Bayangan rumah kecil di pinggir danau, ikan mas yang berenang di akuarium bundar, bunga dandelion yang berterbangan, hangat cahaya mentari pagi, bunga edelweis kering yang diabadikan dalam sebuah bingkai, dan lantai kayu yang harum. Tak lupa cerobong asap yang dilalui aroma roti bakar, noda cat di atas pagar, dan sosok laki-laki berhidung mancung sedang belepotan oli.
'Ah, sungguh indah perhaluan ini,' batin Zeana dengan mata berbinar.
Bising di sekitarnya seolah alunan biola yang ia nikmati alih-alih ia takuti. Beberapa bahasa asing yang tercampur, logat kental Arab, aksen British, dan dengung bisik-bisik bahasa Mandarin. Zeana merasa damai bisa berdiri di antaranya.
'Gue benar-benar ga nyesel udah tersesat, ada sensasi baru yang sebelumnya ga pernah gue rasa. Thanks God!'
***
"Eh eh eh.. tunggu! Lampu jalannya aesthetic nih! Foto bertiga yuk!" sorak Irvi sembari menarik pergelangan tangan Nathan.
"Cape deh, dari tadi berhenti mulu! Dikit-dikit selfie, upload tiktok, Instagram mana pernah sepi, belom lagi telegram sama Rp-rp entah apa itu," cibir Nathan.
"Lah emang gue selebgram! Lo iri, bilang boss!" balas Irvi savage.
"Ajak aja Zeana! Kali ini gue ga ikutan," decak Nathan.
Irvi mendengus, "Apaan dah! Ayok Ze!" bentak Irvi sembari menatap arah belakang Nathan, tapi disana kosong.
"Zeana mana?" tanya Irvi cengo.
Nathan memucat, lalu membalik tubuhnya vfan mengamati belakangnya, tidak ada Zeana, kosong.
"Lah Zeana kok ga ada?" tanya Nathan bingung.
Irvi menepuk jidatnya, "Lah, mana gue tahu! Kan lo yang jalan barengan tadi!"
Nathan segera menyalakan ponselnya dan menghubungi Zeana.
'Panggilan yang sedang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan, cobalah beberapa saat lagi.'
"Sial!" umpat Nathan.
"Kenapa kak?" tanya Irvi bingung.
"Ponselnya kagak aktif!" terang Nathan.
"Balik aja ke Eiffel, kali aja masih disana!" saran Nathan.
Mereka berdua segera berlari kembali. Namun ketika mengingat sesuatu, Nathan menghentikan langkahnya, Irvi melakukan hal yang sama.
"Ngapain berhenti?" tanya Irvi heran.
Nathan mengambil ponselnya dari saku dan menyalakannya.
"Lah lo bilang ponsel Zeana lagi mati, lo waras?" celetuk Irvi.
"Diem anjir! Gue mau ngehubungi temen gue yang di sana juga!" sahut Nathan kesal.
***
Vando masih betah mengamati Zeana dengan senyum terukir di bibir merah mudanya ketika ponsel di mantelnya bergetar tanpa suara.
Vando membuka ponselnya dan mendapati bahwa Nathan mengiriminya sebuah pesan.
"Lah baru nyadar tuh orang kalo kehilangan adeknya," monolog Vando dengan tawa kecil di ujung kalimatnya.
From Nathan Maldwyn:
Lo di mana sekarang?
For Nathan Maldwyn:
Di menara. Kenapa?
Vando tersenyum kecil, "Pasti di suruh jaga Zeana!"
From Nathan Maldwyn:
Lo bisa cariin si Zea ga? Ilang nih anak. Kali aja masih di sana.
Vando terbahak, tak ada yang lucu dari pesan Nathan, hanya saja ia sedang ingin tertawa.
For Nathan Maldwyn:
Adek lo masih di sini, aman.
Setelah mengirimkannya, Vando tersenyum lagi.
From Nathan Maldwyn:
Lo ketemu ama dia? Di mana?
For Nathan Maldwyn:
Gue dari tadi emang ama dia. Masih di lantai yang sama. Tapi di bagian pinggiran.
Vando baru akan memasukkan ponselnya ketika ponselnya kembali bergetar.
From Nathan Maldwyn:
Jagain bentaran, gue otw ke sana!
Vando tersenyum, memasukkan kembali ponselnya ke saku dan mengamati Zeana lagi.
***
"Zeana aman," tutur Nathan setelah menghela nafas lega.
"Bareng sama temen lo? Dia jagain?" tanya Irvi heran.
Nathan mengangguk, "Dia ga kemana-kemana kok. Cuma ngelamun terus ketinggalan langkah paling," lirih Nathan.
"Lo-nya ninggalin!" ujar Irvi.
Nathan mendengus, "gue ga sadar kalo dia ga ada!"
"Makanya, yang peka jadi cowok! Efek jomblo bertahun-tahun nih," ledek Irvi.
"Omongan lo Vi!" umpat Nathan jengkel.
Dalam hati ia merasa menyesal, ia salah kenapa ia tak menggandeng Zeana saja. Setidaknya, Zeana tak merasakan ketakutan karena tersesat.
"Jalan lo jangan cepet-cepet napa, Kak!" protes Irvi yang ngos-ngosan.
Nathan melambatkan langkahnya sedikit, "lo yang lemot! Gimana kalo Zeana kenapa-kenapa disana?"
Irvi menyibakkan anak rambutmya yang menutupi matanya dan tersenyum masam, "siapa ya yang tadi bilang kalo Zeana aman?"
Nathan tak bisa menahan diri untuk tak menabok Irvi.
"Itu temen gue yang ngomong bego! Bukan gue! Tetep aja gue ngerasa ga enak kalo ga tahu keadaannya langsung!"
Irvi mengangguk-angguk, menyilangkan tangannya dan berjalan tenang serta anggun.
Sesampainya di lantai dua, pandangan Nathan mengitari penjuru menara, namun ia tak mendapati Zeana maupun Vando.
Sampai tangan bersarung berwarna hitam melambai kearahnya. Itu Vando
Nathan segera menarik Irvi dan berjalan ke arah Vando.
"Mana?" tanya Nathan pada Vando.
Vando menunjuk arah kanannya dengan jari jempolnya, Nathan dan Irvi menatap arah yang ditunjuk Vando dengan santainya.
Zeana menepuk pipinya yang merona dan tersenyum sendiri.
"Dari tadi dia kek gitu?" tanya Nathan bingung separuh takut.
Vando tersenyum kecil, lalu mengangguk. "Keknya dia bayangin sesuatu yang bikin dia bahagia deh!"
Nathan kembali mengarahkan pandangannya ke adik perempuannya itu. Senyum yang Zeana ukir nampak sangat cantik, bersinar, seolah yang memiliki senyum semacam itu hanya orang yang sedang jatuh cinta.
Mata Zeana berbinar, Nathan tahu jelas ketika memandangnya dari samping. Nathan bukan tak mau segera menegur Zeana dan mengajaknya pulang ke hotel, tapi senyum Zeana kali ini benar-benar terlihat berbeda. Nathan tak mau membuyarkannya.
***
"Udah belom ngehayalnya?" celetuk Irvi membuat Zeana tersentak kaget.
Irvi terbahak, "Ngapain senyum-senyum sendiri, hah? Kesasar di negeri orang bukan malah takut malah gila!"
Zeana memasukkan tangannya ke saku mantelnya, lalu memiringkan kepalanya dan menatap Irvi tajam.
"Oh, siapa ya, yang ga sadar kalo gue ilang?" tanya Zeana menyindir dengan nada datar.
Sudut bibir Irvi berkedut ketika mendengarnya, "Apaan sih Ze? Lo aja yang ngilangnya kaya jin Aladdin, tiba-tiba ngilang gitu aja! Kita tadi juga panik!"
"Lo yang jalannya kijang, kecepetan! Lagian siapa yang mau ilang, lapor dulu?" ketus Zeana.
Irvi mendelik, "Gue kaya kijang? Heh! Lo-nya aja kaya Kukang!"
"Beh, gue kalo mau, bisa kaya belut ya!"
"Iya kalo di lumpur, beda lagi kalo di aspal!" debat Irvi.
"Udah, udah! Diliatin banyak orang tuh!" kera Nathan.
Zeana diam, Nathan menarik tangan Zeana dan memasukkannya ke sakunya. Zeana melirik Nathan untuk mempertanyakan perlakuannya, tapi Nathan tersenyum kecil. Irvi mendengus ketika mendapati adegan romantis yang seharusnya dilakukan sepasang kekasih malah terjadi antara saudaranya.
"Gue boleh iri ga?" sindir Irvi.
Nathan tersenyum, "Mau juga?"
Irvi mendengus, "Segala nanya! Tapi, ga usah lah ya, dikira orang gue dimadu nanti, ogah!"
Nathan merengut, "Lo ngomongnya sambil makan bekicot idup ya? Ngelindur lo!"
Irvi menggaruk pelipisnya, lalu melirik Zeana yang hanya diam. Irvi mengamati raut wajah Zeana yang tampak tak nyaman, Irvi memutuskan untuk menanyakannya.
"Ze? Lo butuh sesuatu?"
Mendengar ucapan Irvi, langkah kaki Nathan ikutan berhenti, lalu menatap Zeana khawatir, "Ada apa Ze?"
Zeana menatap kedua kakaknya aneh, "Ga ada. Kalian kenapa tiba-tiba nanya?"
Irvi manggut-manggut, "Apa ya.. wajah lo kaya terganggu sama sesuatu gitu! Makanya gue pikir lo butuh sesuatu tapi lo ga ngomong," simpul Irvi.
Tangan Nathan yang berada di dalam satu saki bersama tangan Zeana menggenggam tangan Zeana lebih erat, "Bener Ze?"
Zeana menatap Nathan hangat, "Engga kak! Ya kali gue butuh sesuatu tapi ga ngomong!"
Nathan mengangguk setuju, "Kalo butuh sesuatu, ngomong langsung aja, kita ini rumah!"
"Rumah?" tanya Irvi mengulang ucapan Nathan.