Zeana memperbaiki letak kacamata hitamnya dan menunduk dalam, di belakangnya, Nathan dan Irvi berjalan santai. Zeana mengeratkan syalnya, merasa tak nyaman dengan suasana bandara.
Ia mungkin sudah berkali-kali mengunjungi berbagai bandara di seluruh dunia, dan ia selalu menghafal setiap atmosfernya. Namun, kali ini berbeda. Zeana merasakan penekanan berat di sini, membuatnya merasa takut dan terancam.
"Kedinginan?" tanya Irvi yang mengamati gerak-gerik adiknya.
Zeana berdeham, "Sedikit."
"Perlu syal tambahan?" tawar Nathan melirik Zeana yang baginya terlihat sedikit aneh.
Zeana cepat-cepat menggeleng, ia tak mau merepotkan kakaknya, lagi pula ia tak merasa benar-benar kedinginan. "Apakah ada bodyguard yang mengawal?" tanya Zeana sembari melirik ke sekelilingnya, ia merasa tak nyaman.
Nathan menatap Zeana penuh selidik, "Ada kok, tapi mereka udah sampai di hotel, kenapa emang?"
Zeana manggut-manggut, berusaha menetralkan detak jantungnya yang berdetak terlalu cepat. Sebuah tangan hangat mampir di pundaknya, membuat Zeana tersenyum tersentak pelan. Zeana melirik si pemilik tangan tersebut, kakak perempuannya. Zeana tersenyum kecil, "Apa kak?"
Irvi menundukkan kepalanya agar menyamai tinggi Zeana, "Lo ngerasa ada yang aneh ga?"
Zeana menelan ludah, "Aneh yang gimana yang lo maksud?" Zeana menatap retina mata kakaknya yang tak bisa menetap pada satu titik, kakaknya itu juga merasa sama tak nyamannya dengan dirinya. Namun, Zeana masih ingin tahu apa yang menyebabkan kakaknya bertingkah demikian.
Zeana tak ingin gegabah menjawab, ia takut memberi jawaban yang justru menambah kepanikan.
"Tsk, gue kira lo tahu!" lirih Irvi dengan nada tinggi, "Gue ngerasa kaya diikuti. Kaya.. diincer gitu, gue liatin lo ngerasa ga nyaman, gue kira gara-gara itu!" ungkap Irvi gamblang.
Zeana mengangguk, "Jangan sampe bocor ke kak Nathan, bisa heboh nanti," pinta Zeana dengan suara selirih mungkin.
Irvi mengangguk setuju, Nathan yang sangat mudah khawatir itu tidak akan bisa diam saja ketika melihat adik-adiknya merasa cemas.
"Kak, nginep di mana nanti?" tanya Zeana berbasa-basi.
"Hôtel Plaza Athénée," jawab Nathan dengan senyum kecil.
Zeana mengangguk, berpura-pura mengerti, ia sendiri merasa familiar dengan hotel yang namanya baru saja disebut Nathan.
Cekrek..
Zeana sontak menghentikan langkahnya.
"Siapa?!" Zeana berteriak ke arah samping kanannya.
Irvi berjingkat kaget, begitu juga dengan Nathan yang langsung memeluk Zeana dari belakang. Irvi merangkul Zeana dan mengelus pundak Zeana.
Bandara kini terasa hening, puluhan pasang mata menatap mereka bertiga. Zeana melirik ke arah tempat duduk disamping mesin penjual minum otomatis, seorang lelaki yang bertubuh kekar dengan mantel hitam yang membungkus tubuhnya memasukkan ponselnya ke saku mantelnya.
Di balik kacamata hitam yang juga digunakan oleh lelaki itu, Zeana berani menjamin, lelaki itu menatapnya tajam penuh ancaman.
Zeana tak bisa menggerakkan tubuhnya karena kungkungan Nathan, padahal ia ingin sekali berjalan ke arah lelaki aneh itu dan menanyakan apa yang barusan ia lakukan.
"Y a-t-il quelque chose que je puisse vous aider, mademoiselle ?¹"
Irvi menepuk pundak Zeana lagi, ia berusaha menenangkan Zeana yang sepertinya ingin sekali berlari lepas dari pelukan Nathan.
Zeana mengalihkan pandang ke arah si satpam dengan tatapan tajam dan tubuh gemetar, ia merasa ada aura membunuh yang sangat kental di sini.
"J'ai trouvé un homme mystérieux portant un manteau noir, en train de prendre des photos.²"
Satpam tersebut mengangguk tanda mengerti, lalu dia mengeluarkan note-nya. Zeana segera menatap ke arah sebelumnya ia mendapati lelaki tersebut.
Tapi sialnya, Zeana kehilangan jejak. Lelaki yang tadi ia tandai, sudah tak lagi di sana.
"Est-ce qu'il essaie de vous prendre en photo, madame ?³" Satpam tersebut berusaha mengorek keterangan lebih dalam.
Pelipis Zeana dialiri keringat dingin, atmosfer disekitarnya seolah menghimpitnya, ia merasa ketakutan tanpa alasan. Ketakutan irasional.
***
"Dia di Bandar Udara Paris-Charles de Gaulle, sekarang mungkin berada di ruang pemeriksaan."
Sang bos yang duduk dengan angkuh di kursi kerjanya meletakkan rokok yang tadi diapit dengan jari tengah dan jari telunjuk.
"Bersama siapa saja dia kemari?"
"Menjawab, Bos. Dia kemari bersama dengan dua saudaranya."
Sang bos menyalakan ponselnya dan membuka beberapa file. Setelah beberapa saat kemudian sang bos menunjukkan layar ponselnya kepada tangan kanannya.
"Apa kamu dipergoki oleh putri bungsu? Bagaimana bisa kamu seceroboh ini?!" bentak sang bos pada bawahannya yang menurutnya tak becus.
"Maaf, Bos. Gadis itu tampaknya punya tingkat kehati-hatian yang lumayan tinggi, dia mendapati saya sedang berdiri di samping mesin penjual minuman, tapi posisi saya tak tertangkap kamera pengawas."
"Lalu?"
"Lalu, saya melarikan diri ketika gadis itu fokus memjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh satpam. Sebelumnya, saya juga mendapati bahwa putra sulung seolah menyadari kehadiran saya, tapi saya tidak bisa memastikan lebih jelas lagi."
"Bodoh!" Jam meja antik yang terbuat dari kayu itu langsung pecah berkeping-keping setelah dibanting oleh sang bos.
Ia selalu ingin perintahnya dikerjakan serapi mungkin. Tidak menimbulkan kecurigaan dan bekas yang membuat orang-orang bisa tahu jejak-jejaknya.
"Saya sudah mencari tahu tempat apa saja yang akan mereka kunjungi selama di sini, mereka mungin akan tinggal disini kurang lebih tujuh hari," tambah si mata-mata agar bosnya sedikit lebih tenang.
"Sebutkan!"
"Mereka menyewa dua kamar di Hôtel Plaza Athénée, mereka memesannya hingga tujuh sampai delapan hari kedepan. Hari pertama mereka akan mengunjungi Menara Eiffel dan Arc The Triomphe. Hari kedua, mereka akan datang ke Museum Louvre dan Museum Orsay, hari ketiga ke Disneyland."
"Hari keempat?"
"Kemungkinan mereka akan ke Istana Versailles, Katedral Notre Dame, dan Montmartre."
Sang bos mengangkat sebelah alisnya, "Kemungkinan? Apa informasi yang kau sampaikan tidak akurat?" tanya sang bos dengan nada tak suka.
"Begini Bos, ada beberapa daftar yang namanya dicetak tebal dan beberapa lainnya dicetak tipis. Nama putra-putri keluarga Maldwyn ada dua buah, dan saya mengambilnya informasi ini dari daftar yang tulisannya di cetak tebal."
Suara helaan nafas terdengar dari sang bos, "Lalu? Hari kelima?"
"Le Marais dan Pasar Loak Porte de Clignancourt. Dan hari keenam, Le Jardin des Serres d'Auteuil dan Place De La Concorde."
"Hari terakhir?"
"Sungai Siene."
Sang bos mengerutkan alis, merasa ada yang janggal dengan laporan anak buahnya.
"Kau mencuri data-data ini secara langsung? Atau kau mendapatkannya dari tangan kesekian?"
"Saya.. mendapatkannya dari tangan keempat," aku si mata-mata.
"Alasan?!" bentak sang bos.
"Sangat sulit mencuri data-data mereka, Bos," keluhnya. "Saya tidak mau mengambil resiko ketahuan dan ditangkap, sedang saat itu saya sedang membawa alat pelacak yang Anda pasang di tubuh saya."
"Benar-benar aneh.." gumam sang bos.
Keanehan itu ia rasa ketika bawahannya mulai menyebutkan jalur pariwisata yang kemungkinan mereka singgahi, ada yang janggal baginya. Ya menjengkelkannya, ia tak tahu di mana letak kejanggalan tersebut.
¹ Ada yang bisa saya bantu, Nona?
² Saya menemukan seorang pria misterius mengenakan mantel hitam, mengambil gambar.
³ Apa dia mencoba memotretmu, Bu?