Zeana membuka matanya perlahan, sakit yang tadi ia rasakan di perutnya sudah lenyap. Zeana mensyukuri hal itu.
Matanya menyipit untuk melihat jam dinding, ketika ia menyerah, ia langsung menggapai ponselnya dan menyalakannya. Layar ponsel menunjukkan jam 02:33.
Ia melirik ke arah Irvi yang terbaring di sofa. Agaknya, kakak perempuannya itu memang sengaja tidur disana, lalu, di mana Nathan?
Zeana menajamkan pandangannya dan melirik seluruh penjuru kamarnya. Dan Zeana mendapati Nathan duduk di kursi meja belajarnya, tertidur dengan bantal leher motif kucing berwarna hitam miliknya melingkari leher Nathan.
Perlahan, Zeana menarik laci dibawah tempat tidurnya dan mengambil buku jurnal kesayangannya.
Zeana menarik nafas pelan, berusaha agar kegiatannya tak mengganggu istirahat kakak-kakaknya.
Akhir-akhir ini, Zeana merasa semakin kacau. Tapi, ketika melihat nama lelaki yang ia torehkan beberapa tahun silam selalu membuatnya agak tenang.
'Jovando Adalvino Taiso'
Zeana tersenyum tipis, sampai sekarang pun ia masih menyimpan rapat rasa itu. Rasa yang Zeana tak tahu apa namanya, namun erat kaitannya dengan hidupnya.
Zeana menatap ponselnya, ini kesekian kalinya ia mengetik nama 'Jovando Adalvino' dalam laman pencarian di sosmed. Namun hasilnya tetap saja seperti yang lalu-lalu. Ia masih belum bisa menemukannya.
Tanpa aba-aba, ia menangis tanpa suara. Zeana menghapus air matanya cepat, tapi air matanya kembali menetes, Zeana menghapusnya lagi.
Rindu itu kembali mencuat ke permukaan, rindu yang selalu ia rasakan ketika ia disergap rasa sepi, seperti saat ini. Aura hangat yang menguar, dipadu dengan raut dingin di wajah yang tampan, amat sangat sempurna di penilaian Zeana.
Ia rindu kehangatan berbalut riang yang ia rasakan di bawah hujan bersamanya. Ia.. ingin kembali ke masa-masa itu.
"Ze.. perutnya sakit?!" Irvi bersorak heboh ketika dalam keadaan setengah sadar menyadari Zeana menangis. Dan sorakan Irvi cukup untuk membuat Nathan terbangun dan berlari ke arah adiknya.
"Kenapa? Mana yang sakit?" Nathan menepuk pipi Zeana, menghapus air mata adiknya.
Zeana menggeleng, ia berusaha meredakan sesak yang mengisi rongga dadanya. 'Maaf Kak udah bikin lo khawatir,' bisik Zeana dalam hatinya.
Irvi yang cekatan langsung lari ke dapur dan mengambil sebaskom air hangat dan kain kompres.
Zeana menggeleng, ia tidak merasa sakit dalam perutnya. Ia tak mau merepotkan kakaknya.
"Want to tell a story?"
Nathan tersenyum kecil ketika menyadari bahwa rasa sakit Zeana bukan di perut. Nathan mengangguk ke arah Irvi, meminta adik pertamanya itu untuk keluar dan meninggalkan mereka berdua.
"Ada apa? Mimpi buruk?" Nathan mengelus kepala adiknya. Menatap wajah Zeana yang memerah menahan tangis.
Zeana menelan ludah, dengan gerakan senormal dan sealami mungkin, ia mundur dan menyandarkan tubuhnya ke kepala ranjang. Itu hanyalah kamuflase untuk menyembunyikan buku jurnalnya.
"Ga papa." Zeana menggeleng kecil.
Tangan Nathan yang memainkan rambut adiknya seketika terkepal, "Gue ga suka lo bohong kaya gini, Ze!" sahut Nathan menahan emosi. Ia tak suka seseorang membuatnya khawatir, terutama keluarganya sendiri.
"Leave me!" pinta Zeana setelah mengusap wajahnya kasar.
"Kagak, mau ngapain lo? Bunuh diri gara-gara depresot?" tampik Nathan dengan mata melotot.
Zeana menghela nafas kesal, "Kak! Lo tau sendiri gue lebih suka sendirian, jadi.. please deh! Dada gue sesak kalo terus-terusan lo recokin!" Zeana meremas piyama yang ia kenakan.
Nathan mundur perlahan setalah mendengus kesal, "Untung aja lo sakit! Gue maafin lo!" ketus Nathan lalu berjalan cepat keluar kamar.
Zeana mendengus.
Beberapa saat setelah memastikan Nathan dan Irvi sudah tak lagi disekitar kamarnya, Zeana membuka ponselnya, mencoba mengirim pesan pada salah satu orang yang kontaknya ia bintangi.
For Althea Aleda
Malem ini gue ngangis lagi, ga ada sebab, ga ada pemicu. Gue ini punya penyakit apa sih kak?
Dada Zeana berdebar, rasanya tak nyaman. Ia jadi berpikir sendiri, apakah debaran semacam ini juga dirasakan oleh orang yang jatuh cinta? Jika demikian, maka rasanya sungguh tak enak.
Zeana mengernyit.
From Althea Aleda
Apa kabar, Ze? Malam begini lo masih belum tidur, lo sakit?
Zeana tersenyum tipis, psikiater pribadinya ternyata masih terjaga hingga pagi ini.
For Althea Aleda
Perut gue habis kebentur ujung meja, udah reda kok sakitnya. Gue udah usir kakak² gue. Jadi gue baru hubungi lo.
From Althea Aleda
Lo sendiri udah sering cerita kalo lo ngalami hal itu. Hypophrenia. Itu nama gejalanya.
Zeana menelengkan kepalanya, merasa asing dengan gejala hypophrenia. Alis Zeana mengerut, berusaha mengingat jikalau kata itu pernah terlintas didalam hidupnya meski hanya sekali.
For Althea Aleda
Apa maksudnya hypophrenia?
From Althea Aleda
Gue sering dapat pasien yang ceritanya hampir mirip sama lo. Hypophrenia; kondisi ketika seseorang sering sedih atau menangis secara tiba-tiba tanpa alasan yang jelas.
Zeana mengangguk, sedikit faham dengan hypophrenia yang dikatakan Althea. Tapi, penyebabnya apa?
Zeana menghela nafas, mungkin ia mengganggu Althea dengan mengiriminya pesan di pagi buta begini. Ia memutuskan untuk bertanya pada Google saja.
For Althea Aleda
Gue ngantuk, tidur dulu ya. Maaf ganggu.
Zeana menghela nafas lagi, lalu membuka laman pencarian Google.
'Gangguan kecemasan. Perasaan cemas mendalam membuat si penderita hanya terfokus pada masalah yang dipikirkannya terus-menerus sampai tubuhmu lelah dan lemah. Di malam hari pun mereka kesulitan tidur dan beristirahat karena terus menangis.'
"Hah? Gangguan kecemasan?" Zeana menggeleng pelan, lalu melanjutkan membaca paragraf setelahnya.
'Kondisi depresi atau stres. Saat pikiran Anda dirundung banyak masalah sehingga menyebabkan stres, itu bisa jadi pemicu gejala hypophrenia dan membuat Anda tiba-tiba menangis.'
'Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD) merupakan kondisi mental saat Anda mengalami serangan panik yang dipicu trauma masa lalu. Biasanya lebih sering terjadi pada perempuan, mengingat perempuan jiwanya lebih sensitif dan emosional.'
"Apa ada hubungannya sama kejadian waktu gue kelas enam ya?" tanya Zeana dengan jantung berdegup.
'Organic Brain Syndrome (OBS), yaitu gangguan fisik yang menyebabkan penurunan fungsi mental seperti yang terjadi pada lansia
PMS atau menstruasi. Kondisi ini bisa menyebabkan tubuh terasa sakit khususnya di bagian perut dan pinggul, perubahan hormon seperti kram dan kembung, serta perubahan suasana hati (tiba-tiba menjadi sedih sekali).'
Zeana langsung meletakkan ponselnya seusai membaca artikel yang membuatnya semakin kepikiran. Nathan mengetuk pintu tiba-tiba, Zeana langsung menarik ponselnya dan meletakkannya dibawah bantal.
"Besok liburan yuk?" ajak Nathan.
Zeana mengernyit, "Kok mendadak?"
"Emang ga boleh? Buat nge-refresh pikiran sekalian!"
Zeana berpikir sejenak, lalu mengangguk.
"Kemana?"
"Maunya kemana?" tanya Nathan balik.
"Loh, mana gue tahu!"
Nathan terkekeh. "Biar Irvi yang ngurusi, lo tidur aja lagi. Masih sesak dadanya?"
Zeana menggeleng.
"Ya udah. Gue balik kekamar Irvi dulu."
"Okay!"
"Good night princess!"
Zeana menahan senyum, mengangguk dan mengibaskan tangannya, meminta Nathan untuk segera pergi.
***
Ryu menatap buku-buku yang berjajar pada rak dinding di kamarnya dengan tatapan gamang.
"Halo?! Lo masih di sana kan?!" teriak seseorang di seberang telepon.
Ryu mengedipkan matanya berkali-kali untuk sadar dari lamunan. Lalu menatap layar ponselnya malas.
"Iya!"
"Nah! Dengerin makanya! Sesekali nyaut gitu kalo gue panggil, biar gue tahu kalo lo ga tepar!" sorak lawan bicara Ryu.
Ryu mendengus, "Lo kali yang tepar! Minum berapa banyak lo?!"
Sosok di seberang sana terkekeh sebagai jawaban. Adalah Griffin, teman sekelas Zeana, yang juga sepupu jauh Ryu.
Ryu mendengus kesal, niat hati ingin mencari tahu siapa gadis yang Griffin lukai hingga membuat Griffin merasa sebersalah ini. Tapi nampaknya, Griffin tak bersedia menjawab karena ia mulai mabuk.
Ryu sendiri tidak pernah menyentuh minuman beralkohol itu, ia merasa belum cukup umur, meski orang tuanya sama sekali tak melarangnya.
Tut.
Ryu menatap layar ponselnya yang menunjukkan bahwa panggilan terputus, Ryu tersenyum sinis. "Katanya ga boleh di matiin, dasar gembul!" dumel Ryu.
Ia meletakkan ponselnya dan bangkit dari duduknya, berjalan ke arah balkon dan menikmati angin dingin yang berhembus pelan.
Berbagai macam pikiran bertebaran di benak Ryu, membuat waktu yang berjalan lambat, terasa cepat.
Iya. Ia sedang memikirkan gadis yang berhasil ia ajak menuju gereja. Ryu tersenyum sendiri mengingat hal itu.
Sudah tiga tahun sejak ia berhasil berkenalan resmi dengan putri bungsu keluarga Maldwyn, dan sudah enam tahun ia berhasil memendam perasaannya. Tapi, tahun ketiga ia mencintai gadis itu, sekaligus tahun pertama ia resmi berkenalan dengannya, Zeana menolaknya mentah-mentah. Bahkan sebelum ia mengungkapkan perasaannya.
Gadis itu terlalu perasa dan peka.