Kehidupan rumah tangga seorang Anita bisa dikatakan sempurna di depan banyak orang yang melihat. Tidak hanya yang mengenal Anita—wanita tiga puluh tahun tahun dengan satu anak yang dihasilkan dari pernikahan delapan tahun ini bersama Anto.
Anto adalah pengusaha yang sering berpergian ke satu tempat ke tempat lain untuk bisa mengembangkan usahanya. Alhasil, kekayaan memang memang mereka dapati.
Akan tetapi, godaan dan kesepian menghantui kedua pasangan itu.
Anita yang dibekali usaha kos-kosan dari Anto untuk penunjang keuangan serta kesibukan yang diminta Anita. Akhirnya Anto membangunkan beberapa kamar kosong di samping rumah mereka, dengan sekat kosan perempuan dan pria berbeda.
"Mas Anto mau ke mana lagi? Baru aja pulang udah pergi lagi," protes Anita seraya mengambil ujung selimut tebal, lalu diselipkan di ketiaknya.
Sedangkan Anto?
Pria itu terlihat sedang mengancingkan lagi kemejanya setelah tadi dilepas Anita karena kebutuhan birahi yang selama ini Anto jarang beri pada wanita tiga puluh tahun itu.
"Kerjalah, memang mau apa lagi? Kalau nggak kerja, kamu dan Gisel mau makan apa?"
Balasan Anto sungguh membuat hati Anita tersentak. Dari dulu, dirinya tidak pernah menuntut suaminya untuk bekerja hingga melupakan keluarga, tapi sejak lima tahun lalu hubungan keluarga di antara mereka sudah tidak sehat lagi.
"Kos-kosanku sudah mulai berkembang, usahamu juga ada karyawannya. Lalu apa lagi yang kamu cari Mas?"
"Kamu nggak kasihan sama Gisel?"
Anita mulai berkaca-kaca, jika mengingat putrinya yang masih kecil harus tumbuh dewasa dari umurnya. Karena pergaulan dan kurangnya kasih sayang dari Anto.
Anto berdiri, mengebas-ngebaskan kemeja biru tuanya. Semprotan parfum yang begitu banyak membuat Anita mengusap hidungnya yang perih karena wangi yang begitu memekakkan.
Inilah salah satu yang tak Anita sukai dari Anto. Sekarang pria tiga puluh tiga tahun itu lebih genit dan berlagak menjadi Abege muda dengan wangi parfum yang menyengat.
"Kenapa aku harus kasihan? Kalian berdua selalu kuberi uang setiap bulan. Aku bekerja untuk kalian, ini saja aku sudah telat."
Anto masih berdalih semua yang dia lakukan hanya demi Anita dan sang putri. Padahal, Anita tak pernah menyenggol seperak pun yang dikirimkan Anton di rekening tabungannya.
"Gara-gara aku? Aku ini istrimu, Mas. Aku berhak mendapatkan nafkah batin darimu. Tapi, kamu selalu saja beralasan lelahlah, inilah, itulah. Kamu sebenarnya ingat punya istri atau tidak?"
Anita berseru dengan nada menyindir. Jika dirinya tidak mengatakan ini pasti Anto selalu menganggapnya perempuan tegar yang tidak memerlukan jamahan dari suaminya.
Anita menghela napas dalam-dalam dengan tarikan selimut tebal yang semakin menguat. Mengingat pergulatan yang seharusnya panas dan pelepas dari rindu Anto padanya, tapi hanya bertahan beberapa menit saja.
Dirinya tersiksa, batin Anita ingin menjerit bahwa dirinya ingin dipuaskan seperti awal pernikahan dulu. Anto hanya memikirkan kesenangannya saja, setelah dia mengalami pelepasan, pria itu langsung bangkit dari tubuh Anita tanpa bertanya bagaimana perasaan Anita saat itu.
Bukan hanya satu kali ini saja. Tapi, sudah berkali-kalj terjadi.
"Berisik! Kau memang istri yang tak dapat diuntung!"
Suara dengan nada meninggi itu terdengar begitu menyayat hati ketika dibarengi dengan bantingan keras pintu kamar.
Anita menunduk, kedua tangannya memeluk kaki yang ditekuk. Punggungnya bergetar merasakan Anto yang telah berubah. Anita sudah mengajukan cerai dua tahun yang lalu.
Dua tahun lalu, lebih parah dari ini. Anita mempergoki Anto sedang berduaan di dalam sebuah mall di pusat kota, ditambah lagi berbulan-bulan Anto tak pulang. Hal tersebut membuat Anita tak betah, hatinya sudah teramat sakit.
Wajah malaikat suaminya di depan para tetangga membuat Anita muak, dengan berani Anita menyerahkan surat gugat di saat Anto dipaksa pulang oleh Anita.
"Sayang, aku tidak mau cerai denganmu. Ingat Gisel masih terlalu kecil, aku khilaf, aku tidak akan melakukan itu lagi."
Satu kalimat itu yang masih terngiang-ngiang di telinga Anita hingga saat ini. Anita pikir setelah dirinya memaafkan, Anto akan berubah. Tapi, apa? Anto semakin menjadi-jadi.
***
"Mbak Anita, belanja Bu?"
Pertanyaan itu menyambut kedatangan Anita dengan dompet yang selalu dibawa ke mana-mana.
Anita membalas dengan senyum simpul cantiknya. "Iya, Bu. Gisel lagi mau makan semur ayam, jadi saya mau masakan dan anak-anak kos kos juga."
Begitu saja tanggapan Anita. Anita terkenal sebagai istri pengusaha yang selalu tampil sederhana, dengan kaos dan rok yang selalu menjadi ciri khasnya. Namun begitu, Anita memiliki wajah yang ayu. Pantas saja jika dinikahi oleh pengusaha kaya, pikir seluruh orang.
"Tadi malam mas Anto pulang ya, Mbak? Tadi malam kayak disapa dari dalam mobil," sahut salah satu ibu-ibu yang berkumpul di gerobak penjual sayuran pagi.
Anita masih mengulas senyum, kemudian mengangguk mengiyakan.
"Tapi, mas Anto sudah berangkat lagi tadi pagi, Bu. Katanya ada pekerjaan," balas Anita kembali.
Ibu-ibu di sana ikut mengangguk-angguk paham mengenai pekerjaan dan kesibukan yang harus dijalani suami Anita. Tetapi, ada juga salah satu di antara mereka yang bermulut julid.
Mulut julid itu yang selalu saja membuat Anita berpikiran buruk pada Anto di luaran sana, selepas tubuhnya sudah sampai di rumah.
"Hati-hati Mbak Anita, laki-laki pengusaha itu nggak jauh dari cewek cantik. Bukan lakinya yang gatel, tapi ceweknya emang kegatelan. Apalagi kalau liat laki yang berduit, iya nggak Ibu-Ibu?"
Salah satu dari Ibu-Ibu itu menggerakkan kepala ke arah seluruh ibu komplek yang sedang berbelanja di sana untuk mendapatkan dukungan, dan hasilnya seluruh ibu-ibu di sana saling berbisik satu sama lain.
"Iya bener, katanya sih begitu."
"Harus bener-bener punya iman kuat, iya nggak?"
"Tapi, kalau suami Mbak Anita terlalu baik. Sayang banget sama keluarga, nggak mungkin begitu. Udah-idah ayo belanja lagi."
Anita tidak merespon tanggapan mereka. Kejadian seperti ini juga sudah berkali-kali terjadi. Tetapi, Anita hanya memberi tanggapan senyum. Karena memang apa yang mereka lihat jauh berbeda dengan sikap Anto yang ditunjukkan pagi ini.
"Mbak Anita, kos-kosannya udah tambah ramai ya?" Salah satu dari Ibu-Ibu itu kembali bersuara saat manik hitamnya tanpa sengaja melihat beberapa pemuda keluar masuk sebuah rumah berlantai dua itu.
"Alhamdulilah, Bu. Buat pemasukkan sehari-hari dan jajan Gisel," balas Anita sedikit tersipu.
Suara gelak tawa terdengar nyaring di antara mereka begitu juga dengan penjual sayuran yang ikut tertawa mendengar jawaban Anita.
"Suka becanda nih Mbak Anita. Orang suaminya tajir melintir, pasti uang sehari-hari lebih dong. Baru menikah 8 tahun, tapi udah sesukses ini."
Ada yang saling mencolek satu sama lain. "Lo nikah, tapi hidup masih gitu-gitu aja."
"Eh, sialan! Mulut Bu Jarwo nggak pernah disekolahkan ya! Suami gue kerja buruh bangunan, enggak nganggur kayak suami Bu Jarwo!"
"Apa lo bilang?!"
Keadaan menjadi kisruh ketika Bu Jarwo dan Bu Denia saling sindir satu sama lain, dan hal ini juga sudah biasa terjadi jika mengungkit kesempurnaan pernikahan Anita.
"Sudah-sudah, Bu … ya ampunn! Nggak perlu pakai sayuran saya segala dong!" protes penjual sayuran yang langsung mengusap kasar wajah keriputnya, raut kegusaran nampak jelas di wajah tua itu.
Bagaimana tidak, seluruh sayuran segar kini sudah rusak karena ulah Bu Jarwo dan Bu Denia.
"Mang ini jadi berapa?" tanya Anita menyerahkan beberapa sayuran dan daging yang telah dipilih.
Pria berumur lima puluh tahun lebih itu mengarahkan pandangan ke arah sayuran Anita, dan dengan cepat jumlah digulirkan dari mulutnya.
"Mang ini ya, lima puluh ribu. Kembalinya buat Mamang aja."
"Ibu-Ibu saya pamit dulu yaa, anak-anak kos belum pada makan soalnya!" Lanjut Anita seraya beranjak untuk meninggalkan kekisruhan di sana.
"Iya, Mbak Anitaa! Aku juga mau ikut pulang!"
Seluruh Ibu-Ibu ikut pulang dengan langkah tergesa meninggalkan Bu Jarwo dan Bu Denia. Mereka takut jika akan dihutangi oleh mereka karena beberapa sayuran yang rusak itu.
"Berhenti!"
"Sekarang siapa yang akan mengganti sayuran saya?"
***
Di tempat lain Anita sedang berjalan hampir mendekati rumah utamanya. Beberapa anak kos juga tidak sungkan memberi salam pagi kepada Anita mengingat keramahan perempuan tiga puluh tahun itu.
Akan tetapi, langkah Anita terhenti saat melihat seorang pemuda berdiri tepat di depan gerbang kos khusus pria dengan pandangan bingung.
Di tangannya terlihat selembar kertas yang sering dia lihat, lalu kembali mengarahkan pandangan pada sebuah papan yang sengaja Anita pasang.
"Mas? Nyari siapa?" tanya Anita bingung juga.
Pemuda itu menoleh ke arah pusat suara.
"Kos-kosan, Bu. Apa di sini masih menerima orang baru?"