Zeana mendengus kesal, "Harus banget sih , desak-desakan begini?"
Setelah beberapa jam bermain catur, ular tangga dan monopoli, serta game online, Nathan dan Irvi tidur memenuhi ranjang. Zeana yang berada di tengah-tengah antara mereka merasa sesak dan terhimpit.
Zeana memutuskan bangkit, mengabaikan Nathan yang menatapnya jahil dan terkekeh puas. Zeana membenarkan lekukan kerah piyamanya dan membanting pantatnya ke sofa empuk.
"Beneran lo ga mau tidur Ze?" tanya Nathan dengan seringai nakal. Ia menepuk sampingnya yang masih kosong.
Zeana menggeleng dengan wajah suntuk, "Percuma.. seribu tahun pun gue ga punya tempat tidur, mending gue bergadang dari pada tidur di sono!" ambek Zeana.
Nathan akhirnya duduk ketika mendengar ucapan Zeana yang terkesan menyindirnya, "Ayolah Ze! Kapan lagi kita bisa tidur bareng-bareng kaya gini?" mohon Nathan sembari sesekali melirik Irvi yang sudah mendengkur.
Zeana menggeleng, "Apaan dah.. tidur aja lo! Gue mau bergadang sendirian!" bentak Zeana mulai emosi.
Nathan menghela nafas, adik perempuannya yang terkadang sangat dewasa ini kembali menjelma menjadi anak-anak yang marah karena tak mendapat sebatang coklat kesukaannya.
Nathan akhirnya berjalan menuju sofa, dan duduk berhadapan dengan Zeana.
"Mau apa lo?!" bentak Zeana geram.
Nathan tersenyum masam, "Oh ayolah, Ze, apa sih yang bikin lo marah? Masa cuma gara-gara kalah main monopoli? Kan lo bisa main lagi kalo pengen dapet kesempatan lagi.. apa karena pion ular tangga lo dirusakin Irvi?"
Zeana menutup telinganya, ia merasa semakin pusing.
"Apa sih kak! Mendingan lo tidur aja deh, kuping gue pengang nih denger suara lo!" maki Zeana jengkel.
Nathan bukannya marah malah tersenyum kecil, Zeana saat ini mengingatkannya akan Zeana beberapa tahun silam. Ketika ia dikirim ke asrama dan Zeana marah besar kepadanya.
Ia terpaksa mengundurkan jadwal masuk asrama hanya karena adik cerewetnya yang satu ini. Tapi Nathan sangat menyayanginya.
"Ze.. kalo lo ga tidur, gue juga ga mau tidur. Gue temenin lo bergadang!" tekad Nathan.
Zeana tersenyum sinis, "Ngebosenin banget kalo harus diem-dieman kaya patung.. main yuk!" ujar Zeana dengan nada menantang.
Alis Nathan terangkat, "Main apa?!" Merasa tertantang sekaligus senang. Zeana yang labil itu membuka suara untuk mengajaknya bermain.
"Truth or dare, berani ga?" tanya Zeana.
Nathan mendengus sinis, "Ngapain takut sama bocil kek lo! Sabi lah!" jawab Nathan.
Zeana tersenyum kecil dan bangkit untuk mengambil sebuah botol plastik bekas minum Irvi.
"Pake botol? Kenapa ga bulpen aja?" tanya Nathan bingung, sejak dahulu ketika ia memainkannya bersama teman-temannya, ia menggunakan bulpen panjang alih-alih botol kosong.
Zeana mendengus dan menggeleng, "Kalo pake bulpen, itu baiknya buat orang banyak. Pake botol aja deh, lagian juga cuma kita doang!" seru Zeana.
Nathan terbungkam, ia mengangguk untuk mengalah kepada adiknya itu. Ia tak mau memulai perang ketiga tanpa prajurit.
Zeana memutar botol tersebut dengan gerak jati lincah. "Ayolah, please.. jangan gue dulu!" monolog Zeana sembari menatap tajam si botol. Nathan yang melihat adegan itu tertawa.
"Botol makhluk mati, masa iya mereka mau dengerin apa yang lo omongin?" cibir Nathan yang merasa geli.
Zeana merengut, "Lo diem aja deh, Kak!" bentak Zeana sembari menatap tajam botol yang masih berputar semakin pelan.
Arah botol tersebut berhenti di depan Nathan, membuat Zeana tertawa kemenangan.
"Bilangnya sih, botol ga mau dengerin ucapan gue, tapi yang kena duluan malah lo!" ledek Zeana, tertawa penuh kemenangan.
Nathan meremas rambutnya, lalu mengangguk dengan wajah tertekan, "Iyain aja deh.. lo kali yang main-main sama gue!" Nathan menyilangkan tangannya dan menatap Zeana malas.
"Truth, or dare?!" bentak Zeana.
Nathan tersenyum kecil, "Truth."
Zeana mengernyit, "Ngapain ga dare?" tanya Zeana heran.
Nathan memasang raut wajah datar, "Lagian dare-nya lo suruh gue ngelakuin apa? Di sini ga ada kerjaan apa-apa!" Padahal ia berusaha mempermudah adiknya untuk menghukumnya karena permainan ini, kenapa Zeana tak mengerti?
Zeana terbahak, "Lah.. lo kan bisa ngajak gue muterin mall sama traktirin gue, kak! Gue mau borong Luis, Hermes, Balenciaga, sama Chanel tauk!"
Nathan menyeringai jijik, "Lo sendiri ga kekurangan duit jajan buat beli apa yang lo pengen, bege! Ogah ah.. kali aja waktu gue ngomong dare, lo malah nyuruh gue nyium kaki lo!" dengus Nathan.
Zeana menghela nafas kasar, "Kagak lah. Pikiran lo ga bisa ya, sekali-sekali mikir baik tentang gue?" Keluh Zeana.
"Iya udah deh, pertanyaannya.. siapa cewek yang bagi lo itu berbeda banget dari banyak cewek yang lo temui? Alasan lo ga pernah pacaran apa? Dan cewek yang bikin lo sakit hati siap-"
Nathan melempar snack rasa jagung kepada Zeana untuk menyuruhnya berhenti. "Heh! Di mana-mana kalo main truth or dare itu pertanyaannya atau tantangannya juga cuma satu, Ze!"
Zeana terkikik, "Yah.. gue kira lo ga tahu peraturannya kak!" ujar Zeana.
"Anjir!" umpat Nathan.
Zeana langsung bangkit dan menuding Nathan, "Ngomong apa tadi?"
Nathan langsung menutup rapat mulutnya ketika mendapat tatapan nyalang dari sang adik.
"Maaf sayang, kelepasan!"
"Sayang, pala bapak lo!" ujar Zeana.
"Bapak gue, bapak lo juga lah!" tantang Nathan.
Zeana melemparkan tubuhnya ke atas sofa dan meringkuk, "Tau ah.. badmood ngomong sama lo!" jerit Zeana jengkel.
"Yah, malah tidur.. padahal baru aja gue mau jawab pertanyaan yang lo kasih," tutur Nathan dengan nada memelas. Ia memancing agar Zeana tak marah padanya.
Zeana mendelik, "Ga peduli, bodo amat! Main sendiri sana sama hantu!"
Nathan tertegun, "Lah hantunya kan lo peluk?"
Zeana bangkit dan menatap Nathan dengan sorot mata mengajak perang, "Lo pikir gue takut, hah?! Dari pada takut sama hantu, mending waktu lebihnya dipake mikir, siapa tuh cowok yang rambutnya warna merah!"
Nathan terdiam, "Ga usah ungkit itu lagi Ze!" cetus Nathan bernada dingin.
"Kenapa? Lo takut, iya? Hah.. cemen banget, sih!" Zeana tertawa sinis.
Nathan bangkit dan menggendong Zeana, Zeana terpekik kaget, "Apaan sih lo kak?"
Nathan mendesis pelan, meminta Zeana agar tak terlalu ramai, "Tidur, Ze!"
Nathan meletakkan tubuh Zeana ke ranjang dan mendorong pundak Zeana agar terbaring. Nathan tanpa banyak kata menyelimuti Zeana dan melangkah menuju balkon. Namun ucapan Zeana menghentikan langkahnya.
"Lo beneran takut kak?"
Nathan berbalik dan mengelus kepala Zeana, "Ze, gue ga takut. Gue cuma khawatir lo kenapa-kenapa."
Zeana menatap Nathan dengan sorot tak percaya, tapi yang ia temukan di mata Nathan adalah kebenaran yang jernih.
"Tidur ya, udah malam."
Zeana seolah tersihir, hanya bisa mengangguk dan terpejam. Namun ketika Nathan berbalik dan berjalan menuju balkon, Zeana membuka kelopak matanya yang meneteskan air mata.
Nathan mengabaikan adiknya, bahkan ketika hatinya masih meronta untuk menjelaskan perasaannya yang sebenarnya pada adiknya.
"Kak? Lo ga tidur?" tanya Zeana pelan, berusaha menjernihkan suaranya yang serak karena tangis.
Nathan yang berdiri di ambang pintu balkon menolehkan kepalanya pada Zeana yang menarik selimutnya sampai setinggi hidung dan menatap Zeana sendu.
"Lo tidur aja dulu, gue jaga malam," jawab Nathan berusaha menambahkan candaan. Tapi bagi Zeana sama sekali tak terdengar lucu.
"Ha? Lo ada-ada aja deh. Kak," pungkas Zeana menghargai perasaan kakaknya.
Tapi Nathan diam, enggan menanggapi. Zeana yang tahu diri memilih untuk menaikkan selimutnya hingga ke atas kepala, menutupi seluruh tubuhnya.