Ryu berjalan menelusuri taman rumah sakit, ia mengambil nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan.
Dokter mengatakan bahwa ia bisa keluar dari rumah sakit besok lusa, tapi Ryu memilih untuk keluar besok. Ia mungkin akan ketinggalan beberapa pelajaran favoritnya, lagi pula ia ingin segera masuk sekolah agar bisa segera menemui Zeana.
"Kau di sini sendirian? Sakit apa?" Seorang wanita cantik yang menggendong seorang anak kecil menyapanya.
Ryu menghentikan langkahnya dan tersenyum pada wanita itu, "Habis kebentur, sudah sembuh kok."
"Sendirian? Atau ada keluarga yang menemani?" tanya wanita itu lagi, ia menepuk bangku di sampingnya, untuk mengisyaratkan bahwa wanita itu ingin ia duduk disampingnya.
"Sendirian," jawab Ryu dengan hati teriris perih. Orang tuanya tidak punya waktu yang cukup untuk menemaninya, selama orang tuanya tahu bahwa ia masih hidup, itu sudah cukup bagi mereka.
"Pasti orang tua mu tergolong orang yang sibuk, adik kecil ini juga," tutur wanita itu sembari membenarkan letak gendongannya.
"Aku kira kau ibunya," ucap Ryu spontan.
Wanita itu menggeleng tenang, "Aku hanya baby sitter yang mendapat keberuntungan merawatnya."
Ryu tersenyum hangat ketika mendengar ucapan wanita itu, Ryu mau menjadi saksi bahwa wanita itu sangat menyayangi anak yang dirawatnya, "Jangan berkata begitu, anak itulah yang bersyukur mendapat perawat yang penuh kasih sayang seperti mu."
"Namanya Anne, lahir lima belas bulan yang lalu, dan dia bisu."
Ryu tertegun, menatap mata hitam anak kecil itu, "Esok hari dia akan menjadi gadis dengan kecantikan alamiah, aku percaya itu."
Wanita itu mengangguk, "Aku juga sudah menduganya, dia memang cantik sejak lahir. Bahkan saat dikelilingi beberapa saudara sepupunya yang lain, dialah yang paling bercahaya. Dia beruntung memiliki wajah yang cantik seperti ini," sanjung wanita itu sembari mengamati wajah Anne.
"Tetap saja setiap kelebihan selalu punya kekurangan," cetus Ryu mengembalikan pada realita yang ada.
Wanita itu mengangguk, "Tapi aku yakin, Anne akan menjadi gadis yang kuat. Setiap orang yang hidup akan menjadi kuat setelah menyembuhkan diri dari luka, dan traumanya. Setiap orang akan menjadi lebih tangguh setelah membaur dengan kekurangannya masing-masing."
Ryu mengangguk, setuju dengan apa yang dikatakan wanita itu.
"Aku hidup di jalanan yang keras, hingga ibu Anne yang sangat baik hati itu mempercayaiku untuk merawat putri mereka, selama di jalanan itu lah aku banyak belajar, seberapa tangguh manusia bisa dilihat dari pantulan mata mereka."
"Pantulan mata?" Ryu tak mengerti.
Wanita itu mengangguk, "Sebenarnya tak semua orang bisa melakukannya, tapi aku bisa, meskipun tak selalu tepat. Seperti yang dipantulkan matamu, kamu sedang kesepian dan merindukan hadirnya seseorang. Kau pasti sedang jatuh cinta dengan seorang gadis," tebak wanita itu.
Ryu menundukkan wajahnya, merasa malu.
"Kau masih anak sekolah, tapi tak ada yang salah dengan jatuh cinta, itu adalah bagian dari pertumbuhan dan perjalananmu dalam mencari jari diri." Wanita itu tersenyum sangat manis kepadanya.
"Terimakasih, padahal aku merasa telah salah jatuh cinta," ujar Ryu mengakui.
Wanita itu menatap Ryu dengan dahi berkerut, merasa bingung dengan ucapan Ryu, "Telah salah jatuh cinta? Apa maksudmu, kau merasa jatuh cinta pada gadis yang salah?"
Ryu memejamkan matanya, merasa benar-benar malu, "Aku mencintainya sejak delapan tahun yang lalu. Gadis itu, sering ditembak oleh teman-teman ku yang lain, tapi dia selalu menolak."
"Alasannya?" tanya wanita itu lugas.
"Alasannya adalah.. dia mencintai anak laki-laki yang lain. Kisahnya telah menjadi legenda sekolah, dia menemukan anak laki-laki itu di bawah hujan di sore hari," terang Ryu.
Wanita itu tersenyum, "Sepertinya gadis yang kamu cintai ini bukan gadis biasa ya? Latar keluarganya.. apa dia termasuk keluarga bangsawan?" tanya wanita tersebut.
Ryu mengangguk mengiyakan, "Beberapa anak keluarga petinggi lainnya juga bersekolah di tempat yang sama, tapi Zeana berbeda. Dia seolah tidak terikat seperti anak-anak lainnya," ungkap Ryu. "Dia.. seolah bisa menjadi dirinya sendiri tanpa takut dibenci, aku mengaguminya karena itu. Dia punya banyak kelebihan, hingga tak kutahu di mana letak cacatnya," jelas Ryu.
"Hidupnya mungkin di keluarga yang tidak mengikat, aku tinggal di keluarga bangsawan, dan menyaksikan sendiri bagaimana mereka mendidik putra-putri mereka. Aku sendiri merasa tercekik," aku wanita itu dengan ingatan melayang pada majikannya.
"Yah, itu adalah realita yang kejam. Di mana orang-orang biasa malah ingin menjadi bagian dari keluarga seperti kami, sedangkan kami malah ingin hidup bebas seperti mereka," curhat Ryu.
***
"Jujur ya, setelah gue kesini, gue jadi pengen ke Italia!" jerit Zeana excited.
Nathan menepuk dahinya kesal, "Kapan-kapan aja deh Ze! Sekalian kasih makan merpati!"
Zeana mengangguk-angguk setuju, melihat pemandangan Arc The Triomphe yang berdiri megah di depannya.
"Masuk keajaiban dunia ga sih?" tanya Irvi sembari berselfie ria.
"Gue bukan pelajar rajin, jadi jangan tanya gue," celetuk Zeana berhadiah jitakan gratis dari abang satu-satunya itu.
"Siapa arsitek bangunan ini?" tanya Nathan.
"Google lebih tahu," jawab Irvi asal.
Zeana menghela nafas, "Louis-Étienne Héricart de Thury, Jean Chalgrin. Cmiiw," balas Zeana cepat dan lancar.
"Bener ga tuh?" tanya Irvi dengan wajah meremehkan dan tidak percaya.
"Ngeremehin mulu, disuruh jawab ujung-ujungnya ngandelin google yang kadang ngasih jawaban sesat!" rutuk Zeana.
"Heh, dosa lo ngefitnah google kejam gitu, kata siapa mbah google jawabannya sesat?" heran Nathan.
Zeana berdecak sembari merotasikan matanya malas, "Ketika gue cari artikel gimana caranya bisa gendut, si Google jawab.. bangun siang, ga boleh kebanyakan mikir, sering minum susu, tapi hasilnya zonk! Giliran temen gue ngasih gue saran, kalo punya makanan jangan dibagi-bagi, makan sebelum tidur, dan akhirnya berat badan gue naik tiga kilo! Ini membuktikan bahwa teman lebih bisa dipercaya daripada google!" ketus Zeana dengan wajah polos dari dosa.
Irvi melotot, "Anjir! Tiga kilo lo malah bangga, gue nih berusaha diet kagak bisa!"
"Lo mah lo, gue kan beda," sahut Zeana malas, ia sudah kepalang lelah mendengarkan curhatan kakaknya mengenai berat badannya yang naik. Sedangkan jika dilihat-lihat, tubuh kakaknya itu sudah pas, dan tidak terlalu gemuk seperti yang dia bilang. Itu membuat Zeana pusing sendiri.
"Heran dah gue, ada ya cewek pengen gendut?" celetuk Irvi dengan geleng-geleng kepala, ia baru tahu detik ini jika Zeana ingin gendutan.
Zeana berdecak, "Ga ada yang ditanyain lagi? Kebetulan banget gue tahu beberapa tentang Arc The Triomphe," lontar Zeana dengan wajah mendongak, menatap langit biru bersih dari gumpalan awan.
Nathan tersenyum, mengacak rambut Zeana.
"Diameter bangunan ini berapa sih panjangnya, Ze? Kalo gue boleh tahu?" uji Nathan.
Zeana mengambil nafas panjang, lalu, "Arc de Triomphe memiliki tinggi keseluruhan 50 meter yaitu 164 kaki, dengan lebar 45 meter atau 148 kaki dan kedalaman 22 meter atau 72 kaki, sedangkan kubah besarnya adalah 29,19 meter atau 95,8 kaki, lalu tinggi dan lebar 14,62 meter 48,0 kaki. Kubah melintang yang lebih kecil memiliki tinggi 18,68 meter atau 61,3 kaki dan lebar 8,44 m atau 27,7 kaki. Sekian, terima gaji!" Zeana langsung ngos-ngosan setelah mengatakannya.
Irvi terperangah. Nathan berdecak kagum.
"Ze, lo salah minum obat ya?" tanya Irvi sedikit ngaco.
"Lo yang salah minum obat, enak aja nuduh," sahut Zeana tak mau kalah.
Nathan tersenyum kecil, "Gue ga nyangka punya adik sepinter ini!"
Zeana tersenyum menatap Nathan, dengan hati hangat-hangat dingin.
'Selama ini cuma kak Nathan dan kak Irvi yang puji gue, tapi.. kalo papa dan mama tahu, apa mereka juga bangga?' tanya Zeana dalam hatinya.