"Kamu nggak bisa begini Mas. Apa salahku dan Gisel?"
"Diam kamu!"
Anita berlari mengejar Anto yang masuk ke dalam rumah. Sudah tiga hari suaminya tak pulang, kini justru membawa wanita lain ke dalam rumah mereka.
Apa sebenarnya maksud Anto, kenapa dia semakin tak waras.
"Kamu tunggu di luar dulu," kata Anto pada perempuan berbaju rapi itu.
"Tapi, Mas ...." Perempuan tersebut mengedarkan mata pada sekeliling. "Istrimu menakutkan. Aku ingin ikut denganmu saja."
Ck!
"Kau pikir dirimu siapa, hah? Beraninya kau mengatakan itu padaku. Dasar perempuan murahan!"
"Anita, jaga mulutmu!"
"Kenapa aku harus menjaga mulutku? Perempuan mana yang mau dibawa lelaki yang sudah bersuami ke dalam rumah istrinya, Mas?"
"Kecuali itu memang perempuan muarahan." Tambahnya sembari melirik sinis pada perempuan itu.
Anto tak memperdulikan apa yang dikatakan Anita. Ia justru melangkah sembari memeluk perempuan itu untuk masuk ke kamar mereka berdua.
Batin Anita menjerit. Bagaimana bisa Anto setega itu padanya setelah ia berpikir jika Anto memang sudah berubah dan pikiran buruknya selama ini hanya ketakutan semata.
"Papa mau ke mana, Ma?" tanya Gisel meremas daster yang dipakai Anita dengan kepala menengadah.
"Nggak ke mana-mana, Sayang. Kamu ke kamar dulu ya."
Gisel mengangguk, berlari ke arah kamarnya. Anita berbalik, mastikan putring memang sudah benar-benar pergi. Kini tangisnya kembali jatuh membasahi pipi.
"Aku nggak boleh membiarkan mas Anto pergi. Nggak boleh!"
Anita berlari tergesa menuju kamarnya. Kamar yang tak pernah ia izinkan siapa pun untuk masuk, meski Tarno berkali-kali memaksanya.
"Mas sepertinya aku suka dengan rumah ini. Apa aku boleh tinggal di sini?"
"Apa kamu mau tinggal di sini?"
"Boleh, Mas."
"Nggak boleh! Apa kata tetangga di sini kalau kamu ngizinin dia!" geram Anita.
"Masss ....." rengeknya menarik ujung kemeja Anto, merayu lelaki itu untuk menurut padanya.
"Ven, benar apa yang dikatakan Anita. Kau bisa tinggal di luar desa ini. Aku akan memberikanmu rumah. Jangan di sini."
Anita ternganga tak percaya mendengar kalimat terang-terangan Anto. Ia tidak tahu apa yang kurang darinya. Kenapa bisa Anto memilih perempuan yang jelas terlihat lebih tua dari Anita.
Anto benar-benar jahat, lelaki tak punya hati.
"Mas, ceraikan aku!"
"Aku tidak mau dimadu. Perbuatanmu ini sungguh menjijikkan."
PLAK!
Satu tamparan keras mengenai wajah Anita yang sudah menahan sakit hatinya.
"Kau ini selalu saja membuatku marah. Sampai kapan pun aku tidak akan menceraikanmu. Ingat itu!"
"Kenapa hah? Aku ini istrimu, aku juga butuh kamu. Tapi, kenapa malah kamu pulang bawa dia. Dan ini .... aku justru semakin ingin cerai denganmu."
Anita berlari dari kamarnya seraya memegang pipi merahnya yang terasa kebas. Ia tak peduli dengan kamarnya yang telah ditempati perempuan itu.
"Kenapa mas Anto membawa perempuan itu ke sini. Lalu bagaimana aku menjelaskan kepada Gisel jika dia lihat perempuan itu?"
Anita menangis sejadi-jadinya. Ia tak bisa lagi menahan perihnya luka tampar dan sakit hatinya. Setelah dulu, kini ia jelas mendapati Anto main gila depan matanya.
"Bu Anita, kenapa di sini sendirian?" Suara asing itu membuat kepala Anita terangkat. "Loh menangis, padahal aku ingin bayar uang kos yang kurang kemarin, Bu."
"Ma-Mas Joko ....."
Suara Anita tercekat. Ia merasa tak bisa lagi melanjutkan kalimatnya yang tersendat di tenggorokan. Apa yang ia takutkan kini terjadi, andai Anto bisa memuaskan dirinya dan setia. Anita pasti akan lebih mencintai lelaki itu.
"Kenapa Bu?"
"Suami saya .... membawa perempuan lain. Dan dia tidak mau menceraikan saya," jawab Anita dengan sesenggukan. Keadaan pelik yang harus dihadapi Anita.
Joko memandang penuh arti ke arah Anita. Garis sudut bibirnya terangkat. Ia mengulur tangan ke arah bahu bergetar Anita.
"Nggak masalah, Bu. Bu Anita tidak perlu bercerai, lanjutkan saja permainannya."
"Maksud kamu apa, Mas Joko? Maaf aku jadi curhat urusan rumah tangga seperti ini."
Joko menggeleng, menyentuh dagu Anita mengarahkan pada lelaki tampan itu. "Bu Anita bisa membalasnya, tentu bersama dengan saya."
"Hah, jangan bercanda. Ini nggak lucu Joko!"
Di tempat lain Anton baru saja mengakhiri aktivitas ranjangnya bersama dengan Venya., rekan kerja bisnisnya selama ini yang berakhir pada kehangatan dan pengkhianatan.
"Kamu masih sangat hebat, Mas. Kenapa kamu nggak muasin istrimu aja?" tanya Vennya sembari membelai dada kekar Anto.
"Kenapa tanya seperti itu. Bukannya kamu sudah tau?"
"Ayolah Vennya, kau lebih berpengalaman dari dia. Kau bisa membuatku kelimpungan, sementara Anita? Cih, tak ada yang spesial."
Vennya terbahak mendengar penjelasan Anto, meski sudah berulang kali kalimat memuji untuk dirinya tak pernah bosan ia dengar.
"Terus kenapa kamu malu kalau mau menikahiku? Aku 'kan nggak mau sampai nunggu aku hamil dulu."
Anto mendekatkan bibirnya di depan telinga perempuan itu sembari meniupkan udara panas yang membuat tubuh polos mereka kembali bereaksi.
"Sampai aku bisa mendapatkan harta warisanku. Setelah itu, aku akan mengabulkan permintaan Anita. Lalu menikahimu, Sayang. Sekarang kau bisa memberiku servis yang lebih hebat dari tadi," bisik Anto yang membuat tubuh Vennya bergerak dan duduk di pinggang kurus Anto.
"Aku memang sangat hebat melebihi istrimu."
****
Sementara itu Anita bergerak menjauh dari Joko. Ia tidak percaya dengan apa yang baru didengarnya. Lelaki yang baru saja menempati kamar kosnya beberapa hari itu justru menawarkan perjanjian gila padanya.
"Bu Anita jangan menganggap saya gila atau apa pun ... ini murni untuk membantu Bu Anita."
"Tapi, ini semua nggak benar Joko. Kamu itu anak kosku. Nggak mungkin kita melakukan itu," geram Anita dengan nada naik setengah oktaf.
Beruntung mereka berada di belakang bangunan kos yang memang selalu menjadi tempat ternyaman Anita itu menangis sekencang-kencangnya tanpa didengar orang lain. Termasuk Gisel.
"Saya beberapa hari lalu melihat Bu Anita bersama dengan seorang lelaki. Apa dia kerabat Bu Anita?"
"Tapi, kenapa—"
"Kamu melihat semuanya?"
"Melihat apa?" Joko kembali bertanya dengan raut wajah bingung.
Anita menghembuskan napas lega. "Nggak apa-apa, lupakan saja. Dan juga ... tawaranmu itu. Aku akan mengurus rumah tanggaku sendiri," kata Anita bangkit dari kursi besinya hendak melangkah meninggalkan Joko di sana.
"Apa yang membuat Bu Anita mendesah di luar halaman kos-kossan?"
Anita berbalik dengan kedua mata melebar, menatap Joko tanpa berkedip. "Aku hanya melihat lelaki itu berdiri di sana dengan Bu Anita. Lalu—"
"Hentikan, Joko! Kamu nggak tau apa-apa. Jadi lebih baik kamu keluar dari kos-kosanku!" usir Anita menunjuk tajam ke arah lelaki bertubuh kekar tersebut.
Joko tertawa sinis mendengar apa yang dikatakan Anita, ia membuang punggung di sandaran kursi panjang taman itu.
"Bu Anita, bisa kembalikan uangku tiga bulan ke depan? Aku akan segera pergi dari kos ini dan menutup mulut."
"Bagaimana Bu Anita?"