Setelah keluarnya Aurel dari kelas itu setelah ia mendapat 4 calon anggota baru untuk ekskulnya, Ricky langsung memutar tubuh ke kirinya—ke arah Lita— dan bertanya mengapa ia ingin mengikuti ekskul itu.
"Aku ikut ekskul ini untuk Kak Arsya," jawab Lita.
"Ikut ekskul untuk kakakmu? Maksudnya?" bingung Ricky.
"Ehmm... gimana ya jelasinnya?" gumam Lita sambil mengelus pipi.
"Oohh kamu cuman mau menyenangkan kakakmu, padahal kamu gak suka sama apa yang dimauin kakakmu?" terka Ricky.
Lita menggeleng cepat. "Nggak. Aku juga suka mendesain baju, jadi aku ikut ekskul ini. Juga, Kak Arsya... yaa.. gitu deh hehe." Lita terkekeh dan terlihat ada yang disembunyikan, terutama tentang kakakknya.
Ricky sedikit memicing sekilas ke arahnya. "Ooh pokoknya ini tentang Kak Arsya dan aku gak boleh tau, kan?"
"Ya bukan gak boleh tau juga. Cuman gitu deh intinya hehe," Lita terlihat cengengesan dan tidak tahu apa yang ingin disampaikannya.
"Kamu kenapa, sih, Lit?" Ricky ikut tertawa melihat tingkah Lita yang menurutnya lucu dan menggemaskan itu.
(Ok, kali ini aku gak bisa tahan lagi di sini!) batin Lita menjerit bukan karena melihat senyum Ricky yang menawan, melainkan tatapan mengintimidasi dari jendela koridor itu terus mengarah padanya. Sebab kenapa ia menjadi agak salah tingkah dan merasa aneh. "Rick, kayaknya Kak Aurel mau ngomong sama kamu," kata Lita sambil menunjuk Aurel sekilas.
Ricky melihat ke belakangnya, ke arah mata tajam Aurel yang terus mengarah pada Lita. "Eh, sebentar, ya. Aku keluar dulu," kata Ricky yang merasa tidak enak sebelum ia berjalan keluar kelas.
Lita mengangguk dan hanya memperhatikan dari dalam. Terlihat Aurel dan Ricky sedikit beradu mulut di luar kelas. Lita tidak begitu mendengarnya jelas, namun dari ekspresinya saja, ia tahu ada sedikit pertikaian di antara kakak-beradik itu.
Tak lama kemudian, Ricky pun masuk kembali ke kelas dan Aurel meninggalkan tempat itu setelah menatap Lita sinis.
"Ehmm... Rick, Kak Aurel benci sama aku, ya?" tanya Lita tidak enak.
"Eh? Nggak kok. Nggak juga," jawab Ricky sambil tersenyum yang kurang bisa diartikan.
Lita ingin bertanya kembali, namun guru yang mengajar bahasa Indonesia sudah datang dan ia harus mengurungkan niatnya untuk bertanya, kalau bisa melupakannya dan tidak terlalu memikirkannya.
***
"Selamat sore, Bi Sul!" sapa Jane ramah saat melihat Bi Suli membukakan pintu untuknya.
"Selama sore, Non Jane, silahkan masuk," balas Bi Suli sambil tersenyum masam.
"Bi Sul, bisa gak, panggil Jane aja?" tanya Jane dengan senyumnya yang perlahan semakin masam.
"Ahh... Non Jane sendiri, bisa gak panggil saya Bi Suli aja?" balas Bi Suli.
Beberapa saat mereka terdiam dan berpandangan satu sama lain. Sudah biasa terjadi sedikit pertikaian sepele setiap Bi Suli yang membukakan pintu untuk Jane atau setiap Jane bertemu dengan Bi Suli dan memanggilnya dengan sebutan Bi Sul.
"Jane, apa yang kamu tunggu di sana? Langsung masuk aja," kemunculan Lily di belakang Bi Suli cukup membuat Jane terkesiap.
"Oh iya, Tante." Lalu, Jane pun masuk ke dalam rumah setelah melepas sepatunya dan ia letakkan di rak sepatu.
Saat Lily dan Jane melewati ruang keluarga untuk naik ke lantai dua, Lily melihat putra bungsunya bersantai di sofa sambil memainkan PSP-nya.
"Adek? Kamu kok gak bujuk Aurel buat makan, sih?" tanya Lily keki.
"Aku sudah bujuk, Ma. Tapi aku dicuekin terus," jawab Ricky dengan mata terfokus pada layar PSP.
"Ya kamu bujuk lagi dong. Biasanya Aurel mau kalau sama kamu," kata Lily.
"Itu dulu. Sekarang nggak," jawabnya ketus.
"Ricky! Kamu kok gitu sih sama Mama sendiri?"
Ricky masih tidak peduli. Jemarinya sibuk menggerak-gerakkan game konsol itu.
"Ricky Alfian!"
"Yah Mama. Aku jadi kalah, kan!" keluh Ricky.
Tidak tega melihat wanita itu disepelekan, Jane pun buka suara. "Hmm... Tante. Biar aku saja yang urus Ricky. Tante ke kamar Aurel saja. Aku sudah mengerti kok permasalahan Aurel," kata Jane sebelum amarah Lily meledak-ledak.
"Ya sudah. Kamu tolong urus dia, ya," ujar Lily sebelum ia berlalu menuju kamar Aurel.
Setelah itu, Jane menghampiri Ricky yang bisa terlihat dari ekspresinya kalau ia benar-benar kesal saat ini. Lalu ia duduk di sebelahnya.
"Hei, Rick," sapa Jane.
"Apaan?" balas Ricky ketus dengan mata yang masih terfokus pada layar konsol.
"Kamu lagi suka sama cewek ya?" tanya Jane to the point.
Ricky langsung menghentikan permainannya dan menatap Jane enggan. "Kagak. Gue lagi gak suka sama cewek sekarang," jawabnya. Kalau sudah kesal, Ricky tidak memedulikan sebutan apa yang ia kenakan itu.
"Beneran lagi gak suka sama cewek? Kata Aurel, kamu suka sama Lita dari gerak-gerikmu," jawab Jane.
Ricky membuang napas cepat sambil memutar bola matanya. "Kalo gue beneran suka, itu semua karena lu dan Aurel yang terus mengira gue suka sama dia, oke?"
"Hmm... jadi beneran suka?" tanya Jane lagi memastikan. Kondisinya yang saat ini lagi baik membuat Jane tidak mudah emosi di hari merahnya itu.
Ricky menatapnya datar sebelum ia kembali memandang PSP-nya untuk melanjutkan permainannya dan bergumam dalam hati kalau Jane tidak membantu sama sekali.
"Heh, Rick! Jawab dong!" seru Jane sambil mendorong-dorong pundak Ricky.
"Gini, deh," kata Ricky sambil meletakkan PSP-nya di atas meja dan mengambil posisi yang nyaman untuk menghadap Jane. "Yang dipermasalahkan bukan itu. Sekarang, Kak Aurel marah sama gue gara-gara dia ngira gue suka sama Lita. Dan yang gue gak ngerti, kenapa dia marah kalau gue suka sama cewek atau mungkin ada cewek yang suka sama gue? Kenapa-dia-marah?" Ricky menekan tiga kata terakhir.
Jane terdiam, matanya ke mana-mana untuk mencari alasan.
"Bukannya wajar, di umur gue yang remaja ini, suka sama cewek?" Ricky mencoba untuk lebih mengontrol emosinya karena ia tahu kalau marah-marah saja tidak bisa menyelesaikan masalah. "Jane?" Merasa gadis berambut pendek kemerahan itu masih terdiam, Ricky pun memanggilnya.
Jane menghirup napas dan berkata, "It's a long story, boy," dengan suara pasrah.
"Ya udah ceritain aja. lu lagi free, kan, sekarang?"
"Iya sih, lagi free, tapi—"
"Jane!"
Ucapan Jane terpotong saat ada yang memanggil namanya dari arah tangga. Dan ternyata yang memanggil itu Aurel. Ia dan Lily sedang menuruni tangga menuju mereka.
"Ya?"
"Kamu bilang, Maria mau jadi model buat jaket terbaruku, kan? Dia di mana sekarang?" tanya Aurel.
"Ada di rumah. Memang mau foto sekarang?"
"Iya. Soalnya sudah banyak sekali waktu yang terbuang gara-gara orang yang seharusnya jadi model—karena jaket itu memang didesain sesuai tubuhnya—gak mau," kata Aurel sambil menatap sinis ke Ricky sekilas.
"Bilang aja. Gak usah pake sindir-sindiran," sambar Ricky sambil menatapnya enggan.
Aurel diam tidak meladeni adiknya itu. Ia hanya tersenyum sekilas ke arahnya sebelum ia menarik tangan Jane sambil berkata, "Jane, kemarin aku ketemu sama Pak Abdul wali kelasku waktu kelas 10 IPA 4 dulu."
"Terus?"
"Ya gak apa-apa. Cuman, dia pernah tunjukan aku soal ulangan Fisika buat minggu depan kelas 10 IPA 4 sekarang. Soalnya gak jauh beda sama zamanku dulu."
"Hmm... begitu," gumam Jane.
Setelah itu, mereka berdua pun keluar dari rumah dan Ricky tidak bisa mendengar percakapan mereka lagi.
Ada saja cara Aurel supaya Ricky bisa kembali dekat padanya. Ya, Aurel sengaja berbicara keras seperti tadi agar Ricky bisa mendengarnya dan ia bisa memohon pada Aurel untuk mengajarkannya Fisika.
Tapi nyatanya tidak.
Ricky masih terlihat enggan dan seakan tidak mendengar apa yang baru saja Aurel bicarakan karena kedua mata cokelatnya terlalu fokus pada permainan balap-balapan di PSP-nya.
"Kamu kenapa, sih, dek?" Lily benar-benar terheran akan sikap Si Bungsu.
"Gak kenapa-kenapa," jawab Ricky.
Lily menghampirinya dan duduk di sebelahnya. "Kamu tau gak? Kenapa kakakmu bersikap aneh seperti itu?"
"Mama sendiri juga tau, kan?"
Lily hanya terdiam dan menunuggu apa yang anak laki-laki itu ingin sampaikan.
"Kenapa Kak Aurel bisa berlebihan gitu, sih, Ma? Aku ngobrol sama cewek aja dilarang! Aku bawa temen cewek aja gak dibolehin! Otomatis aku gak dibolehin pacaran juga nih kalau deket sama cewek aja dia bisa semarah itu." Ricky mengeluarkan kepenatannya sambil melempar PSP ke sofa di seberangnya.
"Karena dia sayang sekali denganmu," timpal Lily. "Aurel gak mau kamu mengalami hal yang sama dengannya dulu."
"Mengalami apa? Dia gak cerita sama sekali!" sambar Ricky.
"Aurel gak cerita sama kamu?" kata Lily tak menyangka.
"Nggak. Dia selalu menganggapku seperti anak kecil dan bercerita hal lucu juga menyenangkan yang dialami sama dia. Jadi aku gak tau—bahkan mengira kalau Aurel hidupnya selalu menyenangkan."
Lily termenung memikirkan sesuatu. "Ahh... sekarang aku mengerti," gumamnya.
"Mengerti apa?" tanya Ricky penasaran, sekaligus berharap kalau apa yang dimengerti Lily adalah tentang posisinya saat ini.
"Mengerti kalau Aurel memang sangat-sangat menyayangimu. Bahkan mungkin lebih dariku," kata Lily.
"Argh..." Ricky mengerang sambil mengacak-acak rambutnya karena frustasi. "Bodo ah!"Kemudian ia beranjak dari sofa dan menaiki tangga.
"Adek! Kamu mau ke mana?" tanya Lily. Namun tidak direspon olehnya, hanya terdengar suara pintu yang terbuka dan tertutup cukup keras.
Wanita berambut hitam dikuncir tengah itu mendesah saat melihat hubungan kedua anaknya itu terasa semakin merenggang. Sebenarnya siapa yang salah? Itu yang Lily bingungkan. Itu hak Ricky untuk menyukai seseorang di sekolahnya. Lily mendukungnya. Namun, Aurel melarangnya keras dengan alasan yang belum Ricky ketahui sama sekali. Ini bisa jadi salah Aurel karena tidak memberi alasan yang jelas kenapa ia bisa semarah itu. Ini juga bisa jadi salah Ricky, karena dia tidak peduli keadaan Aurel saat ini dan malah membuat Aurel semakin marah padanya. Lagi-lagi kata bingung terlintas di benak wanita yang terlihat awet muda itu. Ia tidak tahu siapa yang salah dan tidak bisa menghakimi kalau belum ada bukti.
"Hahhh... mungkin Leo tau caranya," gumam Lily sambil beranjak dari sofa menuju dapur. "Tapi... apa tidak apa-apa ya?" Lily berhenti di tempat karena baru menyadari sesuatu.
(Leo, kan, orangnya keras.)