Chereads / De Pluvia / Chapter 35 - 33. Diem Benevolum. <Menyambut Hari>

Chapter 35 - 33. Diem Benevolum. <Menyambut Hari>

Vando melirik Esson yang melangkah ke luar toko dengan tubuh tegap. Edward yang juga mengamati tingkah laku Vando mulai mengerti.

"Ada apa dengan mu sebenarnya? Apa kau tidak menyukai tuan Esson?" tanya Edward sembari menumpuk piring-piring kotor.

Vando tersenyum kecil, "Aku hanya tidak terlalu suka dengan orang asing," celetuk Vando membalas.

Edward mengernyit, "Tapi aku juga orang asing kan?"

Vando mengangguk, "Tapi kau berbeda," sanggah Vando.

Edward tertawa mendengar itu, lalu mengangguk sepakat, "Terserah padamu, Nak, aku iya kan saja.."

Vando melirik Edward yang membawa piring-piring kotor itu ke dalam, "Maaf, Pak, aku membuatmu harus mencuci piring-piring itu," lontar Vando.

Edward menoleh dan menghentikan langkahnya, ia mengangkat bahunya, "Aku punya tangan dan aku masih sehat.. nada bicaramu seolah mengatakan bahwa aku tua renta yang sudah tidak bisa berbuat apa-apa!" dumel Edward.

Vando tersenyum, "Mau kubantu mencucinya?" tawar Vando.

Edward menggeleng, "aku justru berterima kasih banyak padamu, Nak! Akhirnya aku bisa sarapan pagi dengan begitu menyenangkan," ucap Edward lalu melenggang masuk ke dapur.

Vando tersenyum lalu mengalihkan pandang ke arah buku penyihir bunga yang tergeletak di atas meja. Sejak hari ini, buku ini menjadi miliknya. Buku yang telah menjadi barang antik, dan langkah kakinya mengarahkannya kemari. Mendapatkan kehangatan yang selama ini ia rindukan.

Kosong dan hampa, juga suram dan kelam. Setelah kepergian sang Bunda hanya itulah yang ia rasakan. Seorang gadis yang ia anggap sebagai mentarinya, terpaksa ia tinggalkan karena sebuah ancaman. Ia terima sepenuh hati jika keesokan harinya ia akan di sebut pecundang tak tahu malu.

Ia mengakui ia begitu membutuhkan seorang pendengar dan penasihat, tapi sayangnya, ketika ia sekali membuka topengnya di depan sembarang orang, sebuah blitz kamera akan menyorotnya dan membuat reputasinya hancur.

Jika saja, hanya ia yang hancur, ia tak akan mempermasalahkannya. Tapi dirinya adalah bom bagi perusahaan ayahnya, reputasinya juga reputasi perusahaan. Nama baiknya adalah pengaruh besar dalam penaikan harga saham.

"Hei Nak! Piring ini, apakah perlu ku keringkan dahulu?!" sorak Edward dari dalam dapur.

Vando bangkit dan menghampiri Edward, "Tinggalkan di sini saja, Pak," pinta Vando.

Alis Edward berkerut ketika mendengarnya, "Lalu? Di sini memang terbiasa digunakan muda-mudi untuk makan siang ataupun minum kopi, tapi mereka membawanya dari luar. Dan aku tak menyediakan menu makanan apapun untuk mereka," jelas Edward tak mengerti, gerakan tangannya tak berhenti untuk membilas piring-piring tersebut dari busa sabun.

Vando tersenyum, ia membalik piring itu dan menunjuk sebuah lambang kuda dan elang yang terukir dari emas, "Ini bukan lambang biasa, ini adalah nilai kualitas yang tinggi, jika kau kekurangan uang, kau bisa menjualnya dengan harga tinggi."

Edward terperangah takjub, "Aku telah mendapatkan begitu banyak uang darimu, Nak. Aku tak akan miskin secepat itu," gumam Edward.

Vando mengangguk faham, "Itu hanya terawanganmu untuk masa depan jangka pendeknya, kau tak tahu apa yang akan terjadi sepuluh atau dua puluh tahun mendatang," jelas Vando dengan tawa kecil di ujung ucapannya.

Edward tersenyum lebar hingga mata tuanya menyipit bagai bulan sabit. Hatinya menghangat, lalu ia mengangguk.

Vando keluar dapur dan membereskan barang apa yang akan dibawa pulang nanti. Mawar putih yang masih lengkap dengan potnya, serta buku penyihir bunga yang harus ia bawa hati-hati karena takut rusak.

"Kau pulang sekarang?" sapa Edward dengan tangan yang sudah ia keringkan.

Vando mengangguk dengan perasaan enggan pergi, "Ya.. masih ada setumpuk pekerjaan yang perlu aku selesaikan di tempatku. Setelah ini istirahatlah, kau telah menguras tenagamu seharian penuh kemarin," pinta Vando.

Edward tersenyum kecil, "Ayolah, Nak, aku tetap bisa membuka toko ini selagi aku tidur!"

Vando terkekeh, "Itu bukan ide yang buruk.. awas saja jika ada seseorang yang menyelinap masuk dan mencuri buku-buku mu yang berharga!" canda Vando.

Edward mengangguk membenarkan, "Itu bisa saja terjadi. Kapan-kapan aku akan memasang kamera cctv kalau begitu!"

"Ya, itu mungkin diperlukan. Aku tidak bisa sering-sering berkunjung, Pak, jadi aku tidak berjanji akan kembali kemari di waktu dekat ini," cerocos Vando.

Edward maju ke arah Vando dan memegang lengan Vando, lalu meremasnya pelan. "Aku tahu itu, Nak. Kau adalah orang penting bagi seluruh pekerjamu, bersikaplah bijaksana dan adil, aku selalu mendoakanmu dari sini."

Vando mengangguk.

"Oh ya, satu lagi!" Jari telunjuk Edward mengacung.

"Apa itu?"

Edward tersenyum, "Pintu ini mungkin akan terkunci pada saat malam tiba, tapi percayalah.. ia akan selalu terbuka untukmu. Kapan pun kau mau masuk, kau bisa mengetuknya, dan aku akan segera membukanya untukmu!"

Vando tersenyum menahan tangis, ia memeluk Edward erat, menangis dalam pelukannya.

Edward terkekeh dengan suara serak, "Kau anak laki-laki pertama yang bersedia memelukku erat, Nak. Aku sudah menganggap mu sebagai putra ku sendiri, maaf jika aku lancang!"

Vando menggeleng cepat dalam pelukan Edward, "Tidak, Pak. Ketahuilah.. bahwa aku menemukan kehangatan seorang ayah yang tak pernah aku dapatkan dalam toko ini, dari dalam hatimu. Aku lah yang terlalu lancang berharap bahwa kau akan bersedia menerimaku sebagai putramu, sedangkan kau saja kehilangan putramu sendiri!"

Edward mengelus punggung kekar Vando, "Luka dari kehilangan itu sudah ditambal sempurna dengan kehadiran mu. Inilah untuk pertama kalinya aku merasa sangat dibutuhkan selain sebagai penjual bunga untuk kekasihnya. Kau membuatku merasakan perasaan berharga itu, Nak."

Vando tersenyum, jika saja ia boleh meminta, jika saja ia boleh memilih takdir, jika saja ia bisa memutar balik waktu..

Ia ingin terlahir dari benih Edward, ia ingin menjadi satu-satunya putra yang akan ia banggakan di depan banyak orang.. ia ingin, tidak menyesal karena baru menemui Edward hari ini. Tapi ia memang bukan manusia yang bisa memilih waktu yang tepat, maka ia membiarkan Tuhan yang mengaturnya untuknya.

Vando melambaikan tangan kirinya yang bebas, dan Edward, sembari menyeka air matanyavdan melambaikan tangannya. Buku penyihir bunga telah Vando letakkan di saku mantelnya yang memang besar, sedang pot bunga mawar putih ia bawa di tangan kanannya.

Vando sudah menghubungi salah satu supirnya untuk menjemputnya di persimpangan jalan. Jadi Vando perlu menempuh jalan sepanjang 100 meter untuk sampai di sana.

Jalanan mulai rame oleh orang lalu lalang, Vando berusaha berbaur dalam keramaian ini. Tapi hatinya terasa kosong dan hampa.

Hampa yang mungkin bisa ditambal dengan kehadiran seseorang, namun kosong? Harus orang itulah yang mengisinya dengan kehadiran.

Sebuah televisi yang terpasang di dalam toko menyiarkan berita panas yang disiarkan di channel televisi internasional.

Mendengar berita itu, Vando terpaku.