Vando berdecih kesal. Kenangannya yang selalu berusaha ia pendam kembali hadir.
Vando melirik lukisannya yang ia gambar beberapa tahun lalu dengan sinis. Lukisan bunga Krisan berwarna kuning.
"Apakah anda tahu tuan, bunga Krisan berwarna kuning seperti yang anda lukis ini mempunyai makna kebahagiaan, dan menyebarkan keceriaan serta memberikan semangat positif kepada orang-orang terkasih. Tidakkah anda berpikir, bila demikian, maka krisan kuning merupakan bunga yang sangat cocok untuk Anda berikan kepada orang-orang yang terkasih."
Vando mengernyit ketika ucapan sang guru lukisnya kembali terngiang.
Vando berjalan kearah lukisan tersebut dan meraba permukaan kanvas tersebut dengan penuh perasaan. Ia menghela nafas pelan.
"Anda benar sensei, namun makna krisan kuning juga dapat berarti cinta yang bertepuk sebelah tangan. Hal penting itu mungkin luput dari ingatan Anda." Vando bermonolog.
Vando mengalihkan pandangannya ke sisi lain kamarnya. Menatap barang-barang yang tertata rapi memenuhi kamarnya. Serba abu-abu dan hitam. Iya, tak ada warna putih di kamarnya.
Selain cahaya lampu.
Sesuram itu perasaannya sekarang, sejak dulu hingga detik ini.
Dadanya terasa sesak, ia merasa kesulitan mengambil nafas. Pelan tapi perlahan, Vando menyandarkan tubuhnya ke dinding kamarnya yang dingin dengan nafas ngos-ngosan, tubuhnya merosot dengan pelan, hingga di celah pintu yang terbuka, sebuah mata yang berbinar kasih sayang membelalak kaget melihat kondisi Vando.
"Ada apa tuan? Apa ada yang sakit?" Seorang wanita paruh baya yang masih kelihatan cantik di usianya yang sudah tua itu mendekat, menerobos daun pintu.
"Ah! Tidak Aimee. Saya hanya mengingat sesuatu." Vando tercekat kemudian melanjutkan ucapannya dengan sehela nafas berat, "Yang sangat menjengkelkan."
"Maaf tuan, saya tidak bisa membantu banyak," sambut perempuan paruh baya itu menundukkan kepalanya dengan penuh pengabdian, membuat Vando tak kuasa menahan senyum.
Aimee, pembantu yang merawat ibunya sedari kecil dahulu.
"Aimee sudah bersedia merawat saya saja, sudah membuat saya bersyukur Aimee." Air mata Vando menggenang.
"Itu sudah jadi amanah saya tuan, saya tidak mungkin mengecewakan Nyonya Aceela di alam sana," balas Aimee cepat.
Dan Vando tak bisa membendung air matanya ketika Aimee menyebut nama itu, nama ibu kandungnya yang telah meninggal 3 tahun lalu, dengan kematian yang tak wajar.
Vando menggelengkan kepalanya keras berusaha mengusir ingatan yang berusaha menerobos hatinya.
***
Sore itu, beberapa tahun lalu Vando pulang dengan wajah sumringah, sore itu ia mengenal seorang gadis yang pada pandangan pertama berhasil membuatnya jatuh hati.
Ia keluar dari mobil mahalnya tanpa menunggu sang sopir membukakannya untuknya seperti sore-sore yang lain. Sang sopir heran melihatnya namun hanya geleng-geleng kepala ketika tuan mudanya menerobos pintu utama dengan wajah sumringah. Sedingin apapun aura tuan mudanya, secuek apapun tuan mudanya, ia tetaplah seorang anak kecil yang polos.
Vando mengedarkan pandangannya ke seisi rumahnya yang luas. Matanya berbinar mencari sosok sang ibu yang telah melahirkannya. Ia tak sabar untuk menceritakan apa yang barusan terjadi.
Yang ia dapati bukankah sang ibu yang diharapkannya, namun Aimee yang telah merawatnya hingga detik ini.
"Bunda mana Aimee?" tanya Vando yang saat itu masih berumur 14 tahun, ia mengguncang pundak Aimee yang menangis disudut ruang makan.
Sedangkan reaksi Aimee yang hanya menggeleng-gelengkan kepalanya, malah membuat Vando khawatir.
"Duduk dulu Aimee," tutur Vando sembari menggiring Aimee untuk duduk di sofa ruang tamu, setelah beberapa menit Aimee mencoba meredakan sisa-sisa tangisnya, dia mulai menceritakan kepada Vando apa yang terjadi pada sang ibunda.
"3 jam lalu saya menemukan Nyonya Aceela-" Aimee menelan ludahnya, merasa tak sanggup melanjutkan, tapi dengan sekali helaan nafas selanjutnya, Aimee mengatakan sepenggal kalimat yang cukup untuk membuat kehidupan Vando jungkir balik dalam sedetik.
"....meninggal gantung diri di gudang belakang."
Dan untuk pertama kali dalam perjalanan hidupnya dia menangis karena rasa yang sangat ia benci.
Rasa kehilangan.
"Aimee bohong kan?" ucap Vando, lalu terpatah berlari kearah belakang dimana tempat yang Aimee sebutkan tadi berada.
1 meter Vando lalui, Aimee meraih tubuh tuan mudanya dan memeluknya erat.
"Lepasin Aimee! Gue pengen ketemu bunda!" Vando membentak, meronta, merengek sekuat tenaga.
Suara sepatu terdengar lantang dipenjuru rumah. Vando membalikkan badannya kearah suara dan menatap si empunya sepatu dengan pandangan nyalang dan penuh kebencian.
"PUAS LO HAH?!" Vando menunjuk lelaki berumur yang menatapnya polos seolah tanpa dosa.
"Keep your ethics Vando." Lelaki itu tersenyum sinis menatap wajah pewaris tunggalnya yang pias.
"Lo yang harusnya jaga etika bangsat!" teriak Vando sekuat tenaga. Ia merangsek kearah lelaki itu.
Vando lebih dari tahu, setiap malam sang ayah tidak pernah tidur dirumah. Dan sang bunda selalu tidur sendiri. Vando tahu, ayahnya punya wanita lain di luaran sana. Menjadi sebab mereka selalu bertengkar dan menyebut-nyebut kata perceraian. Jika, sang bunda meninggal bunuh diri karena tertekan, sudah seharusnya ayahnya lah yang menjadi tersangka utama.
2 orang lelaki bertubuh kekar menahan tubuhnya dari 2 sisi. Membuat Vando tak mampu bergerak.
"Listen to me my ignorant son, the cause of your own mother's death is you. You're the one who caused him to not exist in this world anymore."
Vando melotot menatap lelaki itu, tapi yang ditatap mengangguk dengan wajah menyedihkan yang sebenarnya hanya sandiwara belaka.
Dalam sekali sentakan Vando terjatuh dengan lemas, Aimee buru-buru menarik tuan mudanya ke dalam pangkuan.
Pandangan Vando memburam, namun ia mencoba memfokuskan pandangannya pada sang ayah, yang rupanya masih menatapnya tajam.
Diambang batas kesadarannya, ia merasa tubuhnya terbang.
"Don't blame anyone when you know who is at fault here sir, you are the one who caused Mrs. Aceela to leave. You and the woman."
Setelah mendengar ucapan itu, gelap benar-benar melingkupi Vando. Baik pendengaran ataupun perasaannya.
***
"Tuan muda?"
Suara Aimee membuyarkan lamunan Vando.
"Ya?" Vando menelengkan kepalanya menatap Aimee penuh tanya.
Aimee sontak menggeleng kencang, lalu tersenyum canggung. "Maaf tuan, saya pikir anda perlu obat."
Vando tersenyum kecil, lalu mengangguk.
"Kau pengertian sekali Aimee. Bawakan aku obat dumolid," pinta Vando dengan nada tenang.
Tubuh Aimee menegang gugup, ia tak bodoh untuk tidak mengerti bahwa yang diinginkan tuan mudanya adalah obat tidur.
"A.. anda.. anda pasti bercanda," tolak Aimee dengan nada canggung. Ia tahu benar selama ini tuan mudanya tak pernah mengkonsumsi obat semacam itu.
"Saya butuh, bawakan apa yang saya sebutkan tadi ke perpustakaan," tegas Vando dengan bahasa baku, tanda bahwa ia tak mau membuang-buang waktu.
Tangan Aimee yang sempat terangkat kembali jatuh, menatap tuan mudanya penuh perasaan sedih. Tuan mudanya telah berubah, ia membenci semua wanita, dan semoga dirinya tak termasuk.
Aimee masih belum lupa, 2 tahun lalu tuan mudanya hampir memberhentikan seluruh pegawai dan pembantu perempuan di rumah ini. Tentu saja tindakan tersebut ditentang keras dengan tuannya yaitu ayah dari tuan mudanya yang hampir tidak pernah menginjak lantai rumahnya sendiri.
"Aimee? Kenapa masih diam?" Suara dari ambang pintu membuat Aimee berjingkat kaget.
"Baik.. baik tuan. Saya laksanakan segera," ujar Aimee dengan anggukan cepat dan berjalan secepat belut keluar dari kamar tuan mudanya.
Vando menatap Aimee dingin sampai objek pandangannya hilang di belokan lorong. Vando menghela nafas panjang, pikirannya hari ini tampak kacau dan sulit diatur.
Gawainya berdenting dengan suara yang khas, tanda sebuah email masuk.
Vando duduk di sofa panjang berwarna dark grey, mengambil benda pribadinya yang berbunyi dan membuka penyebab gawainya berbunyi.
Senyum lebarnya yang jarang muncul kini hadir.
Di ponselnya kini terpampang sebuah foto yang diambil dari sudut yang tak terlihat menampakkan seorang gadis berambut gelombang memetik gitar. Sedang beberapa gadis yang duduk di jarak yang tak terlalu jauh dari gadis itu menatap si gadis diam-diam dan penuh kekaguman.
Vando lanjut men scroll area bawah foto itu dan mendapati sebuah pesan yang membuat hatinya menghangat seketika.
Nathan Maldwyn: //kepada saya//
Masih normal, sering main gitar dan nulis puisi. Habis menang lomba nulis cerpen di sekolahan kemarin, jadi gue ditraktir makan-makan di restoran Perancis.
Vando mengangkat sebelah alisnya, hendak protes karena Nathan tidak mengabarinya lebih awal. Setidaknya ia bisa datang dan mengamati dari sudut ruangan. Tapi kemudian ia kembali sadar, janjinya yang harus dia tepati.
"Kamu punya masa depan yang sudah ditetapkan, tidak ada bantahan terhadap apa yang kuucapkan. Jangan pernah menghubungi gadis itu lagi. Kamu akan pergi ke Moskow besok. Siapkan paspormu."
Itu lah yang diucapkan sang ayah sehari setelah sang bunda meninggal. Vando yang merasa tak punya siapa-siapa, memilih patuh.
Tapi dihari itu juga, Vando tak lupa untuk mencari tahu, seluk beluk tentang gadis yang berhasil menarik hatinya dalam sekali pertemuan.
Vando kembali menaruh perhatiannya pada layar laptop yang dalam sedetik, menunjukkan sebuah video seorang gadis yang memanggul gitar dan tersenyum kearahnya, ralat kearah kamera.
Petikan lembut terdengar syahdu menghipnotis Vando untuk meletakkan kepalanya keatas meja. Vando tahu lagu ini, belakangan ini ia terlalu sering mendengarnya hingga bosan melanda. Namun berbeda dengan yang ia rasakan sekarang, suara gadis yang lembut merasuki pikirannya, menariknya ke alam bawah sadar.
Vando merasa harus banyak berterimakasih pada Nathan yang mengirim video Zeana. Kini ia merasa kantuk menariknya dengan lemah lembut.
Aimee, yang berada diambang pintu dengan nampan berisi air putih dan pesanan tuan mudanya terpaku. Sorot mata Aimee melembut ketika menatap layar laptop Vando.
Aimee hanya berharap, tuan mudanya mendapat kebahagiaan sebagai ganti dari luka yang selama ini ia pikul sendirian.