Zeana duduk tegak menatap jendela, lebih tepatnya kearah luar jendela. Jutaan tetes air berjatuhan dari langit, suasana di perpustakaan rumah nyaman sekali.
'Tahu begitu, sejak dulu gue nge-basecamp disini aja dari pada di rooftop.. yang meskipun kena belaian angin, bisa setia menanti senja dan menikmati fajar, tetep aja kalau hujan lebih enak disini.'
Zeana menyeruput teh madu yang sedikit panas, sambil membayangkan, bagaimana keadaan orang yang sedang dilanda patah hati kalau melihat hujan? Bagaimana perasaan orang yang kabur dari rumah lalu kehujanan, dan berbagai bagaimana-bagaimana yang lain.
Zeana memfokuskan pikirannya kepada laptop yang sejak tadi sudah menemaninya, ia mencoba mengetik sesuatu, namun merasa tidak pas, lalu ia menghapusnya lagi. Menemukan ide baru, mencoba mengetiknya, dan merasa ada yang salah, lalu di-delete lagi. Begitupun seterusnya, sampai Zeana suntuk sendiri. Sebuah tangan hangat menyentuh pundaknya.
"Eh? Kak Nathan? sejak kapan elo nongol disini?" Zeana terperanjat kaget. Sejujurnya ia sedikit jengkel karena kakaknya itu masuk perpustakaan pribadinya tanpa seizinnya, hanya Nathan yang memiliki akses masuk ke perpustakaannya selain dirinya. Kakak perempuannya, serta orang tuanya tidak punya.
Dihadapannya kini, telah ada seorang lelaki bertampang rupawan, menatapnya jahil, namun senyum yang terukir diwajahnya sangat jelas penuh kasih sayang dan ketulusan.
"Ngakak gue! Kaget kan Lo? Kaget ga?! Kaget gak?! Kaget gak?! Kagetlah masa enggak! Woahahahahaha!" Tawanya masih saja berderai, dan sepertinya dia belum berniat menghentikannya.
Di keluarga Maldwyn, yang paling Zeana sayang adalah kakak pertamanya, Nathan Maldwyn. Ketika ditanya mengapa Zeana berpikir demikian, Zeana hanya menjawab santai, "kak Nathan itu baik, dia bisa jadi pendengar yang baik, pembicara yang hebat, pemberi nasehat paling handal, dan pengawal yang ga bisa gue ragukan lagi kesetiaannya."
Sesaat setelah Zeana melontarkan jawaban itu, sang ayah, Evan Alexo Maldwyn terbahak hingga ia tersedak ludahnya sendiri. Candice Arabella Maldwyn, sang ibu hanya tersenyum. Mereka berdua tahu bahwa apa yang dikatakan Zeana memang benar adanya.
"Hei! Ze! Elo ga papa kan?" panggil Nathan sambil melambai-lambaikan tangannya di depan muka Zeana yang memasang raut wajah datar.
Zeana mengerjapkan matanya, "Eh, ga papa kok kak, lagi jengkel aja, mau bikin tulisan apa gitu, tapi ngerasa serba salah." Zeana menghela nafas malas, "Jadi hasilnya gini deh." Zeana menunjuk layar laptopnya yang masih berwarna putih bersih, tanpa ada tulisan sekecil apapun disana.
"Mau bikin essay?" Nathan mengerutkan alisnya, menatap Zeana memasatikan.
"Hem, terserahlah kak, whatever, seenggaknya duduknya gue selama satu jam disini membuahkan sesuatu."
Dan Nathan mengangguk mengerti.
"Kenapa elo gak tulis sesuatu tentang hujan?" tutur Nathan sambil menatap keluar jendela. Matanya menerawang kearah langit yang masih setia mencurahkan air dari sana.
"Iya ya, bego amat sih gue!" Zeana yang baru menyadari hal itu langsung mengetuk-ngetuk keningnya dengan jari telunjuk.
"Dan kayanya elo ngutang ke gue lagi deh." Nathan tersenyum nakal.
Mendengarnya, Zeana membanting pena yang sedari tadi ia mainkan ke sembarang arah. "Perhitungan amat sih elo jadi orang?!"
Nathan yang jahil memang suka meminta imbalan pada Zeana jika ia bersedia memberi saran atau ide.
"Kalo ga cermat ngitung, kitanya yang rugi, dodol!" Nathan menyentil telinga Zeana.
Zeana meringis, "Gue do'ain kuburan lo sempit, Kak!"
Nathan terbahak, "Lah bodo amat! Emang gue peduli?!"
"Pergi sana! Ganggu aja!" Zeana mengibaskan tangannya, meminta Nathan untuk pergi segera.
Nathan mendengus, mengelus dadanya dengan wajah datar, "Gini amat ya punya adik modelan kek elo!"
Zeana melirik sinis Nathan dan tersenyum sinis, "Heh! Emang gue pernah minta jadi adik lo apa?!"
"Astaghfirullah, innalillahi, lahaula, Allahu Akbar! Mati sia-sia gue ngurusi elo!" jerit Nathan frustasi.
"Lah gue ga minta elo ngurusi gue ya kak," kilah Zeana dengan bibir monyong.
Nathan tersenyum sadis dalam hati, lalu, "Gue ngambek, ga usah ngomong sama gue."
Mata Zeana membelalak, "Kak! Omongannya!"
Nathan mengedikkan bahunya, lalu berbalik untuk pergi. Zeana gelagapan, segera menyentak kan kursinya dan memeluk kakaknya dari belakang.
"Ye, kak Nathan baperan. Digituin doang udah marah," rengek Zeana dengan nada memelas. Dalam hati ia benar-benar takut jika Nathan merealisasikan ucapannya, sebab, selama ini, kakaknya yang satu itu tak pernah mengambek padanya.
Nathan tersenyum kecil.
"Kak Nathan kok diem sih? Nanti gue bilangin mama loh ya!" ancam Zeana yang sebenarnya ketakutan.
"Kak Nathan!" bentak Zeana ketika mendapati diam dari Nathan.
"Gue beliin apa yang lo mau deh, Kak!" rayu Zeana.
Nathan yang tetap bergeming membuat Zeana ketakutan, tangan Zeana bergetar. Nathan melirik tangan adik perempuannya yang masih memeluknya mulai merenggang.
"Ya.. ya udah. Kak Nathan pasti punya pekerjaan kan? Maaf, gue nahan elo." Zeana melepas pelukannya perlahan dan berjalan gontai kearah kursi yang tadi didudukinya.
Nathan masih terdiam, hingga beberapa menit kemudian, di ruangan sunyi penuh buku yang beraroma hujan itu terdengar isak tangis Zeana.
Jantung Nathan serasa dicabut paksa dari tempatnya, seserius itukah candaannya tadi hingga membuat adik perempuannya menangis?
"Ze.." panggil Nathan.
"Zea.." panggil Nathan lagi.
Nathan menghela nafas panjang, berjalan pelan kearah Zeana dan mengelus puncak kepalanya.
"Kenapa nangis?"
Zeana menarik kepalanya agar jauh dari elusan Nathan.
"Ze, gue bicara." Nathan menekan kata-katanya, emosinya perlahan naik karena tidak diacuhkan.
Zeana masih menangis.
Nathan mendengus sebal, lagi-lagi dia yang harus minta maaf. Padahal harusnya, dia yang marah kan?
"Gue minta maaf Ze."
Nathan menggertakkan rahangnya, berusaha menulikan telinga dan memaafkan dirinya sendiri yang telah membuat adiknya menangis.
"Elo jahat kak!" Zeana berteriak marah.
Nathan menelan ludahnya, lihatlah, wanita memang tidak pernah mau disalahkan!
"Ya, gue jahat. Gue minta maaf."
Tanpa diduga, Zeana langsung bangkit dan memeluk Nathan erat. Zeana menangis didada kakaknya.
"Jangan gitu lagi kak! Gue takut! Minta maaf!" rengek Zeana.
Senyum Nathan mengembang. Ia mengelus kepala adiknya.
"Makasih ya udah minta maaf," ledek Nathan seraya mencubit hidung mancung adiknya.
"Sama-sama," balas Zeana, tersenyum lebar pada Nathan. Masih dengan bekas air mata yang terlihat jelas diwajahnya. Dan hal itu membuat Nathan menghapusnya dengan penuh kelembutan.
"Ya udah, aku mau ketemu mama dulu."
Setelah mendengarnya, bibir Zeana langsung mengerucut, "Masih marah ya? Ih elo nyebelin banget sih kak! Katanya udah maafin gue?" Zeana mencak-mencak, lagi.
Nathan terkekeh, merasa gemas dengan adiknya yang bertingkah kekanakan.
"Insya Allah nanti sekitar jam setengah enam, gue balik kesini lagi. Dan yang pasti, gue bakal lihat karya baru lo." Nathan mengedipkan mata kirinya dan keluar. Dan sekarang Zeana sendirian lagi, untuk yang kesekian kalinya.
Setelah menggaruk tengkuknya sesaat, Zeana membuka memorinya dan mengenang masa lalunya, agar ia berkesempatan menemukan sesuatu yang bisa ia tulis.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Dear:You
Hujan turun sore ini
Membuat memoriku terpaksa mengulangi
Semua momen bersamamu yang pernah terjadi
Dan itu sempat menimbulkan perih
...
Rintik hujan itu terlihat samar
Aku merasa luka hati semakin memar
Aku mencoba segala cara untuk menghindar
Perlukah aku menggunakan cara kasar?
...
Ah...
...
Mungkin aku perlu bertanya
Harus ada berapa tetes air mata?
Harus berapa kali terluka?
Sampai kapan dalam hati selalu tinggal jutaan lara?
...
Mengapa kau tak pernah menyadari
Sulit sekali membuatmu mengerti
Hakikatnya perasaan selalu rumit
Begitupun ujungnya, selalu berbelit
...
Aku sangat ingin pergi
Melupakan rasa ini
Aku mohon kau mengerti
Tentang apa yang dirasakan diri
...
:Di suatu sore, ketika senja tak tampak tertutup
jutaan gumpalan awan yang telah menjelma
menjadi tetes air yang tak terhitung jumlahnya.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Zeana mengerjapkan matanya, ia hanya butuh satu menit untuk selesai merangkainya. Namun hasilnya mengagetkan.
"What the fuck! Kenapa gue bisa pake kata dear segala ya?! Gila gue!" Zeana berjingkat jijik. Selalu bereaksi demikian jika karyanya terasa menggelikan ketika ia baca ulang. Meski begitu, ia tak ingin dan tak berminat merubahnya. Ia menganggap kesakralan suatu karya adalah ketika ia membiarkan hal yang menurutnya janggal atau tak enak dibaca, tetap ada disana. Sebagai tanda, manusia itu selalu punya cela untuk salah. Dan Tuhan lah yang Maha Benar.
Zeana meresapi keheningan, sunyi sekali, dan dia selalu suka keadaan ini, dimana dia bisa mengenang segalanya tanpa takut terganggu.
Agar ketika nanti dia terlanjur tenggelam dalam lamunan duka, tak ada siapapun yang mampu menghentikannya. Dan dia sendiri pun, tak sedikitpun berniat menghentikannya. Apapun yang terjadi padanya.