Vando melirik sinar matahari yang mulai muncul, lalu menatap Edward penuh kehangatan.
"Malam ternyata berlalu dengan sangat cepat, maaf kalau aku harus menyita waktu istirahatmu," tutur Vando dengan nada menyesal.
Edward mengibaskan tangannya, seolah meminta Vando untuk tidak merisaukan hal tersebut. "Ayolah nak, aku bisa menutup toko setelah ini. Lagi pula, semalam adalah suatu kesenangan yang tak mungkin bisa aku dapatkan dua kali dalam seumur hidupku."
Vando tersenyum kecil, "Aku sangat berterimakasih ketika kau menganggapnya demikian. Ini adalah pertama kalinya aku menemukan seseorang lelaki yang bisa kuperlakukan sebagai ayahku sendiri."
Edward mengelap sudut matanya yang berair.
"Sebelum aku pergi, bisakah kau memanggil pemilik tanah dari toko ini?" tanya Vando sopan.
Edward mengernyit bingung, "Bisa, tapi untuk apa, Nak?"
Vando tersenyum kecil, "Aku perlu melakukan beberapa transaksi dengannya."
Edward mengangguk dengan polosnya, lalu ia meraih gagang telepon yang terletak di meja kasir dan membuka buku catatan, lalu menekan tombol-tombol angka. Edward mendekatkan gagang telepon itu ke telinganya.
"Bonjour!"¹
'...'
"Puis-je vous demander de venir dans ma boutique ce matin ?"²
'...'
Edward melirik Vando yang sedari tadi terus menatapnya.
"Il y a quelqu'un qui veut te parler."³
'...'
Edward tersenyum kecil, "il a dit qu'il voulait te rencontrer."⁴
'...'
"D'accord, merci!"⁵
Setelah itu Edward meletakkan kembali gagang teleponnya, lalu menatap ruang Vando yang terdiam. "Sepertinya dia akan datang kurang lebih lima belas menit lagi. Apa kau bersedia menunggu, Nak?"
Vando tersenyum kecil. "Tentu, Pak. Bahkan jika dia harus datang jam sembilan nanti."
"Dia bukan orang yang terlalu sibuk," terang Edward.
Vando mengangguk, "Apa kau tidak ingin sarapan, Pak? Mungkin aku bisa menyuruh salah satu koki di kediaman ku untuk memasaknya?" tawar Vando.
Edward sontak menggeleng dengan rasa sungkan, "Tidak perlu repot, Nak, kita bisa pesan sesuatu di sekitar sini!"
Vando menggeleng, "Aku akan bawakan dari kediamanku. Jadi, kau ia ingin sarapan apa? Sup a l'oignon? Atau Confit de Canard?"
Edward menelan ludahnya ketika mendengar nama makanan yang baginya begitu mewah disebut oleh anak muda di depannya.
Vando tersenyum tipis ketika melihat Edward terdiam, ia segera menyalakan ponselnya dan mengontak salah satu bawahannya.
Sup a l'oignon terbuat dari rebusan kuah kaldu sapi kental yang dicampur dengan potongan bawang putih. Dan soupe a l'oignon juga dipresentasikan dengan suwiran daging ayam dan keju parut sebagai penambah cita rasa. Bila dilihat dari kualitas dan nilai gizi, makanan tersebut berhak menyandang gelar sebagai kuliner terenak di dunia.
Meski telah diciptakan sejak zaman Romawi, sajian yang bernama sup bawang Perancis itu baru dikenal dunia internasional pada tahun 1960-an. Bertepatan dengan hadirnya sejumlah investor yang memutuskan untuk membuka restoran Perancis di Amerika Serikat. Tidak membutuhkan waktu lama, soupe a l'oignon berhasil menarik hati masyarakat dunia.
Sedangkan bahan utama Confit de Canard adalah kaki bebek yang di matangkan 36 jam. Lalu diberi campuran bawang putih, garam dan thyme yang dimarinasi 24 jam lebih agar aromanya bisa di serap.
Kemudian, daging bebek bisa digoreng atau dipanggang sebelum dihidangkan bersama kentang dan bawang putih.
Edward tertegun, ia tahu bahwa makanan yang di sebutkan Vando tadi bukan makanan dengan cara masak yang simpel, ia pun angkat bicara. "Nak, apakah ini tidak terlalu merepotkan? Kudengar soupe a l'oignon memerlukan proses masak yang begitu lama."
Vando mengangguk, seolah mengerti kecemasan Edward, "Iya, memang. Tapi hari ini, menu makan di kediamanku adalah itu. Jadi aku rasa, tidak berlebihan jika aku meminta mereka membawanya kemari, karena aku tahu pemilik tanah ini akan datang seperempat jam lagi, aku menyuruh mereka membawa lebih banyak porsi."
Edward tersenyum dengan mata berkaca-kaca, "Aku tak tahu, setelah kau pergi dari sini, apakah aku bisa menemukan orang sebaik kamu," sanjung Edward.
Vando menggaruk tengkuknya yang tak gatal, "Itu.. adalah hal kecil yang bisa aku berikan padamu, Pak. Sebagai imbalan atas malam yang begitu menyenangkan!"
Edward tersenyum, lalu menatap buku penyihir bunga yang Vando letakkan di meja bagian sisinya.
"Kau boleh memilikinya," ucap Edward spontan.
"Hah?" Vando tak mengerti.
Edward menunjuk buku tua itu, "Kau boleh memilikinya, bawalah pulang jika kau benar-benar menyukainya."
Vando tercengang tak percaya, "Tidak, Pak. Kau pernah bilang bahwa almarhum istrimu menyukainya, aku tak bisa mengambilnya darimu!" tolak Vando.
Edward terbahak mendengarnya, "Aku punya satu yang lain di dalam. Ambil saja.."
Vando menatap buku itu dengan tatapan rancu, "Aku sangat berterima kasih padamu, Pak. Seharusnya, setelah aku pergi dari sini, kau tak perlu membayar dua ratus euro setiap bulannya hanya untuk menyewa. Tanah ini, serta tokonya dan seluruh kenangannya akan menjadi milikmu!"
Edward mendelik, "Apakah ini alasan mu memintaku memanggil pemilik tanah ini?" tanya Edward terpatah-patah.
Vando mengangguk, lalu merogoh sakunya, ia mengeluarkan selembar cek bertuliskan £1000.
"Is that for me?!" pekik Edward tak percaya.
Vando mengangguk, "Ini bayaran untuk malam tadi. Kau memberiku banyak nasehat, dan ide-ide yang bisa aku aplikasikan ke depannya."
Edward mengernyit janggal, "Hei Nak, bukankah janjimu adalah memberiku tujuh ratus euro saja?"
Vando mengangguk, "Awalnya aku berpikir begitu. Tapi mengingat toko kecil yang penuh kehangatan ini, rasanya harga tersebut terlalu rendah. Aku ingin memberi lebih banyak lagi, tapi kau akan sungkan padaku setelahnya. Aku tak mau itu terjadi."
Edward baru saja akan angkat bicara untuk mendebat, bunyi bel akibat pintu yang didorong terdengar. 2 pasang mata langsung menatap siapa yang membuka pintu tersebut.
Seorang lelaki yang menggunakan jaket tebal, berwajah muda dengan mata teduh, hidung kecil yang mancung dengan rahang tegas. Bibir yang agak pucat, mungkin karena kedinginan, dan warna mata abu-abu terang.
Tiba-tiba Vando merasa kalau udara di sekelilingnya menghimpitnya. Warna mata yang dimiliki lelaki itu, dan aura wajah yang dimilikinya membuat Vando teringat pada gadis yang sangat ia benci.
"Bonjour! Apakah kau adalah anak yang ingin menemuiku?" Lelaki itu langsung menyodorkan tangannya pada Vando.
Vando mengernyit kurang senang, ia lebih suka pada seseorang yang menghargai seseorang yang lebih tua. Disini ada Edward yang lebih tua darinya, kenapa pria ini menjabat tangannya terlebih dahulu? Begitulah pikir Vando.
Vando menyambut tangan tersebut dan tersenyum tipis, pria itu mengangguk sopan. Lalu menghadap ke arah Edward dan memeluknya hangat.
Lantas pria itu duduk, "Sebelum kita berbincang, boleh aku tahu siapa namamu?" tanya pria itu pada Vando.
"Vando," jawab Vando pendek.
Pria itu tersenyum kecil, lalu berucap, "Namaku Esson."
Vando tersenyum datar, "Pak Esson, maaf jika aku langsung pada intinya. Apakah kau bersedia menjual tanah toko ini padaku?"
Esson mengamati penampilan Vando yang menurutnya memang cukup mewah, "Apa kau punya cukup uang, Nak? Bukannya aku meremehkanmu, tapi kau lebih tampak seperti anak sekolahan dari pada seorang pekerja yang sukses di usia muda."
"Harga berapa yang kau minta?" tanya Vando tanpa banyak basa-basi.
Esson mengangkat alisnya, semakin tak percaya dengan kesungguhan Vando. "Kau sungguh-sungguh, Nak?"
"Aku tak pernah bercanda dengan orang yang tidak kukenal Pak!" tandas Vando yang kemudian menghela nafas.
"Tapi, toko ini strategis untuk berdagang, dan tentunya, harga yang ditawarkan harus-"
"Sepadan," potong Vando dengan nada dingin.
Esson tertawa kaku, "Yah.. rupanya anak sekolahan sepertimu faham mengenai ini."
"Sepuluh ribu dolar, kau menerimanya, hari ini dan cek ini menjadi milikmu." Vando meletakkan cek bertuliskan £10.000.
Esson menganga kaget, "Kau serius, Nak? Kau.. kau.. tak bercanda?"
Vando menghela nafas kesal, ia berusaha menjaga etikanya. Jika saja ini kantornya, tempat dimana ia punya kuasa sepenuhnya, ia akan menyumpal mulut pria ini dengan uang dan menendangnya keluar agar tak mengotori matanya.
"Ini kesempatan terakhirmu, jika kau ingin menawarkan harga lebih tinggi, maka katakan!" ujar Vando.
Esson tergagap, membayangkan ia akan menjadi kaya dengan uang tersebut. Padahal ia membeli tanah ini dari Edward hanya 2000 euro.
"Terima, atau tidak?" tanya Vando dengan penegas di setiap kata-katanya.
Esson mengangguk cepat, lalu menyahut cek itu dan segera mengantonginya. "Aku akan urus surat-suratnya. Serahkan data dirimu, Nak!" pinta Esson dengan nada riang.
Vando menggeleng pelan, "Aku membeli tanah ini atas nama Edward," tutur Vando menjelaskan.
Esson mengangguk mengerti, lalu melirik Edward, "Baiklah.. aku akan mengurusnya."
Vando mengangguk mengerti, lalu seorang pria yang memakai jas memasuki toko dan membawa 4 kotak berwarna putih.
"Sarapan sudah siap, Pak, kita makan bersama." Vando menata kotak-kotak tersebut agar berbaris rapi di meja.
Esson membuka salah satu kotak dan melongo ketika melihat isinya. "Hah? Confit de Canard?"
Vando mengangguk sopan, "Apakah kau alergi bebek? Jika iya, kau bisa makan Sup a l'oignon, itu terbuat dari daging sapi."
Vando mengeluarkan piringnya dan meletakkannya di depan Edward dan Esson. Lalu mengeluarkan 3 set peralatan makan yaitu sendok, garpu, dan pisau.
Sarapan pagi itu akan sangat menyenangkan jika Esson tak ada, begitulah yang Vando pikirkan. Apalagi yang bisa Vando katakan di meja yang terasa dingin, sementara orang yang sudah berumur di depannya bercanda tawa seolah dirinya tak ada?
Vando menatap Esson dengan rasa tak nyaman. Mata lelaki itu mengingatkannya pada seorang gadis yang merusak indahnya masa-masa sekolah.
"Apa kau ingin mengatakan sesuatu padaku, Nak?" tanya Esson tiba-tiba.
Vando menggeleng cepat.
Esson mengangguk, lalu kembali fokus kepada makanannya, membiarkan percakapan dua orang yang lebih tua darinya itu tetap mengalir.
¹ selamat pagi
² bisakah aku meminta mu datang ke tokoku pagi ini?
³ ada seseorang yang ingin berbicara dengan mu
⁴ dia bilang dia ingin bertemu denganmu
⁵ baik, terimakasih