"Baru masuk rumah? Habis ngapain aja kamu?"
Todongan pertanyaan itu menahan langkah Anita untuk terus menuju kamar mandi belakang. Ia meneguk kasar ludahnya. Berharap ekspresi wanita itu masih sama seperti ketika Anita baru saja keluar rumah.
"Makan, memang mau apa lagi? Pertanyaanmu kadang-kadang nggak masuk akal, Mas," jawab ketus wanita itu.
Anita kembali mengayun langkah, suara geraman kesal Anto begitu terdengar nyaring. Dan ia tak peduli, jika pun Anto tahu tentang hubungannya dengan Joko. Itu semakin bagus, bagus untuk membuatnya menjadi janda dan bebas menikmati kenikmatan yang tak pernah diberikan Anto padanya.
"Ma, aku belum selesai ngomong, main jalan aja!" teriak Anto seiring dengan tubuh Anita yang telah tenggelam di dalam dapur. "Dasar wanita sialan! Mimpi apa aku nikah denganmu."
Anita menyenderkan punggungnya lelah sembari memejam. Helaan napas terdengar kasar dapat ia dengar. Goresan ingatan tentang permainan Joko yang begitu hebat membuat tubuh Anita kembali bergetar.
"Aku memang sudah gila, bagaimana bisa aku menikmati perselingkuhan ini," gumam Anita merutuki dirinya sendiri. Tiba-tiba air matanya mengalir deras, tubuh ramping itu merosot terduduk di atas lantai dingin kamar mandi.
Menyesal? Mungkin hanya kata itu yang dapat mewakilkan segalanya. Janji, sumpah, dan kebahagian sang putri berada di ujung tanduk.
"Maafkan aku, Mas. Aku sangat mencintaimu, tapi aku tau juga selama ini kamu hanya memanfaatkanku untuk mendapatkan harta warisan papa."
"Padahal selama ini aku percaya jika kamu telah mencintaiku, ternyata kejadian ini terulang lagi. Kamu berselingkuh lebih lama dari yang kuduga ....."
Isak tangis Anita sudah tak bisa terhindarkan. Rasa sedih dan pilu yang mengguncang relung hatinya teramat menyakitkan. Ia menyesali apa yang telah ia lakukan dengan Tarno maupun perjanjian yang juga mengikat dirinya dan Joko.
Akan tetapi, di sisi lain jika mengingat bagaimana gilanya Anto bercinta dengan wanita lain di atas tempat tidur yang biasanya digunakan Anita dan Anto bercinta dengan hasil pelepasan yang terpaksa, kini ia melihat wanita itu dibuat kelimpungan menghadapi hasrat Anto.
Kenapa dengan Anita berbeda?
Apa Anto memang sebenci itu pada Anita?
Apa memang cinta itu tak pernah ada untuk dirinya? Ya Tuhan, kenapa bisa rumah tangga Anita serumit ini. Ia hanya ingin bahagia dengan putri tunggalnya, dan juga Anto. Namun perselingkuhan yang ia lihat dengan begitu terang-terangan membuat Anita dilema untuk mempertahankan atau justru memilih berpisah.
"Aku harus kuat, ini semua demi Gisel. Akan kubuat mas Anto menyesal telah menyia-nyiakanku dan Gisel."
Anita mulai bangkit, menegakan tubuh. Ia membersihkan tubuhnya yang terasa lengket karena cairan percintaan dirinya dan Joko tadi.
Setelah semuanya selesai. Anita kembali berjalan ke arah layar tivi yang masih menyala. Anita mengangkat pandangan, mengarahkan pada jam dinding besar.
"Kenapa Gisel belum tidur, Sayang?" tanya Anita bingung. Padahal bocah seumuran Gisel tak pernah ada yang tidur selarut ini, hingga menyentuh sepuluh malam.
"Mama ... Mama di sini ternyata," jawab gadis kecil itu sembari menoleh. "Gisel cuma mau nonton tivi, Ma."
Anita duduk di samping sang putri. Ia menoleh, menatap dari samping manik mata kecil yang cahaya memantulkan sinar tivi. "Katakan ada apa, kamu nggak biasanya bangun," tanggap Anita sekali lagi. Ia tahu jik Gissel sedang berbohong.
"Tadi, Gisel dengar papa telponan, panggil-panggil 'sayang' apa keluarga Ina bakal terjadi di keluarga kita, Ma?" lirih Gisel dengan kepala menunduk.
"Kapan papamu telponan?"
"Baru aja pas Gisel mau ikut tidur sama Mama karena mimpi buruk."
Anit menghela napas dalam. Inilah yang membuat alasan bertahan dengan Anto semakin kuat.
Ada Gisel. Gadis kecil itu adalah permata, sekaligus bom atum yang siap kapan saja bisa meledakkan Anita. Gisel merupakan kelemahan Anita, sehingga Anto dengan mudah membuat dirinya terjebak dengan kesengsaraan batin.
"Itu mungkin anak dari sahabatnya papa, Sayang. Dan keluarga kita baik-baik saja, kamu nggak perlu cemas."
"Sekarang Gisel peluk Mama sampai tidur, oke?"
Gisel mengangguk, lantas menjatuhkan kepalanya di pelukan Anita.
"Mama, Gisel nggak mau kayak Ina ...."
***
Anita menarik napas dalam-dalam lantas duduk di pinggiran ranjang, sedikit melirik ke arah tubuh Anto yang memiring membelakangi Anita.
Wanita itu masih memikirkan apa yang dikatakan Gisel terakhir kalinya sebelum gadis cantik itu terlelap tidur.
"Keluarga Ina akan menimpa keluargaku juga. Maafkan Mama, Gisel ...."
Anita menangkupkan wajahnya dengan kedua buku tangan. Tak ada rasa kantuk. Justru rasa cemas menyelimuti benak Anita. Keluarga Inna yang berakhir dengan berantakkan membuat Gisel tak ingin melihat kedua orang tuanya pun memiliki nasib yang sama.
Namun, kenyataan berkata lain.
"Cepetan tidur, ini udah malam. Apa kamu nggak ngantuk?" tanya Anto dengan terpejam. Suaranya pun samar terdengar karena tercampur dengan kantuk.
Anita melepas tangannya, lantas menoleh. "Ini udah mau tidur."
"Bagus, jangan buat aku marah," balas Anto kembali.
Anita terdiam, ia menaiki tempat tidur. Wanita itu sedikit jijik dengan kamar ini. Beruntung ia telah menyuruh tetangga yang selalu mencuci di rumahnya mengganti seluruh ornamen kain yang mungkin disentuh selingkuhan Anto.
"Aku sebenarnya nggak sudi tidur di sini," gumam lirih Anita sembari meneteskan air mata. Satu tangan terlipat, menjadi tumpuan kepala sedangkan satunya meremas sepray. Anita membelakangi Anto.
'Kenapa kamu tega sih, Mas? Apa kamu benar-benar tidak mencintai Gisel, dia darah dagingmu sendiri, tapi kamu justru menjadikan dia sebagai ancaman untukku. Ya Tuhan ...,' batin Anita.
Setelah kelelahan menangis. Akhirnya tanpa sadar Anita tertidur. Wanita itu sedikit menggerakkan badan karena ada sebuah tangan yang menompang pinggang rampingnya. Lantas satu hal lagi yang membuat tidur Anita benar-benar terganggu adalah suara ringisan seorang wanita.
"Eugh ... berat banget tangan mas Anto," cicit Anita sembari meletakkan kembali tangan lelaki itu di atas perutnya yang terbuka karena sebagian baju tidurnya tersingkap.
"Agh ... pelankan suaramu."
Tiba-tiba suara familiar itu terdengar kembali. Kedua mata Anita pun langsung terbuka setengah lebar untuk memastikan kembali pemilik suara tersebut.
"Siapa yang dibawa Joko malam-malam seperti ini?" Monolog Anita seraya melirik ke arah jam kecil yang tergeletak di atas nakas menunjukkan pukul satu malam.
"Apa dia membawa teman lain?"
Anita semakin dibuat penasaran. Ia pun menyingkirkan selimut, mulai menurunkan satu persatu kakinya. Anita menoleh pada Anto, mendengar suara dengkuran yang cukup keras membuat Anita kembali melanjutkan langkahnya.
Sudah aman.
"Anak itu bisa-bisa mengganggu anak kos yang lainnya. Aku harus menegur Joko, lampu kamarnya juga masih tera ... terang."
Kalimat Anita mendadak terjeda beberapa detik saat melihat dari celah jendela yang tak terhalang korden melihat pemandangan yang membuat darahnya berdesir hebat. Kedua matanya yang sempat mengantuk berat, sekarang terjaga dengan cepat.
"Sejak kapan Bu Broto ... astagaa! Aku nggak percaya." Anita menutup mulutnya ternganga dengan buku tangan.