Zeana berlari menyusuri menara Eiffel yang ramai dikunjungi, ia begitu bergembira dengan kebebasan yang jarang ia rasakan. Tak memperhatikan jalanan, Zeana menabrak seorang laki-laki.
"Sorry!" sorak Zeana, menatap lelaki itu dengan rasa bersalah.
Tapi laki-laki itu menundukkan wajahnya dan mengambil arah lain, hal itu membuat Zeana menelengkan kepalanya, merasa aneh. Laki-laki itu terlihat jelas menghindarinya. Namun, Zeana tak ambil pusing karena ia tak mengenal lelaki tersebut.
"Zeana, kameranya disini!" sorak Nathan membuat Zeana memutar badannya dan menghadap Nathan.
Zeana mengangkat dua jarinya dan tersenyum pada kamera, Nathan memfotonya dengan senyum kecil. Latar belakang foto saat ini sangat indah, senja yang sudah mendekati malam di puncak menara Eiffel.
Nathan menatap lekat adik bungsunya itu, cahaya senja membuat rambut coklat Zeana tampak keemasan, serta kulit putihnya tampak memerah.
Nathan berjalan ke arah lain, di mana arah yang akan dilaluinya sendiri. Melihat Zeana bersenda gurau bersama Irvi membuatnya merasa aman meninggalkannya.
"Mereka baik-baik aja," ucap Nathan pada Vando yang sedari tadi bersandar pada tiang, mengamati Zeana dari kejauhan.
"Gue tahu, Bang. Gue udah liat sendiri," jawab Vando.
"Kapan lo balik ke Indo?" tanya Nathan, menatap penampilan Vando yang lebih mirip dengan orang yang melakukan liburan ditengah pekerjaan daripada orang yang bersantai.
Vando mengangkat bahunya, "Gue ga tahu juga. Masih cari timing yang pas, soalnya bokap ga bakal segampang itu ngizinin gue."
Nathan terkekeh, "Dan gue heran lo masih aja suka sama adek gue, di sini juga banyak cewek-cewek cantik, lo ga oleng apa?" tanya Nathan sembari melirik beberapa gadis bule yang berlalu lalang di sekitar mereka.
Vando menarik sebelah ujung bibirnya, "Apa ya? Gue ga kepikiran buat nyari yang lain," cetus Vando spontan.
"Boong lo! Ga mungkin lo ga ngabisin waktu sama cewek lain meski cuma sekali," ledek Nathan tak percaya.
Vando tersenyum gamang, "Pernah sih, tapi gue udah tinggalin. Lagian gue udah ga sekolah lagi," kilah Vando.
Nathan mengangguk mengerti, "Ngelanjutin perusahaan bokap kan? Ga enaknya jadi anak orang kaya, ga bisa nentuin masa depan sendiri," canda Nathan memaparkan kenyataan.
"Gue ngelanjutin perusahaan bokap juga atas keinginan gue sendiri, biar dia diem kalo ketemu gue," balas Vando.
Nathan mengernyit, "Emang lo ga pengen jadi apa atau apa gitu?"
"Apa itu apa?!" Vando terbahak. "Lo sendiri?" tanya Vando balik.
Nathan menggeleng pelan dengan ringisan, "Gue dulu pengen jadi penulis novel, gue suka sama literasi."
Vando mengangguk pelan, cita-cita Nathan lumayan menimbulkan bentrok dengan profesi yang diinginkan orang tuanya. "Gue pengen jadi pianis, tapi itu sih waktu gue masih SMP, sejak masuk SMA kaya makin nurut aja sama takdir," ungkap Vando mengaku.
Nathan terpingkal, "Relate banget! Gue dulu pengen jadi penulis karena punya senior yang setiap kata-katanya ngasih inspirasi, dan ketika senior itu lulus, keinginan gue juga ikutan lulus."
"Kalo Zeana?"
"Hah?" Nathan tak faham dengan pertanyaan Vando yang out of topic.
"Zeana pengen jadi apa?" tanya Vando memperjelas.
Nathan tersenyum kecil, "Ah, anak itu.. gue ga terlalu tahu, tapi dia suka musik dan nulis. Waktu kecil dulu dia sering ngomong hal aneh yang sampe sekarang masih gue pikirin," cicit Nathan.
"Hal aneh apa?"
Nathan memalingkan pandangannya ke arah Zeana yang berbincang dengan salah satu pengunjung lainnya, meteka tampak sangat akrab.
"Dia bilang dia ga mau dapat bagian dari perusahaan bonyok," tutur Nathan.
"Terus? Anehnya dimana?" tanya Vando tak mengerti.
"Karena ketika gue tanya alasan kenapa dia ga mau, dia jawab perusahaan ini bawa sial," jawab Nathan frustasi, ia memijat pelipisnya.
Vando tertegun, "Bawa sial?" ulang Vando.
Nathan mengangguk, "Gue ga tahu apa pemicunya sampe dia ngomong kek gitu. Waktu gue pengen cari tahu, justru gue gak tahu harus mulai dari mana."
"Masuk akal kalo Zeana ngomong kaya gitu," tanggap Vando. "Mungkin aja dia ngerasa kalo pekerjaan bonyok lo nyita kasih sayang dan waktu masa kecilnya. Banyak anak yang berpendapat gitu, gue sering dapat cerita."
Nathan mengangguk mengerti, "Padahal gue sering banget mikir, apa gue udah jadi abang yang baik ya buat dia? Atau kadang malah mikir, dia benci ga sih punya abang yang ga becus kek gue?"
Vando menggelengkan kepalanya, "Overthinking lo berlebihan banget, Bang. Zeana ga akan pernah mikir sejauh itu, gue sangsinya. Sebagai abang, lo udah ngelakuin yang terbaik. Ngejaga kedua adek yang cewek dan masa puber, sedang lo sendiri harus bagi waktu buat kerjaan lo juga, itu sulit Bang, dan lo udah ngelakuin yang terbaik."
"Gitu ya pandangan lo ke gue, gue jadi bersyukur mereka dewasa lebih cepat, gampang ngertiin, dan.. ga toxic."
Vando tersenyum mendengarnya, ia menatap Zeana yang berebut ponsel dengan Irvi, "Mereka hidup di lingkungan yang baik, gue waktu pertama kali liat Zeana udah percaya kalo cewek itu pintar, beda dari anak-anak lain yang justru lomba buat tampil glamor."
Nathan terbahak hingga menepuk-nepuk perutnya, "Kalo masalah yang itu, gue juga bingung, gue udah sediain gaun-gaun, perhiasan dan tetek bengek yang sama kaya si Irvi, tapi Zeana ga pernah make. Diajak ke pesta-pesta gitu dia juga kagak suka. Sampe gue kira dia punya gangguan mental atau sakit apa, ternyata emang dari sononya."
Vando tersenyum tipis.
"Tapi meski ga dandan gitu, juga udah cantik kok. Gue ga pernah ngamati banget, dan akhir-akhir ini jadi sering liat, adek gue cantik juga," timpal Nathan.
Vando terbahak, "Lasti banyak yang suka sama dia."
"That's right. Banyak yang nembak dia katanya, tapi ditolak."
Alis Vando menyatu, "Alasannya apa?"
Nathan menatap Vando gamang, lalu mengangkat bahunya, "Ga tahu. Pernah ya gue tanya-tanya sama temennya, tentang gimana Zeana kalo disekolah, tapi temennya jawab, Zeana populer, disukai banyak cowok, tapi selalu nolak kalo ditembak. Jadi gue ga terlalu keras jaga dia, karena dia juga udah bikin batasan sendiri."
Vando tersenyum penuh kemenangan, "Gue bikin alasan apa ya biar bisa balik ke Indo?"
"Lo kenapa ga dari dulu aja nolak waktu dibawa?" tanya Nathan heran.
Vando berdecak, "Gue cuma anak kecil waktu itu, Bang. Dan bokap tahu kalo gue masih pengen disana gara-gara ada Zeana, bokap ngelarang gue ketemu dia lagi atau gue yang dikirim ke Moskow."
"Segitunya?"
Vando mengangguk, "Bokap bilang, cowok harusnya ga punya kelemahan sama sekali, cowok ga bisa dibilang cowok sejati kalau dia sampe punya kelemahan, apalagi kelemahannya adalah cewek." Vando meremas rambutnya.
Nathan berdecak jengkel, "Jangan bilang lo nanemin pola pikir kek gitu ke otak lo?"
Vando tersenyum getir, "Ya, gue terlanjur percaya sama bokap, alasan gue ga pernah make hati, kecuali sama Zeana dan nyokap."
Nathan menepuk pundak Vando, menguatkannya. "Gue pernah ada di fase kehilangan seseorang yang pernah ngasih gue terlalu banyak hal untuk diingat, dan gue ga punya cara untuk bangkit, karena emang dia terlalu berharga buat dilupain gitu aja. So, i'm trying to organize memories of her, not erase his memories. Because I'm sure that it won't work, gue masih jaga dia di hati gue, sampe saat ini."
"Ga semua orang seberuntung lo buat berhasil, Bang. Masalahnya dia itu nyokap gue sendiri, orang yang ngajari gue gimana ngadepi hidup yang selalu maksa kita ngelakuin hal yang ga pernah kita sukai," tolak Vando.
"Mau itu nyokap, pacar, guru, atau sahabat sekalipun, kalo lo pengen ngelepasin diri dari kenangan tentangnya yang jerat lo, ya lo harus gerak! Lo emang ga bisa ngelupain, tapi lo bisa ngerapiin dan.. ngomongnya gimana ya.. lo bisa 'menepikan' berkas memori itu. Simpan di tempat yang seharusnya, masa lalu."
Vando menatap bintang yang berpendar begitu terang, "Kalo lo kehilangan nyokap lo, lo juga bakal ngelakuin hal yang sama?"
Nathan menelan ludah, "Akan gue coba. Kehilangan itu cuma fase, tahap yang seharusnya kita lewati supaya bisa sampai ke tempat yang lebih tinggi, bukan malah stuck disana selama-lamanya. Lo salah cara," tutur Nathan.
Vando tersenyum kecil, "Salah cara. Gue emang selalu salah ya?"
Nathan menghembuskan nafas berat, "Manusia macem apa yang ga pernah ngelakuin kesalahan? Gue pengen ketemu sama dia!"
"Lo ngaco!" Vando terkekeh.
Nathan berdecak jengkel, "Lo yang ngaco! Ngelakuin kesalahan aja disesali, lo itu masih muda, jangan kebanyakan nyesal, lakuin aja sampe berhasil, waktu lo masih banyak!"
Hening.
"Kalo Zeana ada di posisi lo, gue juga bakal bilang hal yang sama. Kalo lo udah berumur di atas dua puluh tiga atau dua puluh empat tahun, lo bakal nyesel."