Chereads / Mas Joko Incaran / Chapter 4 - PENGANCAMAN

Chapter 4 - PENGANCAMAN

Dengan bodohnya Anita menyetujui ajakan gila Joko yang baru saja ia kenal. Tak hanya itu, Joko bahkan selalu memperhatikan ketika Anita keluar rumah. Seperti saat ini.

"Mbak Anita kedatangan tamu ya?"

"Tamu?" Ulang Anita dengan nada terkejut.

Bu Jarwo mengangguk sembari tersenyum cerah, sesekali membenarkan anak rambut yang berantakkan karena tersapu angin pagi.

"Iya, yang di rumah itu lho, kayaknya turun sama mas Anto. Benar nggak? Takut salah saja nih mata."

Penjelasan Bu Jarwo mendadak memunculkan ingatan perempuan simpanan sang suami masih berada di rumahnya. Mungkin sedang saling memeluk satu sama lain.

"Iya itu adik sepupu, Bu Jarwo. Biasa selalu nempel," kata Anita sembari mndekatkan tubuh ke arah perpuan separih Naya tersebut.

"Adik sepupu? Mbak Anita ngga salah lihat,jelas-jelas dia terlihat begitu tua. Mana mungkin—"

"Dia memang boros wajah, Bu. Sudahlah ayo beli sayuran," sahut cepat Anita dengan tangan yang sudah merangkul pundak Bu Jarwo untuk segera pergi dari halaman rumahnya.

Anita berjalan dengan beberapa ibu-ibu komplek yang bertemu di pertengahan jalan, dan akhirnya mereka memutuskan untuk berjalan ke arah tujuan yang sama 'abang tukang sayur'.

"Harga-harga sekarang sedang mahal. Sekarang aku mau makan tahu sama tempe aja, terus dicocok sama sambel terasi. Beh, mantab kali," ucap salah dari di antara mereka.

"Ck, itu sih namanya nabung buntung. Terus mau kau ke manain sisa uang Ibu?"

Dia menggaruk kepala dengan kedua rahang terangkat. "Kepo amat! Dah sono belanja, gak usah ngrusin dapur orang."

"Heleh, gitu aja marah."

Anita hanya menggeleng-geleng dengan senyum simpul bertengger di bibir kecilnya melihat kelakuhan Ibu-Ibu tersebut.

"Mang, kemarin aku pesen ayam dua ada?"

"Ada Bu Anita, bentar ya," jawab tukang sayur tersebut yang diangguki Anita begitu saja.

Tanpa sadar Joko lewat dengan tangan tubuh kekarnya dilapisi kain tipis hitam begitu menempel di tubuhnya. Seluruh mata Ibu-Ibu di sana terhipnotis dalam sekali pandang. Bahkan sayuran yang sempat diperebutkan telah terlepas dari tangan.

"Ganteng banget."

"Macho."

"Ya Tuhan dia senyum padaku!"

Seruan itu tak membuat Anita mengalihkan pandang pada sayuran yang tengah ia bongkar pasang, memilih memilah yang mengerut perempuan itu masih terlihat sangat segar.

"Selamat pagi," sapa Joko yang sontak membuat tubuh Anita terpaku di tempat. Ia reflek menggegam erat seikat sayuran hingga daun-daun itu rontok. Perempuan itu menoleh, dan mendadak kedua matanya terbuka lebar ketika melihat senyum tampan Joko diarahkan kepada Anita.

"Mbak Anita .... Mbak Anitaa!"

"Lelaki tampan itu tadi keluar dari kos Mba Anita, apa dia ngekos di sana?"

"Eh, iya Mbak Anita aku juga mau tanya itu. Kenapa nggak bilang-bilang sih?"

Bu Jarwo dan Bu Denia mendadak saling mengangguk setuju, dalam beberapa menit mereka melupakan pertengkaran di antara mereka berdua hanya karena penasaran dengan sosok tampan yang bisa ditaksir sangat muda untuk mereka.

"Pa-pagi ganteng!" teriak salah satu dari mereka tanpa tahu malu.

"Bu Anita kenapa kangkungnya diremes gitu? Haduh, bisa rugi aku," keluhnya yang juga membuat Anita melepaskan tangannya. Lantas segera menundukkan kepala, meminta maaf.

"Maaf, Mang. Masukin aja sekalian ke daftar belanjaanku," ucap Anita yang seketika mendapat senyum merekah dari lelaki itu.

"Untung-untung nggak jadi buntung. Untung Bu Anita yang ngerusakin, coba kalau Bu Jarwo sama Bu Denia pasti langsung kabur," cicitnya.

Anita hanya mengulas setengah senyum menanggapi perkataan Amang. Kini ia diam-diam melihat ke arah punggung kekar Joko yang terus saja bergerak seksi. Anita benar-benar tak menyangka kedatangan Joko yang hanya menghitung hari mampu menjungkir balikan kehidupannya.

Termasuk membuka secara terang tabir perselingkuhan Anton dengan perempuan yang justru di bawah dirinya.

"Mbak Anita kok diam aja sih?"

"Pria ganteng itu benar penghuni kos Mbak Anita?" Ulangnya sembari menyentuh bahu kecil Anita sedikit kasar. "Tapi, kenapa aku nggak.pernah lihat Mbak? Apa dia selalu pulang malam?"

Bu Jarwo masih saja penasaran. Hanya dengan menatap tubuh Joko begitu menggetarkan seluruh organ penting di tubuhnya. Wanita itu bertekad ingin mendapatkan Joko bagaimanapun caranya.

"Di-dia namanya Joko, Bu ...."

"Astaga, astaga! Ini Ibu-Ibu pada kepo. Nggak inget suami di rumah?" sahut Amang setelah meletakan plastik kresek belanjaan Anita.

Bu Jarwo hanya menarik sudut bibir menanggapi perkataan Amang dengan tatapan memicing.

"Terus Mbak, nggak usah pedulikan Amang. Dia pasti sirik," tanggap Daniah yang masih berharap informasi sang tampan ia dapati.

Anita masih mengulas senyum canggung, ia menggapai kantong kreseknya. "Bu Jarwo, Bu Daniah dan lainnya, sepertinya sudah terlalu siang. Gisel pasti sudah lapar. Saya permisi dulu, ya, Bu."

"Mbak Anitaa!" teriak Bu Jarwo tak terima. "Kan informasinya belum selesai!"

Bu Jarwo menghentakkan kaki kesal, ia menoleh ke arah Amang lantas mengarah tajam ke arah Daniah.

"Ugh, ngeselin!"

"Buu, belum bayar ayamnya!" teriak Amang saat punggung Bu Jarwo sudah berjalan cepat menjauh dari tempat itu.

"Ini semua karena Ibu-Ibu semua. Kalau kalian nggak heboh tentang penghuni kos Bu Anita yang baru, pasti trik Bu Jarwo ngutang nggak terjadi."

"Sekarang Ibu-Ibu harus ganti, aku rugi bandar ini," sambung dengkus Anang sembari membuang kasar topinya.

"Eeeh, kita mana tau. Itu Bu Daniah, kita mau cepet masak buat penyambutan mas Joko. Byeee! Itu suruh Bu Daniah bayar, jangan kasih kabur," ucap salah satu mereka yang pergi, meninggalkan Daniah di sana dengan mata membulat.

Amang audah menajamkan kedua alisnya menatap Daniah lekat. "Denger Bu Daniah?"

****

Anita menghempas kantong kreseknya di atas meja, ia menarik kursi lantas menjatuhkan tubuhnya di sana dengan lelah.

Seluruh permasalahan dalam hidupnya terasa begitu rumit. Anita masih memikirkan bagaimana jika ada yang tahu tentang masalah pelik yang ada di keluarganya dan juga perjanjian gila dirinya dan Joko.

"Seandainya aku nggak menerima uang kos itu, aku nggak akan—"

"Nggak akan apa?"

Suara dingin itu membuat kepala Anita terangkat, menatap penuh arti pada lelaki yang kini sedang menuangkan air dari botol dalam kulkas.

"Ada apa, kenapa kamu bicara sendiri?"

"Di mana simpananmu?"

"Hem ..." jawab Anto sembari menyesap minuman manisnya. "Dia harus ikut rapat, dan nggak mungkin juga tinggal lebih lama di sini. Kalau kamu mau aku madu, aku tak masalah. Tapi, jangan sesekali mulutmu berbicara pada papaku."

Anita tertawa masam.

"Tanpa aku mengatakan pasti mereka akan tau sendiri, kamu percaya atau nggak Mas?"

Anto meletakkan kasar gelas kosongnya, lantas membungkukkan tubuh, menoleh pada sang istri. "Aku tidak pernah percaya. Jika hal itu sampai terjadi, pasti keluar dari mulutmu."

"Dan jika hal itu terjadi, Gisel akan menanggung semuanya. Kamu paham, Anita?"

"Agh, beraninya kau Mas!"