, kalian berantem terus. Kenapa, sih?" Leo memulai obrolan saat ia sedang menyetir untuk membawa satu keluarga kecilnya ke rumah ibunya Leo. "Ini hari Minggu, dan Papa gak mau kalian diam seperti ini di rumah nenek nanti."
"Aku cuman gak nemu topik aja, Pa," kata Aurel sambil terkekeh.
"Jangan bohong Aurel, kamu orangnya mudah Papa tebak," timpal Leo. "Siapa yang mulai?"
Aurel terdiam, apalagi Ricky. Remaja laki-laki itu memandang bosan pemandangan di sampingnya. Ia terlihat tidak ingin ikut dalam urusan itu dan ia juga merasa kalau bukan ia lah yang memulai karena ia tidak tahu apa-apa. Aurel marah dengan sendirinya dan Ricky tidak peduli hal itu kalau bukan ia yang membuatnya marah. Walau dengan konsekuensi, Aurel tidak akan membantunya lagi.
"Aurel cemburu sama gadis yang disukai Ricky," kata Lily tiba-tiba.
"Apa?" Pernyataan itu membuat Ricky terpaksa menarik diri dari lamunan siangnya.
"Iih Mama gak bisa jaga rahasia!" gerutu Aurel.
"Kamu gak bilang ini rahasia, ya," Lily yang duduk di sebelah jok pengemudi itu mencoba membela diri.
"Wah, Ricky, baru masuk sudah ada yang kamu suka aja," komentar Leo. "Siapa tuh? Pinter gak?"
"Nggak. Aku nggak—maksudnya belum suka sama siapa-siapa," protes Ricky.
"Terus kenapa kamu selalu bela dia dari kemarin?" tanya Aurel dengan nada sengaknya.
"Itu karena kakak terus melabel dia sembarangan. Ketemu aja kakak juga belum, kan? Tau namanya, gak?" Ricky pun juga terpancing emosinya.
"Mana aku tau. Kamu sendiri juga gak kasih tau namanya dari kemarin," balas Aurel.
"Ya udah kalau gitu kakak gak usah terus-terusan judge dia."
"Kalian bisa diam, gak? Nanti Papa turunin di sini, mau?" Akhirnya Leo angkat bicara.
Aurel dan Ricky pun terdiam dan kedua wajah mereka saling berpaling.
"Ini pertama kali loh Mama lihat kalian berantem serius seperti ini," kata Lily tak menyangka. "Aurel, kamu sudah dewasa sayang. Jangan bersikap seperti anak kecil lagi," tegurnya.
Aurel tertunduk dan tidak tahu apa yang ingin disampaikan.
"Umur bukan faktor penentu kedewasaan, Ma," timpal Ricky tiba-tiba dengan pandangan masih ke jalan. "Di mataku, Kak Aurel masih berumur 17 tahunan bahkan lebih muda. Tingkahnya benar-benar seperti anak kecil."
"Hmm...?" Beberapa saat Aurel terdiam untuk mencerna maksud kalimat itu. Lalu, senyum jahilnya mengembang dan mood-nya sedikit membaik setelah mengerti maksudnya. "Ooh, jadi kamu bilang kalau aku masih muda. Makasih banyak loh, Kiki!" seru Aurel sambil mencubit gemas pipi Ricky. Dibilang masih muda oleh adiknya sendiri merupakan suatu hiburan tersendiri bagi Aurel. Walau dibilang seperti anak kecil pun, yang penting muda, itu yang dipikirkannya.
"Aduduh... apa-apaan, sih?"
"Lihat aja nanti. Besok aku akan tahu siapa nama gadis yang kamu suka itu!" Aurel tertawa sambil melepas cubitannya.
Sambil mengelus pipi kanannya, Ricky memandangnya tak percaya. Ia benar-benar berharap jika besok, Aurel sibuk dengan pekerjaannya sampai tidak bisa datang ke sekolah. Kalau bisa, pekerjaan butik Aurel sangat menumpuk sehingga ia lupa untuk mencari sesuatu yang tak berarti itu. Tuhan mengabulkan doa orang yang tersiksa. Kalau habis dicubit itu namanya tersiksa juga, kan? Ya, semoga saja.
***
"Baiklah anak-anak, satu jam terakhir sebelum istirahat ini, ibu berikan pada Aurel yang ingin mempromosikan ekskul pegangannya di kelas ini. Semoga di antara kalian, ada yang berminat," kata seorang guru bahasa Inggris yang bernama Bu Lilis itu sebelum ia pergi keluar kelas dengan buku-bukunya.
"Ahh... sepertinya gak dikabulin sama sekali," keluh Ricky sambil mengacak-acak rambutnya.
"Dikabulin apa?" Hal itu cukup menarik perhatian Andi di sebelahnya.
"Nggak. Bukan apa-apa," jawabnya cepat.
Pintu kelas terbuka dan masuklah beberapa siswa ke dalam kelas.
"Assalamu'alaikum warohmatullohi wabarokatuh!"
"Wa'alaikumsallam warohmatullohi wabarukatuh." Hampir seluruh siswa menjawab salam dari Aurel.
"Selamat pagi teman-teman!" Aurel menyapanya dengan penuh semangat.
"Pagi, kak!"
"Aku Aurelia Aurita selaku pelatih klub fashion ingin mencari member-member baru di sini nih," ujarnya. "Oh ya sebelumnya, aku ingin ceritakan sejarah dan prestasi apa-apa saja yang sudah didapat klub yang bernama Fashmod Point ini."
Ricky memilih untuk tidak mendengarkan apa yang diocehkan Aurel itu karena ia tidak tertarik sama sekali dengan yang berbau model dan fashion itu. Yang ia pikirkan adalah, menerka-nerka apa yang akan terjadi selanjutnya dan menyiapkan mental kalau-kalau sifat kanak-kanak Aurel kumat.
"Baiklah, di sini, siapa yang berminat bergabung bersama kami?" kata salah satu member klub.
Secepat kilat, gadis yang duduk di sebelah Ricky mengangkat tangannya. Ia terlihat sangat berminat untuk bergabung dengan klub itu. Hal ini benar-benar diluar dugaan Ricky dan ia yakin Aurel akan mengetahui namanya dengan mudah.
"Wow, sepertinya kamu minat sekali ya," gumam Aurel.
"Iya, kak. Tapi aku lebih minat ke design pakaiannya," jawabnya.
Aurel mengangguk sambil memberikan selembar kertas padanya. "Oke, tulis nama dan nomor HP-mu ya," pintanya. "Siapa lagi?" sambil menunggu, Aurel mencari siapa lagi yang berminat untuk bergabung. Ada sekitar tiga siswa lagi yang ingin bergabung salah satunya Caca.
Setelah selesai, Aurel membaca sekilas nama yang tertera di urutan nomor 1 itu sebelum ia berikan kepada salah satu didikannya untuk menuliskan member-member baru lain.
Aurel menghampiri meja Ricky dan berkata, "Aku sudah tahu namanya sekarang."
"Jangan ngomong yang macam-macam," peringat Ricky dengan suara pelan dan penuh penekanan.
Aurel tersenyum. Senyum penuh misteri yang susah untuk bisa dimengerti dengan mata yang sedikit berkaca-kaca. Ia pun merendahkan sedikit tubuhnya dan membisikkan sesuatu pada Ricky.
"Dari gerak-gerikmu, aku merasa kamu menyukai Talita. Iya, kan?"