Chereads / De Pluvia / Chapter 32 - 30. Recordatio. <Mengenang Kembali>

Chapter 32 - 30. Recordatio. <Mengenang Kembali>

"Mawar putih melambangkan kesucian, kepolosan, dan muda. Bunga mawar dengan warna ini juga sering digunakan pada acara-acara pernikahan karena kaitannya dengan cinta yang murni dan kesetiaan abadi. Aku berharap, dengan bertahannya rasa cintamu sekian tahun kepada gadis itu, cintamu akan abadi, aku berharap kisahmu akan seindah cerita dongeng."

Vando melirik Edward buang sedang sibuk menyeduh teh yang baru, matanya melirik ke arah kotak putihnya yang menyisakan beberapa buah pan au chocolat, mereka berdua benar-benar kenyang.

Pikiran Vando kembali melanglang ke arah ucapan Edward tentang arti mawar putih. Kesetiaan yang abadi? Benarkah cintanya akan seperti indahnya kata-kata itu terdengar?

Vando menghela nafas kasar, berusaha kembali pada kenyataan. Cerita-cerita Nathan mengenai Zeana yang tak pernah berpacaran kembali mengusiknya. Di tambah Nathan pernah berucap di suatu saat, bahwa Zeana mempunyai banyak penggemar di sekolahnya, karena memang ia cukup terkenal.

Lebih dari satu kali Nathan menceritakan bahwa Zeana di tembak oleh beberapa temannya, tapi Zeana selalu membawa lelaki itu ke tempat di mana mereka bisa berbicara santai dan empat mata secara terbuka untuk menolaknya dan memberikan alasan yang bisa diterima.

Sayangnya, mata-mata yang dikirim Nathan selalu gagal untuk mencuri dengar apa yang mereka ucapkan, terutama alasan Zeana selalu menolak mereka. Padahal tak hanya satu-dua yang berasal dari kalangan atas yang setara dengannya. Punya reputasi baik di sekolah, entah itu ketua OSIS, ketua basket, raja matematika, master bahasa, king of science, dan lainnya.

Vando mengerutkan alisnya dan terus berpikir keras tanpa sadar Edward sudah kembali ke tempat duduknya dan meletakkan teh hangat yang baru di seduh dan masih panas.

"Jadi, bagaimana kabar gadis yang kau cintai?" Edwrad membuka topik baru.

Bahu Vando terangkat, seolah ia bersemangat untuk menjelaskannya. "Kulihat dia masih baik-baik saja, dia suka melamun dan tertawa sendiri. Seolah ia memaknai hal-hal kecil itu menurut pandangannya sendiri," jelas Vando.

Edward mengusap janggutnya pelan, "Apakah dia gadis yang sangat cantik hingga kau tak bisa memalingkan hatimu pada gadis-gadis Prancis yang sangat cantik?" goda Edward.

Vando menutup mulutnya dengan tangan kiri, ia menahan senyumnya.

"Dia cantik, dan aku tertarik. Aku pikir itu saja sudah cukup. Tapi aku berpikir ulang bahwa kepribadiannya yang mungkin membuatku tertarik."

Edward menegakkan tubuhnya, "Memangnya kau tahu bagaimana dia yang sebenarnya? Bukankah kau bilang kalian hanya pernah berinteraksi tak lebih dari satu kali?"

Vando mengangguk membenarkan, "Tapi pertemuan itu sangat mengesankan, meski terkadang ketika aku mengingatnya aku merasa sedikit jengkel dan sedih."

"Sedalam apa kesan mu tentangnya?" tanya Edward lagi.

Vando menghela nafas, "Sedalam palung Mariana?" canda Vando balik bertanya.

Edward terbahak-bahak, merasa bahwa lelucon Vando terdengar amat menggelikan.

"Apa saja yang gadis itu berikan padamu sebenarnya, Nak? Aku heran kau bisa segila ini padanya?"

Vando tersenyum.

"Saat pertama kali aku melihatnya, dia sedang menggerutu karena kedinginan, dan saat itu hujan memang sedang turun. Aku menggerutu, mengatakan kalau hujan memang selalu berhawa dingin. Dan aku iseng bertanya, apakah dia menyukai hujan? Dan apakah kau tahu jawabannya apa, Pak?" tanya Vando memancing.

"Apa?" tanya Edward yang sudah kepo tingkat dewa.

Vando menyeringai, "Jawabannya sama sekali tak spesial! Dia mengatakan bahwa dia menyukai hujan, tapi ketika datangnya tak kenal keadaan dan waktu seperti itu, ia sama sekali tak suka. Tanpa dia ketahui, aku tersenyum dalam hati, jika seseorang menyukai sesuatu, seharusnya dia menyukai keadaan apapun asalkan sesuatu itu tetap ada kan? Meski, ya.. aku bisa memahami perasannya yang begitu buruk. Dia mendapat amukan dari guru matematikanya karena tak berhasil menjawab pertanyaan yang tertulis di papan tulis, dan ketika ia ingin segera pulang untuk melepaskan penatnya di kasur empuk atau berendam air hangat, hujan malah turun. Aku memprediksi bahwa dia tak suka keramaian, terbukti ia memilih menunggu jemputan di sisi yang sepi dan mudah terkena bias air hujan."

"Begitu saja? Dan kau langsung jatuh cinta padanya?" sela Edward tak mengerti jalan pikiran Vando.

Vando menggeleng, "Tentu tidak, Pak!"

"Lalu?"

Vando berdeham, ia memutar ulang memori itu dalam ingatannya, "Aku memintanya menikmati segala keadaan yang ada, tapi dia malah bertanya bagaimana caranya. Dan detik itu aku bertanya-tanya dalam hati, apakah dia tak pernah menikmati keadaannya? Jadi aku bertanya sekali lagi padanya apakah dia menyukai hujan, dan dia menjawab bahwa di menyukainya. Jadi, aku menarik tangannya dan membawanya berlari ke taman les yang letaknya memang tak jauh dari sana-"

"Dia tak menolakmu?" potong Edward bertanya.

Vando tersenyum masam, "Pada awalnya aku was-was, takut kalau ia malah membanting tanganku. Tapi ketika aku menariknya, ia patuh dan memilih mengikutiku menerobos hujan deras. Kami berlarian di tengah hujan.."

"Benar-benar masa kecil yang bahagia," sindir Edward yang merasa iri dengan kisah cinta Vando.

Vando menggeleng pelan, "Tidak juga. aku hanya merasa bahagia saat itu saja, saat aku melihatnya dan menikmati tawanya. Aku berkata padanya, apa yang ia rasakan sesaat setelah kami berlarian, dan dia menjawab bebas bersamaan denganku. Dia melongo kaget, lalu berkata bagaimana jawaban kami bisa sama. Aku menjawab spontan bahwa hal itu bisa saja karena kami sama-sama menyukai hujan."

Edward tersenyum tipis, "Apakah kau masih menyukai hujan hingga saat ini?"

"Hujan turun karena tahu bumi membutuhkan, kata-kata itu yang membuatku bertahan menyukai hujan hingga saat ini. Mau dibilang pluviophile¹, juga tidak bisa. Bagaimanapun keadaannya, aku selalu membuka payung ketika hujan turun, bukannya aku menolak menikmati rintiknya, tapi keadaan melarangku."

"Lalu, bagaiman dengan gadis itu?"

Vando mengetuk-ngetuk meja dengan jarinya yang panjang dan lentik, "Dia mengatakan sesuatu yang membuatku yakin bahwa dia adalah satu murid sastra yang unggul, kata-kata yang dirangkainya, begitu indah. Sayangnya aku lupa apa yang ia katakan. Aku menanyakan padanya soal itu, dan di menjawab kalau ia tumbuh dengan sastra yang melekat di tangannya, idolanya adalah Khalil Gibran, Pramoedya Ananta Toer, Chailil Anwar, dan masih banyak lagi. Sejak hari itu aku mencari tahu tentang penyair-penyair itu."

Edward terkekeh, "Karena kau mencintainya?" ledek Edward.

Vando mengangguk dengan rasa malu, "Dia begitu hebat. Meski lemah dalam pelajaran yang berhubungan dengan angka, dia adalah jagoan di bidang bahasa. Aku memintanya membacakan puisi salah satu penyair, dan dia menyanggupinya."

"Dia membacakan puisi itu untukmu?" tanya Edward takjub.

Vando mengangguk bangga, "Dia bilang judulnya sendiri adalah Penyair. Aku percaya. Dan ketika dia membacakannya, aku benar-benar masuk pada dunia khayalan yang terbentuk secara spontan ketika dia membacakannya, suaranya yang mengalun lembut, dia membacakannya dengan tenang dan menghafalnya luar kepala. Aku sempat geleng-geleng kepala ketika aku mengingatnya, dia hafal bait puisi yang begitu panjang."

Edward mengangguk, "Hanya satu bukan? Adalah hal kecil menghafalkan salah satu puisi milik penyair idola.."

Vando menggeleng, "Tidak. Dia membacakan dua puisi untukku sore itu. Dan keduanya sama-sama panjang."

Edward terperangah, "Gadis yang pandai, ketika kau memutuskan untuk menghubunginya kembali, jangan lupa kenalkan dia pada pria tua ini, Nak!" pinta Edward.

Vando mengangguk, "Dengan senang hati, Pak. Dia gadis yang berbeda dari gadis-gadis lainnya, ketika aku memperkenalkan diriku sebagai putra tunggal pemilik Taiso Company tak ada reaksi berarti dari wajahnya, justru matanya tampak menajam dan raut wajahnya menjadi dingin. Kali itu aku benar-benar terjebak, aku kaget bukan kepalang ketika dia mengatakan bahwa dia putri ketiga dari pemilik Jupiter Company. Aku kembali menelisik pakaian apa yang dikenakannya, dan aku mendapati bahwa satu potongnya bernilai beberapa ribu euro, hanya saja pakaiannya tampak begitu biasa meski berasal dari merek-merek besar dunia. Dia tampak anggun, meski tak tampak glamor seperti teman-temannya."

"Dia adalah cerminanmu kalau begitu," putus Edward.

Mata Vando membulat, "Kamu memang suka bercanda, Pak!"

Edward menggeleng, lalu bangkit menghampiri rak bunga dan kembali membawa satu buah pot bunga melati yang menebarkan bau harum.

Edward menyentuh bunga melati yang kuncup beberapa, lalu menatap Vando penuh kasih sayang, "Bunga ini melambangkan keanggunan, kesederhanaan dan kerendahan hati. Aku akan selalu menyisakan satu pot untukmu, kabari aku jika kau menginginkannya."

"Benar-benar murah hati," puji Vando.

Edward mengangguk, "Memang, tapi aku lebih loyal kepada anak muda yang tahu banyak tentang segala sesuatu seperti kamu. Apa kau bersedia membawanya pulang?" tanya Edward.

Vando mengangkat bahunya, "Entahlah.. tapi sepertinya jangan. Kapan-kapan aku akan singgah kembali, kali itu aku akan membawa kuas dan kanvas untuk melukis betapa indah toko kecil mu ini. God knows how much I love it.."

"Kau juga suka melukis?" Edward bertanya heran.

Vando mengangguk, ia menatap tangannya yang lebar, "Sejak kecil aku di ajari seluruh bidang, dan aku menyukai lukisan, piano serta biola. Aku sering melukis beberapa natural panorama, dan bunga semacam itu," tutur Vando sembari menunjuk beberapa bunga putih yang tak diketahui jenisnya bergerombol di atas rak.

"Kalau begitu, pastilah tanganmu sangat terampil," sanjung Edward.

Vando tersenyum canggung, "Semua yang terlahir punya kelebihannya sendiri-sendiri, dan setiap ada kelebihan selalu ada kembaliannya.."

Edward terpingkal ketika mendengarnya, ia bahkan sampai menepuk-nepuk meja sebagai pelampiasan tawanya.

"Kau sangat lucu!"

Vando memasang tampang polos dan mengangkat bahunya, "Aku mengatakan yang sebenarnya, Pak. Aku tak tahu di mana lerak kelucuannya!"

Edward langsung berdeham dan menghentikan tawanya yang memang berlebihan saat itu juga. Ia menatap Vando dengan serius, "Aku melihatmu dari arah sini, tertimpa cahaya bulan.. kau tampak sangat tampan. Aku jadi penasaran bagaimana wajah ibumu.."

Vando tersenyum kecil, kemudian ia menopang dagunya dengan kedua tangannya yang terkepal. "Dia wanita paling cantik yang pernah aku temui, dia punya darah campuran.. Belanda, Russia dan Vietnam. Wajah campuran yang tampak sangat unik jika dilihat di sore hari dan tersiram cahaya matahari senja yang keemasan, dan tampak seperti dewi bulan ketika malam datang."

Edward menghela nafas, "Jika gadis itu bukan ibumu, apa kau akan jatuh cinta pada padanya?"

Vando menatap lampu jalanan yang tampak indah dalam remang cahaya bulan, tatapannya menerawang, "Mungkin iya, mengingat sifatnya yang lemah lembut, tapi aku lebih bersyukur ia menjadi ibuku. Aku bisa membanggakannya tanpa takut kehilangannya, ia akan menjadi milikku selamanya tanpa bisa diganggu gugat!"

Edward kembali tertawa, "Kau benar-benar sangat lucu, Nak!"

Mendengarnya membuat Vando mengacak-acak rambutnya yang memang agak panjang, ia menatap Edward dengan tatapan sebal, "Kau mengatakan demikian seolah aku masih anak kecil yang suka makan lolipop warna-warni!"

Edward semakin tertawa kencang, "Tampangmu yang sekarang tampak sangat seperti anak kecil! Ketahuilah hal itu!"

Vando mendengus kencang dan menuangkan teh pada cangkirnya, ia langsung menjulurkan lidahnya karena teh itu masih panas.

Untuk kali kedua Edward benar-benar tertawa karena ulahnya.

Vando, dalam hatinya merasa sangat sesak karena bahagia. Ia bahagia karena melihat tawa bahagia orang lain karenanya. Ia sangat bersyukur, langkah kakinya membawanya ke tempat ini.

¹ pecinta hujan