Nathan mengangguk setuju, "Kalo butuh sesuatu, ngomong langsung aja, kita ini rumah!"
"Rumah?" tanya Irvi mengulang ucapan Nathan.
Nathan tersenyum kecil, "Iya. Definisi rumah menurut eyang google adalah tempat kembali setelah seharian letih beraktivitas. Rumah adalah tempat istirahat yang nyaman. Sebuah tempat nyaman untuk berkumpul bersama keluarga. Yah.. kita emang keluarga sih, tapi kalo gue ngomong kita adalah rumah bagi satu sama lain, kan ga salah?" cerocos Nathan.
Irvi mengangguk, "Maunya rumah yang kaya gimana nih?"
"Yang kaya gimana, Ze?" Nathan malah menanyakannya pada Zeana.
Zeana menelan ludah, kali ini seolah takut salah menjawab, "Gue.. pengen jadi rumah yang ga gede-gede amat, tapi diisi penuh sama kebahagiaan. Pokoknya beda sama rumah kita yang gede dan megah tapi kosong. Gue ga pengen jadi rumah yang kaya gitu," tutur Zeana sembari menggeleng pelan di ujung kalimatnya.
Irvi dan Nathan diam-diam saling mencuri pandang, hati mereka teriris ketika mendengar fakta rasa yang juga mereka rasakan dijabarkan oleh adik bungsu mereka sendiri.
"Buat lo, gimana sih rumah yang lo pengenin selama ini?" tanya Irvi.
Darah mengalir cepat di wajah Zeana ketika mengingat apa yang ia bayangkan tadi. Zeana menggelengkan kepalanya, berusaha mengusir pikiran itu dari otaknya.
"Kenapa lo? Bayangin yang enggak-enggak ya?" tebak Nathan menggoda.
Zeana menggembungkan pipinya, melotot menatap Nathan, "Yang gue pikirin itu rumah yang selamanya ga bakal gue punyai!"
Irvi mengangkat alisnya, "Gimana kriteria rumahnya? Kali aja nemu, terus bisa gue beli!"
Zeana tersenyum kecil, tatap matanya menyapu langit malam yang begitu tinggi untuk diraih. Bintang yang tadinya bersinar begitu terang, kini meredup dengan langit yang semakin kelam, alih-alih bersinar diantara kegelapan yang semakin menebal.
Cahaya bulan yang mengintip diantara gundukan awan tampak sangat cantik dan megah. Pikiran Zeana tak bisa berhenti hanya sampai disitu, pikirannya melayang ketika dia kecil. Dimana ketika ia berjalan, ia merasa bulan selalu mengikutinya.
Zeana merasa bahagia ketika terus mengamati bulan tersebut, ia merasa jiwa Zeana kecil kembali hadir dalam tubuhnya, Zeana kecil merasa bahagia dan diinginkan. Zeana kecil menganggap bulan yang dicintai banyak orang itu memilihnya menjadi sahabat, detik itu pula Zeana merasa dirinya tak lagi kesepian.
"Rumah yang gue inginkan kecil, mungkin cuma berukuran lima meter kali enam meter. Cuma ada satu kamar tidur, satu kamar mandi, satu ruang tamu dan dapur, lantainya dari kayu, cat temboknya berwarna abu-abu. Ada beberapa kaktus di kusen jendela, lampu tidur warana coklat susu, dan ada beberapa batang lilin hitam. Terus-"
"Bangun sendiri aja," sela Irvi diikuti tawa menggelegarnya.
Nathan memukul ringan lengan Irvi, lalu melayangkan tatapan penuh peringatan kepadanya. "Lanjut Ze, kali aja gue bisa nemuin yang kaya gitu."
Zeana tersenyum kecil, "Ah, Kak Nathan emang yang paling pengertian, beda banget sama yang di sampingnya," ledek Zeana tanpa repot menyembunyikan tatapan mengejeknya pada Irvi.
Irvi berdeham, "Pura-pura kagak denger aja deh gue!"
Zeana membenarkan letak poninya dan tersenyum sinis, "Gitu lebih baik. Ini, kriteria rumah impian gue masih dilanjut ga?" tanya Zeana pada Nathan.
Nathan mengangguk.
Sembari melanjutkan perjalanan, Zeana menghela nafas, Gue.. pengen banget punya kamar yang ada jendela kecilnya, waktu jendelanya dibuka, langsung madep ke taman kecil yang ditumbuhi bunga matahari, sama kolam ikan koi-"
"Lo di rumah buka jendela langsung ada kolam renang kan? Lebih bagus dan jernih ketimbang kolam ikan koi yang di mata gue airnya butek dan lumutan," sela Irvi heran.
Zeana menghembuskan nafas kasar, berusaha menghilangkan kekesalannya karena kakak perempuannya itu hobi sekali menyela ucapannya.
"Iya sih, tapi vibes-nya tuh beda!"
"Dengerin noh!" Nathan menjitak kepala Irvi.
Irvi memejamkan matanya, "Oke Ze, kriteria dapur? Kamar mandinya sekalian, nanti gue bangun khusus biar lo!"
Zeana nyengir, "Boleh banget! Gratis yah!"
Natahn terbahak, "Berani tinggal sendiri?"
Zeana mengangguk kuat, "Gue pengennya di samping atau di depan atau di belakangnya juga boleh ada danau gitu, jadi pengennya sih rumah pinggir hutan, punya peliharaan singa atau malah serigala, tiap hari bisa muter-muter di padang rumput, metik bunga lavender, renang di danau.. aw! Indah sekali keinginan ini!" rengek Zeana.
Nathan mengacak rambut Zeana, "Bikin yuk di pulau pribadi!"
Irvi mendelik, "Seriusan lo, Kak? Gue juga mau kali!"
"Ayok! Kita bikin dunia dongeng versi kita sendiri!" seru Zeana.
Zeana berlari mendahului mereka dan berputar-putar di depan kedua kakaknya. Angin malam menerbangkan rambutnya yang tadi di pilin Nathan.
Nathan dan Irvi kembali berpandangan, lalu tertawa berbarengan. Zeana di mata mereka adalah anak kecil yang gemar berkhayal saat ini.
Dan Zeana, merasa sangat ringan ketika menumpahkan uneg-unegnya tentang keinginannya memiliki rumah sendiri.
Ketika ia kecil dulu ia memang punya rumah kecil yang dibuat dari kayu sederhana, hanya berukuran dua meter kali tiga meter. Di dalamnya ada ranjang dan beberapa mainan, tak lupa rak buku yang mengangkut beberapa novel populer kelas dunia. Ketika Zeana marah, ia akan menginap di rumah mininya.
Namun, rumah itu sudah dirobohkan oleh ayahnya, Evan Alexo Maldwyn yang kalap ketika Zeana lebih memilih tinggal selamanya di rumah mini tersebut daripada tinggal di rumah.
Anak kecil memang jujur dan blak-blakan, Zeana mengatakan yang sejujurnya. Rumah megah yang kosong tersebut, punya atmosfer yang amat menekannya dan membuatnya merasa tidak bebas, tapi ketika sang ayah mendengar alasannya, sang ayah hanya membuang ludah. Ia tak mau mendengar lebih banyak alasan Zeana kecil, dan langsung merobohkan rumah tersebut.
Nathan yang menghadiahinya, ketika ia meminta ruang pribadi dalam rumah tersebut, Nathan yang juga masih anak-anak berpikir, alangkah menyenangkannya jika Zeana punya tempat di mana ia bisa menumpahkan seluruh keluh kesahnya sendiri.
Dengan uang tabungan Nathan yang selalu berlebih, Nathan memanggil tukang kayu yang kenal dekat dengan keluarganya. Tanpa basa-basi memintanya membangunkan rumah mini yang kuat dan cantik untuk princess-nya, Zeana Arvarenzya.
Hanya butuh tiga hari untuk menjadikannya rumah mini yang utuh, kecil namun hangat. Itulah yang pernah Nathan katakan, dan Zeana memilih percaya sepenuhnya pada Nathan.
Mereka meminta pembantu mereka untuk pergi ke pasar dan toko mebel, membeli ranjang dan pernak-pernik khas tempat tidur seorang gadis, dan mereka mendapatkannya.
Sebelum Nathan pergi ke asrama, Zeana berjanji pada Nathan tidak akan membiarkan rumah mininya kotor dan berantakan
Nathan mendoakan Zeana berhasil mewujudkan janjinya. Iya, Zeana berhasil, karena Zeana tak berjanji bahwa ia tak akan menjadi sebab rumah tersebut rusak dan hancur.
Nathan sampai kabur dari asrama ketika mendapat kabar dari Irvi bahwa Zeana mogok makan dan terus-menerus menangis karena rumah mininya dihancurkan oleh sang ayah.
"Oh ya kak, gue pengen punya rumah pohon!" celetuk Irvi membuat bayang-bayang Nathan memudar.
Nathan mendengus, "Lo udah gede!"
Irvi langsung mencak-mencak meski ia di tengah jalan, "Emang pengen rumah pohon harus banget mandAng usia ya?!" rajuk Irvi.
Nathan mengangguk tanpa memikirkan perasaan Irvi, "Rata-rata orang yang pengen punya rumah pohon sih, anak kecil yang masih ingusan!"
"Lo nyindir gue ya?!" bentak Irvi tak terima.
Nathan tersenyum smirk, "Lo-nya peka banget sih, kan gue ga perlu repot-repot nyindir lagi. Merci beaucoup!¹"
Irvi memasang earphone-nya dan menegakkan tubuhnya, "Gue lupa kalo gue juga sultan, gue bisa kali beli sendiri!"
Nathan mengangkat sebelah alisnya, "Astajim! Gue lupa kalo ATM lo masih gue pegang data-datanya! Gue blokir mau?" ancam Nathan dengan nada manis.
Irvi mengangkat dagunya dan mendelik ke arah kakak laki-lakinya, "Tega lo, Kak!"
Nathan mengangkat bahunya malas, "Lo udah tahu, dan itu artinya gue ga perlu repot-repot jelasin lagi!"
Irvi langsung meraih pundak Nathan dan bergelantungan, Nathan yang langsung siaga menarik paha Irvi dan menggendongnya.
"Suka banget bertingkah kek anak kecil," sindir Zeana.
Irvi tersenyum congkak dan mengarahkan tangannya ke arah lehernya, "Iri? Bilang sayang!"
Zeana tersenyum kecil, lalu menghampiri salah seorang turis laki-laki yang berjalan sendirian di trotoar.
Dengan rasa sungkan, Zeana menepuk lengan pemuda itu dan menyodorkan ponselnya.
"Puis-je vous demander de prendre une photo ensemble ?²"
Nathan dan Irvi diam saja ketika melihat tingkah laku Zeana yang aneh. Pemuda itu tersenyum, menatap Zeana lekat.
"Oui, je me sens flatté quand une belle fille comme toi demande une photo avec moi,"³ tutur pemuda itu membuat Zeana tersenyum kecil.
Setelah mengambil foto, pemuda itu menyerahkan ponsel Zeana.
"Thanks!"
"You're Wellcome!" Pemuda itu melambaikan tangannya ketika Zeana pamit undur diri.
Zeana mengangkat ponselnya dan mengarahkannya ke arah Nathan.
"Kenapa Ze?" Nathan bingung.
Zeana tersenyum kecil, dan menunjukkan fotonya.
¹ terimakasih banyak ya!
² Bolehkah aku memintamu untuk berfoto bersama?
³ Boleh, aku merasa tersanjung ketika gadis yang cantik seperti mu meminta foto bersama ku