"Jiakh! Gue aduin kak Nathan, mati lo!" ancam Zeana ketika Irvi tak mau menyerahkan uang koin kuno yang dimilikinya.
"Dasar tukang ngadu, kak Nathan juga ga bakal mau ngurusin Lo!" ledek Irvi.
"Siniin kak! Gue mau foto!" Zeana berusaha merampas uang koin yang digenggam Irvi.
Irvi mengangkat tinggi-tinggi koin tersebut dan menjulurkan lidahnya, "Apa lo? Pendek aja sok-sokan!"
Zeana memajukan bibirnya dan mendelik kesal, ia berlari ke arah Nathan dan berniat mengadukan kenakalan kakak perempuannya itu.
"Kak Nathan! Kak Irvi ngo-"
Ucapan Zeana langsung berhenti ketika menyadari Nathan sedang tak sendiri. Nathan menoleh ke arah Zeana dan melambaikan tangannya.
Diam-diam Nathan melirik Vando untuk memastikan reaksinya, dan seperti yang Nathan duga, Vando panik.
Zeana semakin mendekat ke arah mereka ketika Vando langsung memutuskan untuk pergi.
"Siapa Kak? Teman lo?" tanya Zeana dengan tatapan yang tak beralih dari sosok lelaki yang menemani kakaknya tadi.
"Iya, temen," jawab Nathan mengacak rambut Zeana.
Namun Zeana menatap tajam sosok laki-laki itu, Zeana menarik telinga Nathan agar mendekatkan telinganya padanya.
"Apaan?" bisik Nathan.
Zeana berbisik, "Itu beneran temen lo?"
Dahi Nathan berkerut, "Iya Ze, dia temen gue. Kenapa?"
Zeana menggeleng ragu, "Ga papa sih. Gue tadi habis ga sengaja nabrak dia, tapi waktu gue minta maaf, dia malah ngeloyor pergi. Kan aneh! Terus waktu gue kesini dianya pergi, ngehindari gue ya? Atau gue ada salah sama dia?"
Nathan menahan diri untuk tidak tersenyum, "Tumbenan lo peduli sama orang yang bahkan ga lo kenal? Naksir ya lo?!"
Zeana langsung menggeplak kepala Nathan, "Apaan sih lo? Masih sore aja udah ngelindur! Tau wajahnya aja kagak!"
Nathan mengelus kepalanya yang terasa nyut-nyutan, "Lo kalo mukul orang liat-liat, elah! Lo pikir ga sakit apa?!"
"Tangan gue kecil, bambang! Lo kali yang lebay sama gue, digituin aja teriak-teriak, ga malu apa diliatin banyak orang?! Habis itu dighosting, tuh laki di gebukin adeknya kok teriak-teriak ya? Cemen banget! Ga malu lo?" cerocos Zeana dalam satu kali pengambilan nafas.
"Diem Ze! Yang bikin kita diperhatiin orang-orang tuh omelan lo! Lupa lo kali sekarang lagi di luar negeri?! Kita ngomong kek gini tuh udah kaya alien!" sorak Nathan dengan suara rendah.
"Lo aliennya!" sorak Zeana malas.
Irvi menghampiri mereka, "Ada yang mau neduh dulu ga? Kita ke Aesthetic cafe yuk!" ajak Irvi.
Zeana mengerutkan alisnya, "Hah? Namanya estetik banget."
Irvi memutar bola matanya, "Lo mah kagak paham, Ze! Gue abis searching bentaran tadi, cafe bagus di sekitar sini, dan gue nemu Aesthetic cafe, keknya bagus deh buat spot foto. Kita coba yuk?"
"Mau Ze? Sekalian istirahat?" tawar Nathan pada Zeana.
Zeana tak punya pilihan selain mengangguk, lampu menara Eiffel sudah menyala, membuat sekitar mereka amat berkilauan. Zeana tersenyum, "Padahal gue masih pengen disini."
"Hah? Lo ngomong apa Ze?" tanya Nathan setelah menjauhkan ponsel dari pandangannya.
Zeana cepat-cepat menggeleng, mungkin di liburan mendadak kali ini, Zeana harus lebih memprioritaskan keinginan saudaranya, mereka terlalu sibuk untuk bisa liburan seperti saat ini. Sedang dia biasa berlibur dengan kawan-kawannya atau me time di mall.
Zeana melambatkan langkahnya, membiarkan kakaknya berjalan lebih dahulu, sedang ia tertinggal. Zeana menjaga jarak dengan kedua kakaknya sejauh 1 meter.
Zeana menyilangkan tangannya, ini bukan pertama kalinya ia merasa kesepian di tengah keramaian, tapi Zeana merasa sepi kali ini begitu syahdu.
Beberapa anak kecil yang ditatapnya membalas senyumnya, lalu kembali bercanda dengan ayah dan ibunya masing-masing. Zeana merasa hangat namun kosong.
Melihat ada banyak kasih sayang yang bertebaran disekitarnya, Zeana merasa dipeluk oleh tangan tak kasat mata, hangat merasuk ke rongga dadanya. Namun ia merasa ada yang hilang, ia merasa kosong.
Kasih sayang itu tak pernah dimilikinya, kasih sayang orang tuanya, hanya pernah tersalurkan lewat canda tawa yang lebih dinikmati oleh Nathan, karena Nathan yang berkuasa. Nathan yang paling berarti.
Zeana meremas dadanya, ia merasa sangat sakit. Sayangnya, disini tak ada Kaesha yang bersedia mendengarkan apapun yang dibicarakannya, disini tidak ada Alula yang selalu memberikan nasehat-nasehat nyeleneh, disini tak ada Sheryl yang membuatnya nyaman, disini tak ada Olyn yang suka menghilangkan rasa sepinya dengan ocehannya. Di sini, di negara asing ini, ia sendiri.
"Dad, can I eat the candy when I get home?"
Seorang anak kecil berceloteh lucu sembari menarik-narik ujung mantel seorang pria dewasa. Zeana menghentikan langkahnya hanya untuk melihat adegan itu lebih lama lagi.
"It's late, honey, your mother would be mad if she found out. Tomorrow morning, okay?" ucap sang ayah dengan tangan tersampir di bahu anaknya.
Anak itu menggeleng.
"Ell, according to dad. If eating candy at night makes your teeth hurt, do you want your teeth to hurt?"
Anak kecil yang dipanggil Ell itu menggeleng.
"Just eat the candy tomorrow, okay?" pinta sang ayah.
Ell pun mengangguk dengan berat hati.
Zeana tersenyum, tanpa sadar air matanya merembes keluar, ia juga ingin kehangatan semacam itu. Zeana berjalan kearah lift, namun berbalik. Ia mengedarkan pandangannya untuk mencari keberadaan kakaknya. Tapi mereka tak ada.
Zeana menghela nafas, berusaha meredakan kepanikan yang melanda hatinya.
"Tak ada yang harus di takuti dari tersesat, Ze. Nikmati aja, lo bisa sendirian kok," ucap Zeana pada dirinya sendiri.
Zeana menjauhkan dirinya dari lift dan berjalan ke arah luar, menatap langit cerah yang berbintang.
Zeana tersenyum kecil, dalam kepercayaan yang dianutnya memang tak ada kepercayaan pada reinkarnasi atau terlahir kembali, tapi.. jika reinkarnasi memang ada, Zeana ingin terlahir menjadi bintang.
Tak ada alasan tertentu, tapi orang yang sedih akan menjadi sedikit lebih bahagia ketika menatapnya.
Angin malam berhembus lebih kencang, membuat helai rambut Zeana berterbangan, sejenak Zeana merasa sekelilingnya begitu sunyi dan aman untuk dihuni.
Zeana menutup matanya, menikmati sepoi angin yang menerbangkan rambutnya seolah penyihir mistis. Zeana mencengkram erat tali kupluk mantelnya, berharap waktu ini tak cepat berlalu.
Ia tersesat, tapi untuk pertama kalinya pula ia merasa bahwa orang-orang disekitarnya membuatnya merasa nyaman untuk tetep disini, alih-alih pergi ke kantor keamanan dan melapor bahwa ia terpisah dari rombongan.
Zeana menghembuskan nafasnya pelan, jika saja ia berhak meminta, ia ingin orang yang ia cintai juga ada disini. Menggenggam tangannya, menerima sisi gelap yang yang selalu ia sembunyikan dari kebanyakan orang.
Zeana tersenyum kecil, menatap telapak tangannya yang memerah karena kedinginan, tak ada seorang pun yang pernah menggenggam tangannya. Kebanyakan dari mereka menarik pergelangan tangannya.
Zeana memeluk dirinya sendiri, "i love me," tutur Zeana.
'Lord, bring someone who wants to accompany me to fill my quiet time, listen to all my stories, i need someone like that,' mohon Zeana dalam hatinya.
Bayangan Vando pada 6 tahun yang lalu terngiang kembali, Zeana tersenyum dengan hati perih.
Ia tak pernah tahu, seorang lelaki yang ia harapkan ada disini. Sedang menautkan jemarinya dan menghangatkan dirinya sendiri, berada di 40 cm di belakangnya. Menatapnya dengan penuh sorot rindu, ingin memeluk, dan getir rasa yang pahit.
'Biarkan aku bahagia dalam posisi ini untuk beberapa saat saja,' mohon Vando dalam hati.