Cowok itu tercekat sesaat, untuk seorang gadis remaja yang usianya masih sekitar 10 tahun, gadis itu cantik sekali. Meskipun postur tubuhnya pendek tapi pahatan wajahnya sangat sempurna. Matanya lebar, khas mata kucing, bulu matanya panjang dan lentik, hidungnya mancung dan kecil, bibir merah yang mungil dan tipis menggigil kedinginan, rambut hitamnya lebat, lurus dan sepertinya terasa lembut jika dibelai.
"Then?" Cowok itu berusaha mengenyahkan bayangan gadis itu dari pikirannya dan bertanya apa saja yang ia rasakan jika itu berhubungan dengan hujan.
"Tapi juga menikmati, dan akan selalu menanti," jawab gadis itu dengan wajah tertunduk, matanya melihat rumput hijau halus yang ia injak.
Dan kemudian hening mengambil alih. Tak ingin lebih lama terjebak kecanggungan, Vando berusaha membuka obrolan.
"Oi, elo ngambil kelas inti sastra di les ini ya?"
Vando mendapati alis gadis itu menyatu.
"Kenapa emang?" tanya gadis itu dengan raut penasaran yang tampak jelas.
"Gue ngerasa kalo elo pinter nyusun kata," ujar Vando yang kemudian mengerjap lalu buru-buru menyahut, "Jangan kepedean, gue cuma ngerasa." Vando mengalihkan pandangannya kearah lain, merasa malu karena telah memuji gadis itu secara tak langsung.
"Ya, gue suka sastra, sejak kecil gue mesti seneng cari tahu segala sesuatu tentang penyair-penyair yang dulu terkenal, mempelajari satu persatu kata-katanya," jawab gadis itu jelas.
"Siapa penyair yang paling elo suka?" tanya Vando merasa ingin tahu, ia ingin mengetahui tentang gadis itu lebih mendalam.
"Secara langsung sih, enggak ada.. tapi gue suka baca karya-karyanya Khalil Gibran, Pramoedya Ananta Toer, Chailil Anwar, dan masih banyak lagi, gue ga harus nyebutin semuanya kan?" kekeh gadis itu, lalu terdiam.
Vando tersenyum smirk, ia ingin gadis itu membuktikan ucapannya. "Bisa lo bacain salah satu puisinya Kahlil Gibran ga?"
Gadis itu mengangguk, tersenyum kecil. "Judulnya Penyair."
"Bacain gih!" perintah Vando semakin penasaran.
Gadis itu berdeham sejenak, lalu mengangkat dagunya. Mengalihkan tatapnya ke arah lain. Arah yang dilihatnya sendiri.
"Dia adalah rantai penghubung antara dunia ini dan dunia akan datang, Kolam air manis buat jiwa-jiwa yang kehausan, Dia adalah sebatang pohon tertanam Di lembah sungai keindahan Memikul bebuahan ranum bagi hati lapar yang mencari."
"Dia adalah seekor burung 'nightingale.' Menyejukkan jiwa yang dalam kedukaan. Menaikkan semangat dengan alunan melodi indahnya."
"Dia adalah sepotong awan putih di langit cerah, naik dan mengembang memenuhi angkasa. Kemudian mencurahkan karunianya di atas padang kehidupan. Membuka kelopak mereka bagi menerima cahaya."
"Dia adalah malaikat yang diutus Yang Maha Kuasa mengajarkan Kalam Ilahi. Seberkas cahaya gemilang tak kunjung padam. Tak terliput gelap malam, tak tergoyah oleh angin kencang Ishtar, dewi cinta, meminyakinya dengan kasih sayang, dan nyanyian Apollo menjadi cahayanya."
"Dia adalah manusia yang selalu bersendirian, hidup serba sederhana dan berhati suci Dia duduk di pangkuan alam mencari inspirasi ilham, Dan berjaga di keheningan malam, Menantikan turunnya ruh."
"Dia adalah si tukang jahit, yang menjahit benih hatinya di ladang kasih sayang dan kemanusiaan menyuburkannya."
"Inilah penyair yang dipinggirkan oleh manusia pada zamannya, dan hanya dikenali sesudah jasad ditinggalkan. Dunia pun mengucapkan selamat tinggal dan kembali ia pada Ilahi."
"Inilah penyair yang tak meminta apa- apa dari manusia, kecuali seulas senyuman. Inilah penyair yang penuh semangat dan memenuhi cakrawala dengan kata-kata indah. Namun manusia tetap menafikan wujud keindahannya."
"Sampai bila manusia terus terlena? Sampai bila manusia menyanjung penguasa yang meraih kehebatan dengan mengambil kesempatan? Sampai bila manusia mengabaikan mereka yang boleh memperlihatkan keindahan pada jiwa-jiwa mereka simbol cinta dan kedamaian?"
"Sampai bila manusia hanya akan menyanjung jasa orang yang sudah tiada? Dan melupakan si hidup yg dikelilingi penderitaan yang menghambakan hidup mereka seperti lilin menyala bagi menunjukkan jalan yang benar bagi orang yang lupa."
"Dan oh para penyair, jalian adalah kehidupan dalam kehidupan ini: Telah engkau tundukkan abad demi abad termasuk tirainya."
"Penyair.. Suatu hari, kau akan merajai hati-hati manusia Dan, karena itu kerajaanmu adalah abadi."
"Penyair.. Periksalah mahkota berdurimu, kau akan menemui kelembutan di balik jambangan bunga-bunga Laurel.."
Vando terperangah.
"Dari 'Dam'ah Wa Ibtisamah' -Setitis Air Mata Seulas Senyuman," lanjut si gadis.
"Elo.. hafal?" tanya Vando patah-patah, menatap gadis itu tak percaya sekaligus kagum.
Gadis itu mengangguk antusias, "Gue keseringan baca."
"Gitu." Vando manggut-manggut, meski hatinya berulangkali menyorakkan kekaguman.
"Iya gitu."
"Apa lagi yang elo hafal?" Vando bertanya lagi.
"Puisi?" tanya gadis itu memperjelas.
Vando mengangguk. Ia menyukai gadis itu ketika ia membacakannya, ia merasa memasuki dimensi lain yang tak ia kenali. Ia ditarik masuk dengan sedikit hipnotis yang memabukkan.
"Oke, masih sama ya. Puisinya Kahlil Gibran. Judulnya, Dua Keinginan."
Vando mengangguk kuat, meminta hatinya bersabar karena si gadis tak kunjung membacakannya.
Vando menatap aneh gadis itu ketika ia menyelipkan anak rambutnya yang sepanjang dagu kebelakang telinga dan duduk bersila diatas rumput. Vando yang tak tahu harus merespon apa, memilih untuk ikut duduk. Tetap ditemani dengan hujan yang deras.
"Di keheningan malam, Sang Maut turun atas hadrat Tuhan menuju ke bumi. Ia terbang melayang-layang di atas sebuah kota dan mengamati seluruh penghuni dengan tatapan matanya. Ia menyaksikan jiwa-jiwa yang melayang-layang dengan sayap-sayap mereka, dan orang-orang yang terlena di dalam kekuasaan Sang Lelap."
"Ketika rembulan tersungkur di kaki langit, dan kota itu berubah warna menjadi hitam kepekatan, Sang Maut berjalan dengan langkah tenang di celah-celah kediaman - berhati-hati tidak menyentuh apa-apa pun - sehingga tiba di sebuah istana. Ia masuk melalui pagar besi berpaku tanpa sebarang halangan dan berdiri di sisi sebuah ranjang, dan ketika ia menyentuh dahi si lena, lelaki itu membuka kelopak matanya dan memandang dengan penuh ketakutan."
"Melihat bayangan Sang Maut di hadapannya, dia menjerit dengan suara ketakutan bercampur aduk kemarahan, 'pergilah kau dariku, mimpi yang mengerikan! Pergilah engkau makhluk jahat! Siapakah engkau ini? Dan bagaimana mungkin kau memasuki istana ini? Apa yang kau inginkan? Tinggalkan rumah ini dengan segera! Ingatlah, akulah tuan rumah ini. Nyahlah kau, kalau tidak, kupanggil para hamba suruhanku dan para pengawalku untuk mencincangmu menjadi kepingan!'"
"Kemudian Maut berkata dengan suara lembut, tapi sangat menakutkan, 'akulah kematian, berdiri dan tunduklah padaku.'"
"Dan si lelaki itu menjawab, 'apa yang kau inginkan dariku sekarang, dan benda apa yang kau cari? Kenapa kau datang ketika urusanku belum selesai? Apa yang kau inginkan dari orang kaya berkuasa seperti aku? Pergilah sana, carilah orang-orang yang lemah, dan ambillah dia! Aku ngeri melihat taring-taringmu yang berdarah dan wajahmu yang bengis, dan mataku sakit menatap sayap-sayapmu yang menjijikkan dan tubuhmu yang meloyakan.'"
"Namun selepas tersadar, dia menambah dengan ketakutan, 'tidak, tidak, Maut yang pengampun, jangan pedulikan apa yang telah kukatakan, karena rasa takut membuat diriku mengucapkan kata-kata yang sesungguhnya terlarang. Maka ambillah onggokan emasku semaumu atau nyawa salah seorang dari hamba-hambaku, dan tinggalkanlah diriku. Aku masih mempunyai urusan kehidupan yang belum selesai dan berhutang emas dengan orang. Di atas laut, aku memiliki kapal yang belum kembali ke pelabuhan, permintaanku, jangan ambil nyawaku. Ambillah olehmu barang yang kau inginkan dan tinggalkanlah daku. Aku punya perempuan simpanan yang luar biasa cantiknya untuk kau pilih, Kematian. Dengarlah lagi : Aku punya seorang putera tunggal yang ku sayangi, dialah sumber kegembiraan hidupku. Kutawarkan dia juga sebagai galang ganti, tapi nyawaku jangan kau cabut dan tinggalkan diriku sendirian.'"
"Para penduduk telah pulas menganyam mimpi di ubun-ubunnya di tengah pohon-pohon kenari. Jiwa mereka mempercepatkan langkah mengejar negeri mimpi, Cintaku. Lelaki-lelaki lunglai menggendong emas, dan tebing curam yang akan dilalui melemaskan lutut mereka. Mata mereka mengantuk karena dililit kesulitan dan ketakutan. Mereka melemparkan tubuh ke tempat tidur sebagai tempat berlindung dari hantu- hantu yang menakutkan dan mengerikan, Cintaku. Hantu-hantu dari masa lalu berkeliaran di lembah-lembah. Jiwa para raja melintasi bukit-bukit. Fikiranku yang berhias kenangan menyingkap kekuatan bangsa Chaldea, kemegahan Arab."
"Sang Maut itu mengeruh,'engkau tidak kaya tapi orang miskin yang tak sadar diri.' Kemudian Maut mengambil tangan orang hina itu, mencabut nyawanya, dan memberikannya kepada para malaikat di langit untuk menghukumnya."
"Dan Maut berjalan perlahan di antara setinggan orang-orang miskin hingga ia mencapai rumah paling daif yang ia temukan. Ia masuk dan mendekati ranjang di mana tidur seorang pemuda dengan kelelapan yang damai. Maut menyentuh matanya, anak muda itu pun terjaga. Dan ketika melihat Sang Maut berdiri di sampingnya, ia berkata dengan suara penuh cinta dan harapan, 'aku di sini, wahai Sang Maut yang cantik. Sambutlah rohku, karena kaulah harapan impianku. Peluklah diriku, kekasih jiwaku, karena kau sangat penyayang dan tak kan meninggalkan diriku di sini. Kaulah utusan Ilahi, kaulah tangan kanan kebenaran. Bawalah daku pada Ilahi. Jangan tinggalkan daku di sini.'"
"'Aku telah memanggil dan merayumu berulang kali, namun kau tak jua datang. Tapi kini kau telah mendengar suaraku, karena itu jangan kecewakan cintaku dengan menjauhi diri. Peluklah rohku, Sang Maut yang dikasihi.'"
"Kemudian Sang Maut meletakkan jari- jari lembutnya ke atas bibir yang bergetar itu, mencabut nyawanya, dan menaruh roh itu di bawah perlindungan sayap-sayapnya."
"Ketika ia naik kembali ke langit, Maut menoleh ke belakang - ke dunia - dan dalam bisikan amarah ia berkata, 'hanya mereka di dunia yang mencari Keabadianlah yang sampai ke Keabadian itu.'"
Vando terdiam, berusaha memahami makna lain dari puisi yang dibacakan oleh si gadis.
Hening kembali menguasai. Vando tak nyaman dengan keadaan ini, sedangkan si gadis tampak tak berniat mencari topik obrolan.
Vando memejamkan matanya, atmosfer di sekelilingnya seolah menekannya keras, bulu kuduknya berdiri ketika mengingat puisi - yang sebenarnya tak seram - yang dibacakan gadis tersebut.
"Lo ingat ga kalo ada yang ketinggalan?" Vando berdeham, memecah keheningan yang canggung.
"Gue cuma bawa buku latihan IPA, persiapan ujian matematika, tiga buku tulis, novel rindu, satu bulpen hitam, dua bulpen biru, dan tipe-x. Dan rasanya semua itu sudah ada ditas gue sekarang," tangkis gadis itu mencoba mengingat-ingat lagi. Vando tersenyum dan mengulurkan tangan kanannya.
"Kita bahkan belum kenalan secara langsung, lo lupa ya?" Vando terkekeh, lalu menyodorkan tangannya. "Kenalin, nama gue Jovando Adalvino Taiso, anak tunggal dari pemilik Taiso Company." Vando mengembangkan senyumnya, ia selalu merasa bangga ketika mengatakannya.
Melihat gadis itu malah tersenyum lembut - alih-alih kaget dengan mata terbelalak - Vando merasa heran. Apa dia tidak mengetahui betapa besar Taiso Company? Atau dia memang tidak tahu?
"Ah ya.. gue lupa ngasih tahu nama gue," tutur gadis itu tegas, ia menajamkan matanya. Membuat Vando merasa asing karena tak mendapati kesan polos dalam tatapan mata gadis itu. "Kak Vando, nama gue Zeana Arvarenzya Maldwyn, putri ke tiga dari pemilik Jupiter Company, panggil aja Zeana." Zeana tersenyum, tapi matanya tidak. Matanya mendadak berubah setajam elang.
"Eh! Jupiter Company?" Kini Vando yang kaget dan melongo, 'bukannya Jupiter Company adalah penanam saham terbesar di perusahaan bokap?' Vando berbisik dalam hatinya, mengamati Zeana dari ujung kepala hingga ujung kaki.
Lalu menyadari bahwa penampilan Zeana sangat simpel dan tidak glamour seperti gadis-gadis konglomerat kebanyakan.
"Hola? Kak Vando ngelamun ya? Supir gue udah datang." Zeana menunjuk sebuah Limousine hitam yang bertengger di samping kiri jalan.
"O..oh ya.. pulanglah.." Vando agak gugup.
Tapi jawaban Vando membuat Zeana merasa bingung.
"Kak Vando ga ikut pulang bareng aja?" Zeana mencoba berbaik hati dengan menawarkan tumpangan yang langsung ditolak Vando dengan alasan kalau supirnya pasti datang setelah ini.
"Ya udah.. hati-hati ya kak!" Zeana menoleh kepada Vando dan mengeratkan tangannya pada pegangan tas saat berlari kearah mobilnya.
Dan meninggalkan Vando termangu sendiri disana, menatapi mobil yang membawa raga Zeana hingga ia hilang tertelan jarak.