Chereads / De Pluvia / Chapter 6 - 4. Pluit. <Hujan-hujanan>

Chapter 6 - 4. Pluit. <Hujan-hujanan>

Vando melempar kunci mobilnya kepada satpam bagian garasi yang langsung sigap menangkapnya. Vando menghela nafas, satu Lamborghini berwarna hitam lenyap, pertanda bahwa sang ayah tidak ada dirumahnya.

Dan memang, Lamborghini itu tak pernah bertengger di garasi, paling mentok didepan istana ini, dan itu hanya berlangsung beberapa menit.

Vando mengenyahkan pikirannya secepat mungkin, sebelum memorinya melanjutkan ke arah hal yang begitu sensitif baginya.

Vando membuka kamarnya dengan gaya malas, ia merasa bosan dan ingin segera bebas dari belenggu tak kasat mata ini. Namun setiap rencana-rencana yang akan ia lakukan untuk terbebas mulai terbentuk, seri ingatan tentang ayahnya yang hanya menatap dingin padanya hadir, bersama sang bunda yang meraih tubuh kecilnya dan meletakkannya di pangkuannya yang hangat.

Sebuah rasa perih dan sesak, dengan tidak sopannya menyelinap memasuki ruang hatinya.

Vando melempar jasnya keatas kasur dan membuka pintu balkon dengan kasar. Bertepatan dengan rintik hujan pertama yang turun dimuka bumi.

"Jovan! Ga boleh hujan-hujanan, sayang. Kamu habis aja keluar dari rumah sakit, nanti kalo kamu sakit lagi gimana? Bunda ga mau loh ya nungguin kamu disana. Emang ga sakit apa disuntik?"

Ucapan sang bunda beberapa tahun silam menggema dalam pikirannya. Bibirnya mengulas senyum tipis yang menyedihkan.

"Bunda," tutur Vando sembari menengadahkan tatapannya kearah langit. Berharap, bundanya mendengar panggilannya.

Setetes air mengalir dari sudut mata kirinya, berbaur dengan rintik hujan yang meluncur dari langit.

"Bunda, maaf."

Genggaman Vando mengerat pada besi pinggiran balkon.

"Maaf kalo Jovan ga berhasil jadi putra bunda yang baik," lirih Vando. Ia mengeratkan rahangnya.

"Tapi, lihatlah Jovan bunda, putramu telah menjadi dewasa sebelum waktunya. Keadaan telah memaksanya, bunda! Kenapa hidup Jovan harus seberat ini Bun?"

Vando memukul besi pembatas dengan penuh amarah. Rindu yang ia pendam beberapa tahun terakhir ini kembali menampakkan eksistensinya, membuatnya kembali merasa kesepian.

Waktu terus berjalan, sang waktu tidak pernah mengistimewakan manusia dengan membuat dirinya berhenti berjalan demi seorang manusia yang dilanda bahagia, atau kembali ke masa lalu untuk mengobati rindu yang menggebu.

Namun, waktu berbaik hati menyimpan kenangan-kenangan indah yang sulit terlupakan.

Suara ponsel berbunyi nyaring, Vando yang terlanjur larut ditengah kedamaian hujan tersentak kaget.

"Siapa?" Vando mengernyit bingung ketika 5 detik yang ia dapat hanya hening.

"Nirina."

Genggaman Vando pada ponselnya mengerat, amarahnya muncul perlahan.

"Ngapain lo nelpon gue?"

Suara helaan nafas terdengar dari ujung sana, "Tolong dengerin penjelasan aku dulu, By!"

Vando berdecak, "jangan bikin gue muntah gara-gara denger panggilan menjijikkan itu lagi!"

"Ak, aku, gue minta maaf! Sorry Van, gue ga pernah-" Suara isak tangis mulai terdengar.

"Anggap aja kita ga pernah saling kenal."

Tut..

Sambungan telepon terputus.

Vando membenci segala yang berhubungan dengan wanita, apapun itu. Wanita dalam hidupnya selalu membawa sial, wanita yang membuat 1 wanita yang paling ia cintai pergi untuk selama-lamanya, wanita yang ia percaya satu-satunya pergi karena wanita lain, wanita membuat reputasi baiknya dalam sekolah tercoreng, wanita telah membuat hidupnya hancur dan lirih, wanita telah membuatnya berada ditempat sekarang, puncak kebencian.

"Tuan!" Panggilan dari arah pintu terdengar keras.

Vando menoleh enggan.

"Apa?" Vando menjawab tak kalah kencang.

Pintu terbuka, seorang maid masuk membawa telepon rumah.

"Siapa yang menyuruhmu masuk?!" Vando menegakkan bahunya, mengangkat dagunya, menatap penuh murka pada maid yang kakinya gemetar dan mundur perlahan.

"Saya tanya siapa yang menyuruhmu masuk?" tanya Vando dengan nada menusuk.

"Jawab!"

Maid itu semakin menunduk, Vando melangkahkan kakinya masuk ke arah kamar dan berjalan menuju maid yang telah menjatuhkan telepon rumah dari genggamannya.

"Saya bertanya padamu, Karina!" Vando membentak dengan nada lebih tinggi dari sebelumnya.

"Ti.. ti.. dak ada,Tuan. Ta.. ta.. pi, saya kira-"

Brak!

Bogeman mentah Vando layangkan pada daun pintu.

"Ma.. maaf Tuan.. maafkan aku.."

Percayalah, Karina benar-benar ingin bersimpuh dan bersujud saat ini juga. Namun aura tuan mudanya yang dingin dan penuh intimidasi serta ancaman maut membuatnya tetap berdiri dengan kaki selembek jelly.

"Apa kamu tahu peraturan yang telah saya buat Karina? Kamu telah menghafalkannya sebelum kamu menginjak lantai rumah ini bukan?"

Karina hanya bisa mengangguk.

"Kamu tahu apa konsekuensi dari pelanggaranmu barusan kan?"

Karina tersentak, ia tahu. Pelanggaran terberat pada peraturan para pembantu di rumah ini adalah memasuki area pribadi tuan mudanya.

"Aku.. aku berjanji tidak akan mengulanginya lagi Tuan, aku.. aku akan melakukan apa saja yang Tuan perintahkan, aku akan-"

"Masuk!" Perintah Vando terdengar begitu menakutkan baginya.

Dia bukan wanita polos yang tidak tahu bahwa perintah tuan mudanya ambigu. Ia wanita yang meski usianya 10 tahun lebih tua dari Vando, tapi masih awet muda.

Memangnya apalagi arti dari permintaan tuan mudanya? Wanita matang dengan pria yang beranjak dewasa dalam satu kamar, ia lebih dari tahu.

Pikiran Karina berjalan tak menentu, ia ketakutan. Namun, melihat tuan mudanya memasang wajah penuh amarah, membuatnya merasa lebih ketakutan lagi.

"Apa saya perlu mengulangi lagi ucapan saya, Karina?" Vando mencondongkan tubuhnya dan berbisik ke telinga Karina dengan suara berat. Itu lebih dari cukup untuk membuat tengkuk Karina terasa dielus.

"Ti... tidak." Karina tergagap.

"Masuk!" bentak Vando, "dan tutup pintunya."

Kali ini dugaan Karina menguat seiring ucapan Vando di kalimat akhir terdengar.

"Baik." Karina menutup pintu dengan perlahan, dan mengikuti arah yang diambil tuan mudanya.

Namun berhenti ketika Vando duduk di ranjang dan menyalakan televisi.

"Tuan, kenapa-"

"Shut your mouth, and speak when I tell you to!"

Karina tergagap, lalu mengangguk.

Vando memencet remot dengan sembarangan, membesar volume, kemudian mengecilkannya, mengganti channel secara random.

15 menit ditelan keheningan membuat kaki Karina kesemutan. Dia betah berjalan tanpa henti selama 2 jam, tapi tidak dengan berdiri kaku selama 15 menit seperti ini.

Karina tergagap, membuka mulutnya lalu kemudian menutupnya lagi, begitu berulang kali. Orang yang melihatnya, pasti akan membandingkannya dengan ikan yang kehabisan air dan menggelepar di atas pasir pantai.

"Tuan, ak-"

Lirikan tajam Vando cukup untuk membuatnya merasa kehilangan suaranya. Vando mendengus kesal, kembali menghadap ke televisi dan melanjutkan kegiatannya yang tadi tertunda.

Karina berdecak dalam hati, entah kenapa ia selalu kalah dengan aura yang tuan mudanya miliki. Dan ia benci dirinya yang lemah.

Karina mengamati televisi yang sepertinya menjadi korban kemarahan tuan mudanya, yang Karina tahu, tuan mudanya selalu memelankan pencetannya pada remote-nya jika channel menampilkan informasi tentang suatu negara di belahan bumi lainnya. Benua Asia.

Pencetan Vando pada remote-nya berhenti di suatu film yang menampilkan adegan perang. Vando menaikkan volume hingga maksimal, dan membantingnya ke arah Karina.

Remote itu jatuh dan berkeping tepat disamping Karina dengan jarak 5 cm, membuat Karina menghela nafas, mengubur rasa takutnya.

"Kemari!"

Panggilan Vando membuat Karina menutup matanya, menetralkan rasa was-was yang melandanya, berjalan maju kearah tuan mudanya yang malah melepas baju.

Kini Karina benar-benar yakin bahwa suatu hal yang tak pernah Karina berikan pada siapapun akan diambil paksa oleh tuan mudanya.

Vando bangkit kearah tempat pakaian kotor dan meletakkan kemejanya disana. Detik itulah Karina tersadar, bahwa pakaian yang tuan mudanya kenakan basah.

Vando berjalan kearah balkon, menatap Karina dengan perintah dimatanya, untuk Karina mengikutinya.

Karina menelan ludah, dengan langkah patah-patah, ia mengambil arah yang telah tuan mudanya lewati. Lihatlah, bahu tegap tuan mudanya yang sedikit menggilap terlihat sangat menggiurkan.

Karina menggelengkan kepalanya, berusaha menghilangkan pikiran joroknya. Ia mempercepat langkahnya sebelum tuan mudanya menambah lagi hukumannya.

Lagipula, tuan mudanya bukan lelaki kejam yang menghukum seorang pelayan dengan tidur bersama dalam satu ranjang bukan?