Zeana melirik langit yang menggelap dari jendela lebar dengan tirai tersingkap, sedang pikirannya tenggelam pada kata 'phoenix' yang disebutkan gadis tadi, apakah nama gadis itu benar-benar Phoenix? Jika benar iya, maka ia akan merasa bahwa gadis itu benar-benar spesial. Karena sebelum ini, ia tak pernah menemukan seseorang dengan nama sebagus itu.
Zeana bukannya tak tahu bahwa Phoenix itu adalah nama seekor hewan sejenis burung api legendaris yang keramat dalam mitologi Mesir. Burung api Phoenix digambarkan memiliki bulu yang sangat indah berwarna merah dan keemasan.
Burung Phoenix dikatakan dapat hidup selama 500 atau 1461 tahun. Setelah hidup selama itu, burung Phoenix membakar dirinya sendiri. Setelah itu, dari abunya, munculah burung Phoenix muda. Siklus hidup burung Phoenix seperti itu (renkarnasi), bangkit kembali setelah mati, lalu muncul sebagai sosok yang baru.
Burung Phoenix merupakan simbol dari keabadian, lambang dari siklus kehidupan setelah mati, dan simbol dari kebangkitan tubuh setelah mati. Burung Phoenix menjadi simbol suci pemujaan terhadap Dewa matahari di Heliopolis, Mesir. Burung Phoenix simbol dari Dewa Matahari, Ra.
"Ze? Kenapa? Kok lama banget di toilet?"
Zeana mengerjapkan matanya ketika sadar dia sudah berjalan dan berdiri di depan mejanya.
"Lo sehat kan Ze? Gue habis pesenin lo coklat anget, minum gih!" Nathan mendorong secangkir coklat dengan uap menguap kearahnya.
Zeana duduk dengan canggung, "Kita bakal balik ke hotel kan? Gue kedinginan," tutur Zeana kaku. Ia hanya merasa tidak nyaman, dan ia tak mau menetap di sini lebih lama.
Nathan mengangguk, "Habisin dulu minuman lo, tau lo mau camilan tambahan?" tawar Nathan.
Zeana menggeleng.
Irvi menatap Zeana yang diam saja, "Jadi, temen lo tadi kenapa telpon lo?" tanya Irvi penasaran.
Zeana mengangkat bahunya, "Ga jelas. Cuma nanya keadaan gue gimana, besok sekolah atau engga, perlu dikunjungi di mana. Dan gue jawab asal," terang Zeana.
Irvi terbahak, "Kenapa ga bilang kalo lo lagi liburan, Ze?"
Zeana merengut mendengarnya. "Males banget kalo harus ngabulin permintaan mereka yang minta oleh-oleh, padahal mereka bisa terbang ke sini sendiri," gerutu Zeana.
"Kita ga kekurangan uang, Ze," sahut Nathan.
Zeana menggeleng pelan, "Gue lagi males aja, Kak. Males bawa, males belanja, males dengerin, males nyatet kalo seumpama list barang mereka banyak, males baca chatnya kalo seumpama mereka ngirim list lewat chat-"
"Intinya, lagi males berbaik hati," potong Irvi.
Zeana mengedipkan matanya, membenarkan apa yang kakak perempuannya katakan. Ia hanya ingin lepas dari mereka.
***
Vando tersenyum kecil ketika mendapati nama sebuah cafe yang tadi disebutkan Nathan dalam pesan. Nathan bilang ia sedang mengisi perut keroncongannya di cafe dalam bandara. Dan Vando, tak berkeberatan turun dari menara Eiffel hanya untuk bisa melihat wujud Zeana dari dekat.
Vando masuk ke cafe tersebut dan berjalan mengambil sudut dimana ia bisa mengambil pandang sebanyak mungkin dari tempat duduknya ke tempat Zeana duduk.
Vando memesan kopi susu hangat, sengaja untuk menghangatkan tubuhnya. Ketika mengamati bahwa Zeana tak sedang duduk bersama Nathan, Vando berpikir kalau Zeana mungkin di kamar mandi. Maka ia meletakkan seluruh atensinya ke pintu toilet perempuan.
Seorang gadis cantik dengan mantel tebal menabrak seorang gadis yang lebih mungil darinya. Vando menyipitkan matanya, ia merasa kenal dengan gadis yang ditabrak tersebut.
Gadis yang menabrak memberikan tangannya, tapi si gadis yang masih terduduk di lantai menolak mentah-mentah. Vando tetap mengamati setiap pergerakan kecil mereka, hingga sadar bahwa gadis kecil tersebut tak berhenti menatap wajah cantik yang pemiliknya berusaha menolongnya tadi.
"Quel est ton nom?"¹
Vando memasang telinga baik-baik, ketika gadis yang ditanya tadi menyibakkan poni yang menutupi matanya, ia sendiri yang justru kaget. Gadis itu adalah Zeana.
"Je m'appelle Zea," ucap Zeana. Vando tak dapat menahan sebersit keinginannya untuk tidak tersenyum.
"Je m'appelle Phoenix, souviens-toi de ça."
Vando mengernyit aneh ketika mendengar perkenalan diri gadis itu. Phoenix? Ada ya nama anak yang seaneh itu?
Tepat ketika pintu cafe tertutup sempurna, ingatan segar Vando kembali. Phoenix adalah gadis yang mendatanginya saat di Eiffel tadi.
Vando berlari menyusul gadis itu, meninggalkan kopinya, meninggalkan niatnya untuk memandangi Zeana.
***
Zeana duduk bersila di balkon kamar hotelnya, angin malam berhembus sepoi, menghantar hawa dingin menyerap ke kulit putih Zeana.
"Lo bisa masuk angin, woy!" sorak Irvi yang sedari tadi mengamati apa yang Zeana lakukan.
"Bentar doang, ya elah.. ga bakalan bikin gue sakit juga," balas Zeana, menengadahkan kepalanya ke arah langit, menatap taburan bintang yang bersinar.
"Puas-puasin liatnya, di Indonesia jarang ada langit sejernih ini," celetuk Nathan yang entah sejak kapan ada di kamar mereka.
"Iya, pastinya. Tapi liburan masih lama kok, andai aja ga musim dingin, gue pengen ke Hawai aja.."
"Ngapain lo kesana?" Alis Irvi menyatu mendengar ucapan Zeana.
"Bantuin kak Nathan nangkep ikan seger," sindir Zeana.
Nathan mendelik, "Omongan lo, Ze!"
Zeana berdecak, ia memasang wajah polos, Lah emang salah? Di pantai ga ada ikan memang? Kalo ga ada ya udah, ke danau aja!"
"Danau vulkanik?" celetuk Nathan jengkel.
Zeana mengangkat bahunya, membiarkan Nathan berbuat yang ia sukai, bahkan ketika Nathan berjalan ke arah balkon, duduk di sampingnya.
"Ze," panggil Nathan dengan suara lirih.
"Ngapain lo bisik-bisik, anjir?! Telinga gue geli!" sorak Zeana.
"Ck, diem dulu dah! Gue mau ngomong penting nih!" tegur Nathan.
"Ya, silahkan! Gue mah kagak ngelarang, asal lo jangan nanya-nanya privasi gue!"
Nathan menghela nafas, "Segala privasi! Gue tahu seluruh rahasia lo!"
"Ngomong doang gede!" ledek Zeana malas.
"Gue tinggal tidur dulu boleh ga?" celetuk Irvi tiba-tiba.
Nathan dan Zeana sontak menatap ke arah Irvi dengan pandangan aneh, "Lo tidur jam segini?" tanya Nathan heran.
Irvi mengangguk, "Gue ngantuk, Kak. Jadi jangan ghosting gue, oke?"
Zeana dan Nathan saling bertatapan untuk beberapa saat, lalu tersenyum kecil.
"Gue boleh tidur di paha lo ga?" tanya Zeana.
Nathan tersenyum kecil, "Kenapa? Mau nostalgia?"
Zeana terbahak, lalu langsung membanting kepalanya ke paha Nathan dan menatap wajah Nathan dari bawah.
"Ga kedinginan kan?" tanya Nathan.
Zeana menggeleng, "Orang ganteng emang beda ya, dilihat dari bawah pun tetep ganteng."
Nathan tersenyum kecil, "Lo juga cantik kok, lo nya aja yang ga pernah suka ngaca. Cewek modelan apa lo?"
Zeana tersenyum kecil, mengabaikan ucapan Nathan.
"Lo selama ini baik-baik aja kan Ze?" tanya Nathan.
Zeana mengerutkan keningnya, "Sepenglihatan lo aja gimana, Kak? Gue baik kok.."
Nathan menggeleng, "Gue sibuk kerja, lo sibuk sekolah, kita ga bisa kaya dulu lagi," lirih Nathan.
Zeana tersenyum mendengarnya, "Tapi gue tetep adek lo! Kita masih bisa ketemu waktu sarapan, waktu belajar malam, kita masih bisa ngobrol di hari libur. Dan kalo lo senggang kek gini, kita juga bisa liburan kan?"
Nathan tersenyum kecil, "Tapi sekolah lo terganggu, Ze!"
Zeana menggeleng, "Gue bisa kejar, Kak. Itu mah gampang aja sebenernya, gue bisa ngelakuin semuanya."
Nathan mengelus kepala adiknya, "Iya, karena lo adek gue, jangan bikin gue jengkel, ya?"
Zeana mendengus ketika mendengarnya, "Oh, sorry ya Kak, kalo yang itu gue ga bisa janji."
¹ Siapa namamu?
² Namaku Zea
³ namaku Phoenix, ingat itu.