Chereads / De Pluvia / Chapter 30 - 28. Pain Au Chocolat

Chapter 30 - 28. Pain Au Chocolat

Vando benar-benar mendapatkan banyak cerita malam ini, tentang kehidupan Edward sebelum istrinya meninggal dan ketika ia masih punya tanah tokonya sendiri.

"Jadi, ini bukan benar-benar tokomu?" Vando bertanya heran.

Edward menggeleng sedih, "Tanah ini awalnya memang milikku nak, tapi saat itu aku harus operasi ginjal dan terpaksa menjual tanah ini. Setiap bulan aku harus membayar dua ratus euro untuk membayarnya."

Vando tersenyum kecil, "Siapa yang membeli tanah ini?"

Edward tersenyum tulus, "Dia teman dekat saudara jauhku, setiap bulan ia selalu membawakan beberapa makanan untuk pria tua ini. Dan kami sudah seperti keluarga. Dia sering membantu ku."

Vando tersenyum hangat, "Wow! Kelihatannya, dia adalah sosok yang baik, boleh aku tahu makanan apa yang biasa ia bawa untuk mu?" tanya Vando, ia berniat akan membawa makanan yang sama untuk Edward.

"Bulan lalu ia membawakan Foie Gras, tapi awal bulan ini ia membawa Crepes," jelas Edward dengan nada riang, dari situ Vando tahu bahwa Edward sangat senang.

Crepes adalah makanan dengan tekstur renyah yang dipadukan dengan rasa lembut serta adonan tipis yang dilengkapi dengan topping yang kini telah menjadi makanan yang populer dan mudah ditemukan di seluruh penjuru dunia.

Sedangkan Foie Gras dapat dikatakan sebagai kuliner yang telah menjadi kegemaran banyak orang sejak abad pertengahan serta dapat dikatakan sebagai kuliner yang paling tua di belahan dunia Eropa.

Makanan khas ini terbuat dari bahan utamanya yaitu hati angsa atau bebek. Foie grass ini dimasak dengan cara digoreng, dipanggang ataupun dibakar dengan bumbu-bumbu serta saus khas yang telah terkenal akan rasanya yang miliki citarasa gurih.

"Apa kau menyukainya? Menyukai makanan itu?" tanya Vando.

Edward mengangguk kuat, "Di hari tuaku ada yang begitu baik hati padaku, dan aku merasa tak lagi kesepian. Aku bukan pemilih dalam makanan, tapi aku memang menyukai semua makanan yang dibawanya, tapi perhatiannya lebih kusuka."

Vando tersenyum, "Jadi, apa kau mau makan sesuatu malam ini? Misalnya.. Pain au chocolat?" pungkas Vando bertanya.

Pain au chocolat adalah makanan yang identik dengan orang yang menyukai cokelat, mentega dan croissant. Pain au chocolat adalah roti gulung manis yang terdiri dari berlapis-lapis adonan ragi dengan satu atau dua potong cokelat di tengahnya. Pain au chocolat terbuat dari adonan berlapis yang mirip dengan croissant.

Edward menggeleng, "Toko sudah tutup, sulit untuk mencari toko yang buka di jam selarut ini. Tak perlu repot-repot, Nak!" tolak Edward sungkan. Ia hafal benar dengan toko-toko di sekitar sini, tinggal di sini membuat Edward hafal semua menu, harga, jam buka dan jam tutupnya.

Vando mengutak-atik ponselnya, "Bawakan puluhan buah Pain au chocolat ke toko bunga Spring Day. Aku kirim lokasinya lewat pesan," ucap Vando dengan ponsel menempel di telinga kanannya.

Edward terdiam kebingungan melihat Vando.

"Nak, jangan bilang kamu menyuruh salah satu teman mu untuk mencarikan Pain au chocolat untukku? Itu terlalu merepotkan, batalkan saja." Edward merasa tak enak, lalu mengedarkan pandangannya ke luar. "Lagi pula, akan sulit mencari toko yang buka di malam selarut ini. Kau hanya akan merepotkan temanmu," pinta Edward.

Vando menggelengkan kepalanya, "Tenang saja, pain au chocolat-nya dibuat di dapur rumahku, beberapa menit lagi akan diantar kemari," tutur Vando menenangkan Edward.

Edward tersenyum canggung, "Aku baru ingat bahwa kau adalah pemuda kaya raya yang mau membuang-buang uang hanya untuk membiarkan toko kecil ini tetap buka," canda Edward setelah menepuk jidatnya pelan.

Vando menggeleng, "Malam ini aku hanya sedang tak ingin pulang, aku ingin mencari kesibukan. Bukan malah berjalan tanpa arah dan berhenti di sisi jembatan, itu bukan aku sekali," kelakar Vando membuat Edward terbahak.

"Percaya atau tidak, Pak, itu bisa saja membuatku berpikiran bahwa menerjunkan diri ke bawah sungai adalah hal baik," lanjut Vando membuat Edward geleng-geleng dengan tawa yang masih belum mereda.

"Aku ingin tahu kenapa kau masih bersikeras membuka toko bunga ini, padahal penjualan dari buku-buku ini semua sudah lebih maju," ungkap Vando menumpahkan uneg-unegnya.

Edward tersenyum dan berdeham, berusaha menyudahi tawanya dan bersikap serius. "Karena istriku, namanya Lilac. Ketika aku membaca buku bahasa bunga, aku mulai mengerti bahwa Lilac melambangkan kepolosan dan kegembiraan para remaja yang alami dan memberi warna berbeda dalam kehidupan masa muda. Aku bertemu istriku juga saat muda. Bunga Lilac juga bisa diartikan cinta pertama, begitu manis dan patut dikenang, meski tidak semua cinta pertama berakhir baik."

Vando tersentak ketika mendengar kalimat terakhir Edward, pikirannya mulai terbang kemana-mana.

"Tebakanmu mungkin ada benarnyaz Nak, kita tak bisa menyangkal mengenai hal itu. Cinta pertama tampak sangat manis. Namun, tak selalu berakhir baik. Ketika aku membaca itu, aku ingat sekali dengan apa yang aku rasakan setelahnya. Tak ada rasa damai lagi ketika aku memandangnya, aku hanya takut jika kisahku berakhir buruk. Jadi aku menikahinya, memastikan bahwa ia akan hidup baik bersamaku."

"Lalu?"

Edward mengusap air matanya yang menggenang di sudut mata, "Dia meninggal ketika aku dipenjara."

Alis Vando menyatu, "Kau.. pernah dipenjara? Karena apa?" tanya Vando kaget.

Edward menggeleng pelan, "Hanya karena salah faham. Aku menyelamatkan seorang anak kecil yang tersesat di pasar, dan ketika aku akan mengembalikannya pada ibunya, ibunya malah menuduhku telah menculik anaknya. Aku ditahan di penjara selama semalam, aku dibebaskan oleh suaminya, juga karena kesaksian anak kecil itu." Edward menghela nafas dan mengambil jeda.

"Namun, sekembalinya dari kantor polisi, aku mendapati istriku, Lilac meninggal dalam tidurnya, rupanya ia demam semalam. Sedangkan putra kami sedang menginap di rumah kakakku. Aku mengurusi pemakamannya sendiri bersama saudara-saudara ku karena saat itu posisiku sedang kekurangan uang, begitupun dengan saudara-saudara ku yang lain."

Vando mengangguk mengerti, "Lalu, kapan putramu meninggal?"

Edward menatap Vando pahit lalu menggeleng pelan, "Aku tak pernah mengatakan putraku telah meninggal, Nak. Aku mengatakan bahwa dia pergi. Dia kabur dari rumah," terang Edward.

Vando menelan ludah dengan susah payah, "Tapi, kenapa?!"

Edward tersenyum, "Dia meninggalkan sebuah surat yang ia tulis dengan air mata menetes. Kau ingin tahu apa isinya?"

Vando mengangguk, "Itu pasti!"

"Mendekatlah, akan kubisiki!" Edward memajukan tubuhnya.

Vando terperangah kagum.

"Apakah yang kau katakan ini benar, Pak?" Vando sedikit tak percaya.

Edward tersenyum kecil, "Benar, Nak. Dia menulis itu, tapi aku tak tahu jika akhirnya dia tak kembali lagi."

"Tahun berapa anakmu pergi?"

Edward melamun sejenak sembari menghitung secara terawang, "Em, sebenarnya aku tak tahu tepatnya. Mungkin sekitar tiga puluh tahun yang lalu? aku tak ingat persis, Nak. Jika diperkirakan ia menikah, ia bisa punya anak remaja seumuran mu. Saat ia kabur dahulu ia masih berusia lima belas tahun."

Vando baru saja akan berbicara lebih ketika bunyi dentingan bel pintu toko yang terbuka, menampakkan seorang pria bertubuh kekar membawa 1 box berwarna putih dengan diameter 30×30 cm.

"Ada yang bisa kubantu?" Edward refleks berdiri, dan mendekat ke arah lelaki itu.

Vando menahan tangan Edward, "Dia temanku, Pak. Brook, kemarilah!" perintah Vando.

Yang dipanggil Brook mendekat, lalu meletakkan kotak tersebut dengan hati-hati.

"Apa itu?" tanya Edward dengan jari telunjuk mengarah ke kotak yang dibawa Brook.

Vando tersenyum lembut, "Pan Au Chocolat, ini dimasak oleh koki kediamanku," ucap Vando dengan nada bangga.

Mata Edward berkaca-kaca, ia sungguh terharu dengan hal kecil semacam itu. Vando bangkit sejenak dan menghampiri Brook yang akan keluar dari toko kecil tersebut.

Setelah mengucap beberapa patah kata, Vando kembali.

Setelah mengangguk meyakinkan, Vando membuka box tersebut dan mengambil piring yang ada di dalam box tersebut. Ia menyodorkan satu piring pada Edward dan mengambil untuk dirinya sendiri.

"Piring yang antik, ini pasti mahal," celetuk Edward setelah mengamati piringnya lekat.

Vando terkekeh mendengarnya, "Kalau kau menyukainya, ambillah. Di kediamanku ada banyak piring semacam ini."

Edward menggeleng keras, "Aku tidak butuh hal ini, Nak, kau menemaniku melewati malam ini dan bersedia menerima cerita-cerita ku, aku sungguh bersyukur," sambar Edward.

Vando tetap tersenyum, lalu mengambil alat capit dan mengambil beberapa buah pan au chocolat lalu meletakkannya di piring Edward.

Edward tersenyum sungkan, "Aku bisa melakukannya sendiri, Nak. Kau tak perlu repot-repot. Aku yakin di rumah mu, kau tak pernah melayani, kodratmu itu dilayani," tangkas Edward.

Vando berdeham untuk menghilangkan ketidaknyamanan yang tiba-tiba menyinggahi hatinya. "To be honest, aku tinggal di Prancis sejak lima tahun yang lalu. Sekarang aku sudah tidak sekolah-"

"Ya ampun! Kau memutus pendidikanmu? Kenapa? Kau kan berasal dari keluarga yang berkecukupan?" sela Edward tak sabaran, ia benar-benar tak bisa menyembunyikan rasa kagetnya.

Vando menggeleng pelan sembari menggigit pan au chocolat-nya. "Aku mengambil alih pekerjaan orang tuaku. Setidaknya, setahun terakhir ini aku masih kuat untuk melakukannya, tugasnya benar-benar melelahkan."

Edward tersenyum, "Kau anak yang berbakti," puji Edward membuat Vando merasa bersalah.

Vando menggaruk lehernya, "Aku.. hanya membiarkannya merasa ringan di hari-hari tuanya. Tapi dibalik itu semua, aku hanya ingin membungkam mulutnya yang selalu mengataiku anak tak berguna."

Edward terdiam.

¹ 200 euro= Rp. 3.336.000