"Apa cita-cita mu yang sebenarnya?"
Vando menghentikan kunyahannya sejenak sebelum menatap piringnya dengan canggung, "Tak punya." Vando mengangkat bahunya, jika saja ia membahasnya bersama teman-temannya, ia mungkin akan lebih santai menanggapinya, tapi kini, ia sedang berbicara dengan orang yang lebih tua darinya, orang yang seharusnya ia hormati.
"Apa kau tak punya mimpi? Whatever that is?" Edwar bertanya lagi karena tak bisa percaya.
Vando menelan ludah dengan susah payah, "Aku menguasai semuanya, Pak. Dahulu aku berpikir alangkah menyenangkannya menjadi pelukis atau pembuat lagu, pasti sangat seru menjadi penjaga toko yang berinteraksi dengan banyak orang, sedang ia bisa menjadi dirinya sendiri. Tapi realita kehidupanku tak semulus itu.."
Edward terbahak, merasa sangat terhibur dengan ucapan Vando barusan. "Kau benar, Nak! You said the right thing! Aku mampu memaknainya secara dalam, kehidupan kami ternyata adalah impianmu, tapi.. tak terpikirkan kah bahwa kehidupanmu adalah impian kami?"
Vando mengangguk enggan, "Ya, aku tentu tahu hal itu, Pak. Tapi kehidupan kami tak seindah apa yang tampak di depan layar, harusnya mereka berpikir sejernih itu."
Edward menunjuk pelipisnya sendiri, "Hanya satu persen dari orang tua yang bisa berpikir sejauh dan sejernih ini. Ini karena orang tua ini telah mengalami banyak hal sebelum sampai di titik ini. Kalian para konglomerat atau darah biru selalu bilang 'uang bukanlah segalanya,' tapi aku yakin kau tahu bahwa ada banyak perceraian bukan hanya karena perselingkuhan dan hadirnya orang ketiga, tapi karena masalah keuangan."
Vando terkekeh, lalu mendengus sinis, "Itu karena pondasi cinta mereka yang kurang kuat. Uang bisa mengundang bahagia, tapi mustahil untuk membelinya. Kamu bisa berlibur mewah dan merilekskan pikiran dengan uang, tapi bisakah uang membeli relaksasi itu untuk selamanya?" Vando tersenyum miris, lalu menggeleng.
Edward tertegun.
Vando melanjutkan ucapannya, "Orang tua laki-laki ku pergi dengan wanita lain, mengabaikan bunda yang bunuh diri karena depresi. Bahkan, ketika petugas autopsi mengatakan bunda telah meninggal sebelum ia gantung diri yang berarti dia dibunuh seseorang, laki-laki itu tak pernah peduli dan memilih untuk menutup kasusnya," cerita Vando dengan senyum tipis lalu mengambil alat capit dan mengambil 2 potong pan au chocolat dan meletakkannya di piringnya yang kosong.
"Dari situ aku belajar semuanya, orang-orang yang mempunyai rumah mungil yang hangat, pekerjaan kecil yang menetap, dan memiliki meja makan yang hangat dan penuh obrolan serta canda tawa lebih baik daripada hidup bergelimang harta, tapi terperangkap dalam kemewahan yang hampa dan tanpa kasih sayang."
"Kau memilikinya, Nak," tutur Edward dengan senyum sayu, "Kau pernah memilikinya dari ibumu."
"Tapi dia sudah pergi! Dia tak kembali lagi! Tak akan pernah!" bentak Vando dengan nada tinggi, Vando tercengang sejenak lalu tertunduk, "Maaf, Pak.. maaf.. aku.. terlalu emosional."
Edward menanggapinya dengan kekehan pelan, "Itu tandanya kau merindukan ibumu. Kau tak berniat mengunjungi pusaranya?"
Vando mengangguk, "Sejak pemakamannya, aku belum pernah ke sana."
"Kenapa?" tanya Edward simpatik.
Vando tersenyum sedih, "Karena aku langsung dibawa kemari sehari setelah ia meninggal. Sore sebelum aku pulang ke rumah, aku bertemu gadis yang aku cintai hingga saat ini. Dia lah alasan aku mampu bertahan hingga saat ini, senyumnya yang sesejuk embun, tawa serenyah biskuit dan tatapannya seterang mentari. Lelaki biadab itu rupanya tahu bahwa aku berat meninggalkan kota kelahiranku karena gadis itu, jadi ia mengancamku. Jika aku tidak ikut dengannya, ia akan menghancurkan gadis itu. Jika aku ketahuan berhubungan dengannya, aku akan dikirim ke Moskow."
"Dan kau patuh?" Edward bertanya.
Vando mengangguk dengan berat hati, "Ya, hanya demi gadis yang aku cintai."
"Dan hatimu sekarang? Bagaimana? Sudah pulih dari dendam?"
Vando tertawa hingga tersedak potongan pan au chocolat yang ia kunyah, ia segera meneguk teh yang sudah mendingin, "Masalah dendam, aku abai. Tapi, kalau ditanya apakah aku dendam, tentu saja. Mereka secara tidak langsung telah membunuh ibuku, membuatku harus begitu jauh dari gadis pertama yang membuatku jatuh cinta. Aku berusaha melupakan semuanya dengan melarutkan diri dalam pekerjaanku, tapi cara itu memang kurang efektif. Jadi aku sering melamun di balkon rumah dan berkhayal, seandainya saja aku diciptakan menjadi bintang atau malah batu."
Edward mengangguk-angguk, ia faham dengan pikiran anak muda yang selalu tak mau ribut terhadap hal-hal kecil seperti itu.
"Apakah kata-kata 'bagaimanapun dia adalah orang tua kandung mu,' terdengar basi di pendengaran mu?" tanya Edward perlahan, ia mencoba memahami perasaan Vando dari raut mukanya.
Vando mendengus sinis, "sangat. Itu terdengar begitu memuakkan."
Edward manggut-manggut, "kalau begitu aku tak akan mengatakannya."
Vando tersenyum, lalu mengambilkan Edward beberapa buah pan au chocolat lagi ke piringnya yang mulai kosong.
"Tadi, aku ingin berbicara pada mu, tapi tersela. Boleh aku mengatakannya sekarang?" tanya Vando ragu.
Edward mengangguk dengan raut wajah teduh, "tentu saja, nak! Malam ini untukmu, ceritakan saja semuanya, jika kau butuh tanggapan, aku bisa memberikannya untukmu!"
Vando tersenyum, akhirnya ia menemukan seorang figur kebapakan yang pas untuknya.
"Aku datang ke Prancis sejak lima tahun yang lalu dan aku menghentikan pendidikanku, bukan karena aku tak punya uang dan menganggap pendidikan tak penting, anggap lah aku menghormati orang tua yang telah bekerja keras selama ini dan berniat menggantikannya."
Edward mengangguk, meminta Vando untuk melanjutkan.
"Lima tahun terakhir ini aku tak pernah keluar selain ke pesta-pesta dan pertemuan antar perusahaan. Untuk acara peresmian aku memang jarang datang, aku tak suka keluar dari kediamanku."
Edward merasa janggal dengan pernyataan Vando memutuskan untuk bertanya, "Lalu? Malam ini? Kau keluar?"
Vando mengangguk, "Untuk pertama kalinya. Aku berjalan menelusuri jalanan, sendirian. Melihat satu persatu toko yang memiliki banyak kenangan, dan dari sekian banyak toko aku meilih toko ini untuk singgah dan membuang-buang waktuku yang sebenarnya berharga."
Edward tersenyum lagi, "Ah, aku merasa tersanjung.."
Vando memberi tawa sebagai tanggapan, "Aku hanya bercanda Pak Ed, tolong jangan diambil hati!"
Edward mengangguk, "Aku sudah setua ini, dan pengalaman yang kudapat tak pernah sia-sia. Aku tahu bedanya bercanda dan serius, Nak!"
Vando mengangguk mafhum, "Aku merasa lega seketika.."
"Lalu, apa pemicu mu keluar?" tanya Edward melanjutkan.
Vando berdeham, lalu menegakkan tubuhnya seketika. "Aku mendatangi gadis yang aku cintai, aku menemuinya. Dan ketika sudah mulai larut, aku memilih untuk tidak pulang, aku sadar dunia terlalu indah untuk kuabaikan."
"Ingatlah, bahwa semuanya ada batasan," peringat Edward.
Vando mengangguk, "Tentu, aku mengerti jelas tentang itu. Aku sudah membuat peraturan untuk diriku sendiri, dan aku tak akan melanggarnya."
"Aku percaya padamu, aku bisa melihatmu sebagai anak yang punya disiplin kuat," puji Edward.
Vando mengangguk.
"Jujur saja, aku merasa kesepian di kediamanku, aku berharap, setelah aku pergi dari sini besok pagi, aku tak akan merasakan hal itu lagi."
Edward menatap Vando iba, "Nak, kau boleh datang kemari kapan pun kaumau, kau akan merasa bahagia tanpa sadar saat kau melihat orang lain bahagia."
"Oh ya?"
Edward mengangguk, "Ya, aku berani menjamin hal itu. Kebahagiaan dapat memanjangkan umur seseorang. Jujur saja, Nak, di sini aku merasa amat bahagia ketika melayani seorang lelaki yang ingin membelikan kekasihnya setangkai atau sebuket bunga, dan aku selalu bertanya pada mereka, apa yang akan mereka rayakan.."
"Lalu?"
"Ya.. aku pernah menemukan seorang pria meminta bunga untuk ulang tahun gadisnya. Gadis itu lahir pada bulan Oktober, jadi aku berinisiatif untuk memilihkan bunga Calendula yang memang melambangkan orang-orang kelahiran Oktober yang penuh kehangatan dan cinta yang abadi. Aku mendoakannya selalu bahagia, meski seminggu setelahnya, pria itu datang lagi kemari dan meminta beberapa ikat bunga Anyelir berwarna putih."
"Tunggu.. Anyelir putih?" tanya Vando memastikan pendengarannya masih berfungsi dengan baik. Vando tahu jelas Anyelir putih melambangkan kematian dan kedukaan.
Edward mengangguk, "Gadisnya meninggal karena menyelamatkan mantan kekasihnya yang juga merupakan sahabatnya. Detik itu juga aku teringat bahwa bunga Calendula juga melambangkan kesedihan."
Vando tercekat, yang ia dengar adalah kisah cinta yang lumayan rumit. Pria itu bisa saja membenci mantannya yang telah diselamatkan kekasihnya karena menganggap bahwa mantannya adalah penyebab kekasihnya meninggal.
Edward meneguk tehnya, "Aku tahu apa yang kau pikirkan, tapi itu salah. Pria itu datang bersama mantan kekasihnya untuk membeli bunga bersama, mereka tampak baik-baik saja. Pria itu juga terlihat amat bijaksana, aku berharap dia akan selalu bahagia."
Vando diam-diam melirik ke arah mawar putih yang masih segar tumbuh di potnya yang diberikan Edward kepadanya dengan tatapan rancu.
"Apa arti bunga mawar putih yang kau berikan padaku, Pak?"
Edward tersenyum, "Kekhawatiranmu tampak jelas bagiku, apa kau menganggap bunga yang kuberikan punya suatu arti buruk yang bisa menjadi kutukan?"
Vando tergagap, "Aku, aku tidak bermaksud demikian. Aku.. hanya penasaran saja."
Edward mengerti, "Mawar putih melambangkan kesucian, kepolosan, dan muda. Bunga mawar dengan warna ini juga sering digunakan pada acara-acara pernikahan karena kaitannya dengan cinta yang murni dan kesetiaan abadi. Aku berharap, dengan bertahannya rasa cintamu sekian tahun kepada gadis itu, cintamu akan abadi, aku berharap kisahmu akan seindah cerita dongeng."