Olyn langsung berjalan ke arah dokter ketika pintu UGD terbuka, Alula yang tertidur dipundak Kaesha segera bangun dan mengumpulkan nyawa.
"Penanganannya sudah selesai, pasien bisa dipindah ke kamar rawat," tutur sang dokter memberi kabar, sembari memberi jalan kepada para suster untuk mendorong brankar pasien keluar dari ruang UGD.
"Bagaimana keadaan pasien, Dok?" tanya Olyn dengan jantung dag-dig-dug.
"Apakah kalian teman-temannya?" Sang dokter malah bertanya balik.
Alula mengernyit, "Kenapa nanya malah dibales nanya sih? Bego banget! Lagian urusan administrasinya udah kita selesain!" sentak Alula.
Olyn mengelus punggung Alula untuk meredakan emosinya, "Jangan gitu, ga sopan tahu!" peringat Olyn.
"Maaf Dok, teman kita terlalu khawatir, kami memang temannya, keluarganya tak ada yang bisa dihubungi," jelas Kaesha, tentu dengan nada datar dan dingin andalannya.
Sang dokter yang memakai name tag Chayden tersebut tersenyum memaklumi. "Tak ada yang perlu dikhawatirkan, dia termasuk laki-laki yang kuat, benturan kecil tersebut tak akan membuatnya goyah."
"Kalau begitu terimakasih banyak, boleh kita masuk ke kamar rawatnya?" sela Olyn tak sabaran.
Dokter tersebut mengangguk, "Tentu saja, tapi pasien masih tak sadarkan diri, kalian bisa menunggunya sadar, mungkin sampai beberapa menit lagi," pinta dokter tersebut.
Alula cepat-cepat mengangguk, lalu merangsek masuk ke ruang rawat yang ditunjukkan dokter.
"Dia baik-baik aja lah, habis ini juga bangun," celetuk Kaesha.
Alula mengangguk, "Gue tahu, gue cuma.."
"Takut?" tebak Olyn.
"Hah? Takut?" ulang Alula, cengiran malasnya muncul, "Mana ada gue takut, gue itu cuma.. ngerasa bersalah doang." Alula mendesis dalam hatinya, terpaksa memakai kata bersalah untuk menyelamatkan otaknya yang sudah buntu mencari jawaban.
"Iyain," sahut Kaesha yang malas ikut nimbrung kedua temannya, ia memilih untuk duduk di sofa samping jendela yang menghadap ke arah taman, dan menghirup nafas segar.
Beberapa jam yang lalu Kaesha bersama Alula dan Olyn kembali dari mall, mereka menaiki mobil dengan kecepatan yang cukup tinggi. Di tikungan taman, Alula yang luput memperhatikan jalanan tak sengaja menyerempet seorang cowok seumuran mereka yang akan menyeberangi jalan.
Kaesha yang memang duduk di belakang langsung keluar dan mengecek keadaan cowok itu. Alangkah kagetnya mereka bertiga ketika mendapati bahwa laki-laki yang mereka tabrak adalah teman sekolah mereka sendiri, Ryuzaki Tsuchiya.
Kaesha yang masih bisa berpikir jernih, segera memerintahkan Alula dan Olyn untuk membantunya memindahkan tubuh Ryu ke mobilnya.
Kaesha menghela nafas ketika mengingatnya, ia melirik hot pants abu-abu yang kini dipakainya, ada sedikit noda darah yang tertinggal disana, akibat dari memangku kepala Ryu yang bocor.
Kaesha melirik Ryu yang masih tak sadarkan diri, pelipisnya dibebat perban, 'pasti berakibat pusing.' Begitulah pikir Kaesha, yang menyetir saat itu memang Alula, tapi mobil yang dipakai adalah mobil miliknya, tentu saja ia ikut mempunyai rasa bersalah.
Pemandangan yang ia dapati ketika menatap Ryu seolah mencerminkan dirinya sendiri, ia dahulu pernah ditabrak oleh sepasang keluarga, ia dilarikan ke rumah sakit. Namun, ketika ia sadar tak ada siapa pun dari keluarganya yang menunggunya. Justru anak dari keluarga yang menabraknya. Anak itu adalah Andra, anak laki-laki yang menempati hatinya hingga saat ini.
"Ryu udah sadar," lirih Olyn, membuat lamunan Kaesha buyar.
"Lo baik-baik aja kan?" tanya Alula.
Ryu mengerutkan alisnya, berusaha mencerna apa yang terjadi padanya hingga berakhir di ruangan serba putih ini.
Ia memutar ulang memorinya.
Dia yang bosan menunggu Zeana memutuskan untuk membeli camilan di seberang jalan, dan ketika ia menyeberang, sesuatu menyambarnya secepat kilat, membuatnya terpental dan semua menjadi gelap.
Pertanyaannya, kenapa teman-teman Zeana yang ada disisinya sekarang?
Ryu melirik Alula, lalu Olyn, lalu Kaesha. Ryu menatap mereka semua ganjil.
"Lo kenapa diem? Jangan bilang lo lupa ingatan?" cetus Olyn yang justru membuat Alula ketakutan sendiri.
"Lo kenal kita kan? Kita temennya Zeana!" seru Alula histeris, ia benar-benar takut jika apa yang diucapkan Olyn adalah kenyataan.
Ryu terdiam, lalu mengangguk. "Siapa yang nabrak gue? Kok kalian yang disini?"
Alula meringis, ucapan Ryu terdengar seperti sindiran menohok baginya. "Gue, gue yang nabrak lo," aku Alula pada akhirnya.
Ryu mengernyit, "Terus?"
"Terus apa?" sahut Olyn, "Lo jalan ga liat kanan kiri, terus kita nabrak lo. Berhubung kita orangnya bertanggung jawab, lo kita bawa ke sini."
Ryu berdecak mendengar penuturan Olyn. "Lo-lo pada yang nyetir ga liat jalan, ngegas mulu! SIM aja belum pada punya, sok-sokan ngegas!" ketus Ryu jengkel.
"Lah, lo ngomongnya kok ngegas sih?!" celetuk Alula tak suka.
"Lo ke gue, ya gue ke lo!" balas Ryu dengan nada tak kalah tak enak dari nada bicara Alula.
"Btw, Ryu.. ngapain lo disana siang-siang gitu?" tanya Kaesha menghentikan perdebatan.
Ryu menghela nafas, "Ponsel gue mana?" tanya Ryu alih-alih menjawab pertanyaan yang diberikan Kaesha.
Alula melirik Olyn, memberi perintah untuk segera memberikan ponsel Ryu yang tadi diberikan oleh para suster.
Olyn merogoh sakunya dan menyerahkan ponselnya. Ketika Ryu menyahutnya, Ryu langsung berdecak sebal ketika mendapati ponselnya mati. Entah karena terbentur atau baterainya memang habis.
"Mau nelpon siapa? Kalo mau, lo boleh pakai ponsel gue," tawar Olyn sembari menyerahkan ponselnya.
"Zeana," jawab Ryu jelas, namun membuahkan kebingungan bagi ketiga teman Zeana.
"Kenapa lo nelpon dia, anjir?!" sorak Alula kaget.
Ryu menghela nafas, seisi sekolah sudah tahu kalau ia menyukai Zeana, tapi teman-teman Zeana yang selalu abai mengenai hak semacam ini seperti benar-benar tak tahu apapun.
Sepertinya ia terpaksa menceritakannya dari awal.
***
"Hah?! Lo ngajak Zeana ketemuan? Kencan?" Olyn bersorak heboh.
Ryu mengangguk malas, "Iya, gue tungguin di taman, kita janjinya sih sejak jam sembilan, sekalian ke gereja, tapi sampe siang dia ga datang-datang," cicit Ryu menyembunyikan rasa heran karena respon teman-teman Zeana yang baginya berlebihan.
Kaesha dan Alula saking melirik, sama-sama merasa ada yang ganjil dengan kalimat yang diucapkan Ryu.
"Bentar deh Ryu, lo.. ngajak Zeana ke gereja?" ulang Alula.
Ryu mengangguk, "Kan sekalian."
"Lo gila ya?! Kan-aw!"
Sorakan Olyn langsung berhenti ketika mendapat cubitan dari Kaesha.
"Kenapa?" tanya Ryu, menatap Kaesha bingung, ia merasa tak punya salah.
Kaesha menggeleng dengan wajah datar, "Ga apa-apa. Kehabisan obat dia, jadi siapa yang nelpon Zeana?"
Olyn dan Alula berpandangan, "Gue aja!" jawab Olyn.
Kaesha mengangguk menyetujui, "Cepetan gih!"
Olyn menurunkan ponselnya setelah sesaat kemudian.
"Kenapa? Paketan lo habis? Atau baterai lo yang habis?" tanya Alula heran
Olyn menggeleng, "Doi matiin," jelas Olyn.
"Dimatiin apa ga tersambung?" tanya Ryu bingung.
Olyn berdecak, "Lah apa bedanya, ogeb?!",
"Maksudnya itu, kesambung ga nomornya? Sempet berdering ga disana? Apa ponsel dia yang mati?" jelas Ryu geregetan.
"Dimatiin, ogeb!" jawab Olyn ketus.
"Nyolot segala! Biasa aja dong!" ketus Ryu tak terima.
"Otak lo lemot! Kan gue bilang ga bisa ya ga bisa!" sorak Olyn.
"Gue coba ya," izin Alula, mencoba menengahi pertengkaran.
Kaesha dan Ryu mengangguk serempak.
"Lo khawatir sama Zeana?" tanya Kaesha pada Ryu.
Ryu menggeleng.
"Terus ngapain lo telpon dia?" ujar Kaesha heran.
Ryu tersenyum masam, "Buat mastiin dia baik-baik aja. Gue yakinnya sih ga ada apa-apa, kelupaaan atau ga enak badan paling."
"Ga diangkat juga," sela Alula.
Ryu menghela nafas, "Ada apa sih sama Zeana?"
"Lo mau coba?" Alula menunjuk Kaesha dengan gaya ogah-ogahan.
"Nyoba apa?" tanya Olyn yang tak faham.
"Nyoba telpon Zeana maksud gue!" jelas Alula
"Palingan ponselnya dimatiin, kan weekend," hibur Kaesha.
Tapi itu tak cukup untuk membuat Ryu merasa tenang.
"Gue pinjem ponsel lo, Sha!" Ryu menengadahkan tangannya, meminta ponsel milik gadis itu.
Kaesha merotasikan bola matanya.