Vando mengambil sebuah buku cerita kuno tentang penyihir bunga. Buku yang kini dipegangnya dengan lembut itu adalah buku langka yang sudah tak diproduksi lagi sejak dua windu silam.
Vando tahu sedikit tentang buku ini, ibunya pernah bercerita tentang penyihir bunga ini. Penyihir bunga bukan orang sembarangan, ia yang menyuburkan seluruh bunga di dunia penyihir, dan penyihir ini hanya ada satu disetiap abad, ketika mati, akan lahir bayi penyihir lain yang punya takdir emas menjadi penyihir bunga.
Penyihir bunga selalu terlahir dari keluarga bangsawan atau keluarga penyihir peramal. Nasab keluarganya selalu baik dan terhormat. Namun, abad ini, penyihir bunga itu lahir dari rahim penyihir yang tinggal di samping hutan. Leluhur penyihir itu melakukan pemberontakan pada sang raja dan menyebabkan seluruh keturunannya diasingkan di sana.
Amaranth, nama gadis itu. Diabaikan dan tidak mendapatkan secuil kepercayaan pun dari seluruh klan. Namun, gadis itu tetap melakukan pekerjaannya dengan baik, mengusahakan bunga yang tumbuh di lingkungan istana akan terawat baik dan menyebarkan bau yang wangi.
"Wuoh! Kau juga menyukai cerita itu nak?" Pria tua itu meletakkan nampan yang ia bawa dan duduk di kursi. Ia menatap Vando dengan binar hangat seolah Vando adalah anaknya.
Vando terhentak kaget, lalu menoleh kepada pria tersebut dan ikut duduk bersamanya.
"Ibu ku pernah menceritakannya dulu, ketika aku kecil," ungkap Vando, rasa rindunya tumbuh semakin mengakar.
Pria tua itu tersenyum, "Namaku Edward, siapa namamu, Nak?"
Vando menunduk, mengingat bayangan sang ibunda ketika menatapnya penuh dengan kelembutan, sama seperti Edward memandangnya saat ini.
"Namaku Jovan."
Iya, sang Ibunda memang memanggil Jovan kepadanya, dan ketika Vando menatap pantulan dirinya di mata jernih Edward, Vando ingin Edward memanggilnya Jovan. Sebagaimana ibundanya memanggilnya demikian.
Pria rua itu memasang kacamatanya dan menatap Vando seksama, "Melihatmu lebih jelas seperti ini, terasa sama seperti aku memandang anakku," lirih Edward.
Kacamata Edward berembun, Edward segera menghapus air matanya yang menggenang di sudut matanya, lalu mengusap kacamatanya.
"Di mana anakmu sekarang?" Begitulah Vando memutuskan bertanya.
Edward tersenyum sedih, "Dia sudah pergi."
Vando termangu sejenak, "Ah, maaf. Aku tak bermaksud membuatmu mengingat hal itu, Pak," mohon Vando.
Edward menggeleng, "Tak masalah, Nak, aku hanya terlalu merindukannya," ujar Edward menggeleng cepat dan mengibaskan tangannya santai
Vando mengangguk pelan, ia menyesap tehnya yang terasa agak kemanisan, "Terkadang ada beberapa hal yang memang harus pergi untuk membuat kita lebih kuat menerima beberapa kehilangan setelahnya," gumam Vando dengan tatapan mendalam.
Edward menatap Vando sendu, sesaat setelah Vando mengatakannya.
"Aku pikir umurmu kurang dari dua puluh tahun, Nak, tapi mungkin kau sudah berumur seperempat abad? Kau awet muda!" sanjung Edward sembari mengamati penampilan Vando.
Vando terdiam sejenak, berusaha mencerna maksud ucapan Edward. Setelah menyadari maksudnya, Vando tak dapat menahan tawanya, "Oh, itu.. aku masih berumur tujuh belas tahun," sahut Vando.
Edward membulatkan matanya ketika mendengarnya, "Really? Ucapannya barusan tak tampak seperti anak muda," tutur Edward kaget.
Vando tersenyum kecil.
"Aku belajar banyak ketika aku masih berusia muda, dan teori perasaan semacam itu aku mengetahuinya."
Edward bertepuk tangan bangga, "Senang sekali Tuhan menakdirkan dirimu datang padaku malam ini, Nak! Kau begitu berbeda dari anak muda kebanyakan, apa kau punya kekasih?"
Vando menggelengkan kepalanya.
"Eh? Kalau begitu, mantan kekasih?" tanya Edward lagi.
Vando mengangguk ragu, menatap Edward dengan sorot mata yang tak bisa diartikan.
Edward mengernyit, "Ah, mungkin kau tak mau mengingatnya, aku tak akan memintamu menceritakannya," gagap Edward.
Vando tersenyum tipis, "Terima kasih."
"Kau.. punya seseorang yang kau cintai kan?" tanya Edward setelah sunyi menguasai mereka beberapa detik.
Vando cepat-cepat mengangguk.
Edward terkekeh, "Apa dia cinta pertamamu? Hingga kau tak mau menjadikan gadis-gadis cantik sebagai kekasih yang sebenarnya?" Edward bertanya heran.
Vando menatap Edward tak mengerti, "Pak? Bukankah aku sudah bilang padamu bahwa aku punya seorang mantan kekasih kan?" tanya Vando bingung.
Edward tertawa renyah. "Ayolah, Nak! Dari tatapanmu yang tak biasa ketika kau mengakuinya tadi, sudah menampakkan jelas bahwa kau tak punya," tutur Edward dengan mengangkat bahunya. "Atau, ada tapi dia sama sekali tak pernah menjadi bagian penting bagimu," imbuh Edward.
Vando menghela nafas, ia melepaskan genggaman tangannya pada cangkir teh yang berhasil menghangatkan telapak tangannya, "Cinta pertamaku adalah ibuku yang telah meninggal, sedang gadis itu, adalah gadis pertama yang aku cintai setelah ibuku," aku Vando.
Edward mengangguk mengerti, "Orang yang kau cintai sekarang kan? Aku faham itu. Di mana dia sekarang?"
Vando tersenyum dengan wajah bersemu, "Hari ini dan untuk beberapa hari kedepan ia akan ada di kota ini untuk berlibur."
Edward bangkit, mengambil sebuah bunga dari jajaran rak yang nampak usang namun antik. Edward kembali dan membawa sebuah pot dengan bunga mawar putih yang cantik.
"Ini mawar putih," terang Edward.
Vando tertawa, "Aku jelas tahu, Pak. Bunga itu cukup familiar bagi pasangan-pasangan zaman sekarang."
Edward mengangguk, lalu menyodorkan bunga tersebut ke arah Vando yang balik menatapnya tak mengerti.
"For me?" Vando menunjuk dirinya sendiri.
Edward menggeleng, "No, ini untuk gadis yang kamu cintai," ralat Edward dengan senyum terulas.
Vando tergagap, lalu mendorong kembali bunga itu pada Edward, "Maaf, Pak, aku tak bisa menerima ini."
Edward menatap Vando bingung, "Hei, Nak! Telah banyak kutemui kekasih yang menyambangi toko ini dan membeli bunga-bunga untuk kekasihnya. Hari ini, kamu datang kemari dengan hati yang mencintai, tapi kamu tak berniat membeli bunga, kamu hanya berniat singgah saja dengan membayar mahal. Aku jelas tahu di matamu bahwa gadis itu sangat spesial, kau mungkin telah mencintainya sejak lama, dan aku ingin kau memberinya ini," tutur Edward sembari menyentuh kelopak bunga mawar putih yang masih sedikit menguncup.
Vando masam, "Aku sudah berjanji pada diriku sendiri beberapa tahun yang lalu, aku tak akan pernah berhubungan dengannya sebelum dia yang menemukan ku terlebih dahulu."
Edward tersenyum kecil, "Kalau begitu, buat dia menemukanmu, Nak!"
Vando tersenyum kecil, "Tak semudah itu juga, kami hanya pernah bertemu sekali, dan tak pernah melakukan kontak apapun setelahnya, aku sendiri tak yakin dia masih mengingatku," cicit Vando. "Aku.. aku memang bertemu dengannya tadi, tapi aku malah terlena dengannya dan tak sempat menegurnya."
Edward tersenyum, "Tatap mataku nak!"
Vando mengangkat pandangannya, dan mendapati bahwa Edward menatapnya lembut, tapi Vando menangkap sebersit rasa sesal yang tak dapat Vando jabarkan alasannya. Entah itu karena kehilangan, atau malah hal yang lebih menyakitkan lagi.
"Aku bertaruh bahwa dia masih mengingatmu, ia mungkin juga masih mencintaimu dalam diamnya."
Vando menggeleng dengan senyum tipis, "Dia terlalu jauh."