Ryu menatap gamang ponsel Kaesha, lalu melirik pemiliknya. Kaesha mengangkat dagunya pelan, seolah mengatakan 'ada apa?' dalam bahasa isyarat.
Ryu menggeleng. Namun, ketika ia baru akan memencet tombol memanggil, tangan Kaesha mampir di tangannya, membuatnya menghentikan gerakannya.
"Kenapa Sha?" tanya Ryu bingung.
Kaesha menelan ludah pahit. "Gue lupa kasih tahu tentang Zeana ke elo," lirih Kaesha.
Olyn menatap Kaesha penuh selidik, "Loh? Bukannya elo yang mutusin ga ngomong apa-apa ke Ryu tadi?" tanya Olyn tak kalah bingung.
Kaesha menggeleng, lalu melotot ke arah Olyn untuk memperingati.
"Ryu.. gue bener-bener lupa kasih tahu lo, Olyn sama Alula mungkin juga lupa," lirih Kaesha.
Alula mengernyit bingung, "Ngapain bawa-bawa gue, ngab?" protes Alula.
"Muter-muter lo ngomongnya, yang jelas elah!" serbu Ryu. Ditambah anggukan oleh Olyn dan Alula yang merasa terdzolimi.
Kaesha menghela nafas pelan, "Kemarin, Zeana sempet pingsan. Mungkin itu alasan dia ga dateng tadi."
"Oh!" sorak Olyn manggut-manggut.
Alula mengangguk juga dengan wajah cengo, "Iya juga. Gue ga inget sama sekali tentang ini."
"Kenapa?" tanya Ryu dengan suara lirih.
"Perutnya terantuk meja tadi," jawab Olyn.
Jawaban Olyn membuat Ryu langsung memencet tombol memanggil pada nomor kontak dengan nama Zeana Arvarenzya tanpa ragu.
***
"Kalian ada angin apa nelpon gue?" ucap Zeana begitu dia menggeser lingkaran hijau.
Yang Zeana dapat hanya hening, ia pun berdecak.
"Sha! Lo di sana ga?" tanya Zeana lagi.
Hening. Zeana mencoba menajamkan pendengarannya, lalu terdengar helaan nafas.
Zeana mengernyit, "Lo baik-baik aja kan Sha?"
Zeana melirik Nathan dan Irvi, Nathan menatapnya penuh tanya, lalu Zeana memutuskan untuk mengangkat bahu karena ia tak tahu apapun. Irvi menariknya untuk duduk di salah satu cafe.
"Lo dimana Ze?"
Ponsel yang digenggam Zeana hampir saja terlepas ketika mendengar suara berat dari seberang sana.
"Lo.. Ryu? Ryu? Kok lo pegang ponselnya si Kaesha? Kaesha kenapa? Dimana?" serbu Zeana yang langsung panik.
"Halo?"
Suara Kaesha terdengar, Zeana langsung tertegun sejenak.
"Halo? Zeana? Lo dengar gue kan?" ulang Kaesha.
Zeana mengangguk seperti orang idiot, "Dengar kok, lo ga apa-apa kan? Kok ponsel lo dipinjem si Ryu?"
Kaesha menurunkan ponselnya dan menatap Ryu, "Zeana tanya, kenapa ponsel gue bisa lo pegang, gue jawab jujur apa sembunyiin dulu?"
Ryu terpejam, lalu mengangguk, "Bilang aja gue lagi di rumah lo."
Kaesha mengacungkan jempolnya, "Ryu lagi di rumah gue Ze, tadi nungguin lo di taman, berhubung ponsel Ryu baterainya habis, jadi dia ga bisa hubungi lo, dan pinjem ponsel gue."
Zeana mulai mengerti, "Tapi kenapa Ryu nyariin gue?"
Kaesha kembali menurunkan ponselnya, "Ryu, lo udah janjian sama Zeana belum sih?"
Ryu menggaruk alisnya yang terasa gatal, "Udah lah, masa iya gue mau duduk di taman sendirian, berjam-jam dan ga pasti kalo belum janjian?!"
"Halo? Kaesha?!" sorak Zeana membuat Kaesha menyerahkan ponselnya pada Ryu.
"Apaan nih?" tanya Ryu yang tidak langsung menerima ponsel Kaesha.
"Lo bicara aja sendiri, gue bingung, takut salah omong," pinta Kaesha.
"Kita keluar dulu," ajak Alula sembari menarik tangan Kaesha dan Olyn.
"Halo Ze?" panggil Ryu.
"Ryu? Oh, ponselnya udah di lo lagi. Kenapa lo nyariin gue? Ada perlu ya?"
Ryu menatap layar ponsel Kaesha yang gelap, ia menghela nafas dan meredakan perih yang entah sejak kapan sudah bercokol di dadanya.
"Lo lupa ternyata, kita kan janjian ketemu di taman. Hari ini jam sembilan," lirih Ryu.
Mendengar itu, Zeana langsung bangkit, membuat kedua kakaknya langsung kaget, Zeana mengangkat tangannya dan berlari ke arah toilet.
Zeana berjalan pelan kearah wastafel dan menatap bayangannya di cermin.
"Ya ampun, Ryu, gue.. gue lupa.. sumpah gue lupa! Gue ga inget apapun."
Terdengar suara lelehan Ryu dari seberang, "Oh gitu, ya udah ga papa."
Zeana menggeleng, ia merasa panik, "gue ga inget sama sekali, Ryu! Tolong maafin gue ya?"
Ryu terdiam, "Iya, ga papa. Perutnya masih sakit ga?"
Air mata Zeana langsung luruh begitu mendengarnya, "U.. udah biasa.."
"Ze.. lo sakit kan? Istirahat di rumah aja ya, maaf kalo gue maksa buat ketemu. Gue ga ngertiin lo ya? Padahal gue udah tahu kalo perut lo kemarin kebentur ujung meja, maaf ya Ze, kalo besok perutnya masih sakit, ga udah sekolah dulu sampe perut lo bener-bener sembuh," cerocos Ryu.
Hati Davio menghangat, "Makasih Ryu, tapi sebe-"
"Ga usah kebanyakan omong dulu, lo harus istirahat. Kalo udah sembuh dan lo udah masuk sekolah, kita bisa cerita-cerita lagi. Ya?" potong Ryu.
Zeana menelan ludah, ia tahu Ryu kecewa padanya, ia tahu jelas kalau Ryu mengkhawatirkannya, tapi apakah ada cara lain agar Ryu tahu bahwa dirinya baik-baik saja sekarang?
"Iya," pada akhirnya Zeana memilih mengalah.
"Besok waktu masuk sekolah, jangan cari gue!" peringat Ryu.
'Gimana gue bisa cari lo, gue aja ga bakal masuk sekolah besok,' batin Zeana, tapi dia menyimpan jawaban itu di hatinya sendiri.
"Ga akan," jawab Zeana yakin.
Di seberang sana Ryu berdecak, "Iya, karena selama ini gue yang selalu cari-cari lo! Lo mana ada nyari gue duluan?!"
Zeana terbahak, berusaha tak memasukkan ke dalam hati ucapan Ryu.
"Karena ga ada kebutuhan, Ryu! Gue.. istirahat dulu ya?" izin Zeana.
"Ya ampun, gue lupa kalo lo masih sakit, oke gue tutup dulu teleponnya! Minum obat jangan nunggu disuruh!"
Zeana terbahak, lalu mengangguk meski tahu Ryu tak akan melihat gerakannya.
Sambungan telepon terputus, bersamaan dengan hilangnya senyum Zeana.
Zeana memasukkan ponselnya ke saku mantel, "Pasti mereka udah pesen minuman sama camilan, awas aja gue ga di beliin," dumel Zeana sembari keluar dari toilet yang tumben sedang sepi.
Tubuhnya menabrak seorang gadis sepantarannya hingga jatuh terduduk. Beruntung tempat toilet begitu terpencil hingga tak ada yang tahu bahwa ia menabrak seorang gadis.
"Est-ce que ça va? Laisse-moi t'aider !"¹ Zeana mengulurkan tangannya ke arah gadis yang terjatuh.
Mata perak gadis itu menatap tajam Zeana, "Ce n'est pas nécessaire!"²
Zeana menarik tangannya, sadar kalau membuat gadis itu marah. Zeana tersenyum kecil, lalu mengangguk meminta untuk undur diri.
Baru 4 langkah Zeana berjalan, tangan gadis tadi mencekal lengan Zeana.
"Y a-t-il quelque chose que je puisse aider ?"³
Gadis itu menatap Zeana seolah Zeana adalah ancaman bagi dirinya sendiri, "Quel est ton nom?"
Zeana melirik gadis itu awas, "Je m'appelle Zea."
Gadis itu mengangguk, "Je m'appelle Phoenix, souviens-toi de ça."⁶
Zeana termenung, menatap gadis itu yang malah keluar cafe. Lalu apa niat gadis yang mengaku bernama Phoenix itu? Kenapa tadi memasuki toilet dan menabraknya?
¹ Kamu tak apa? Biar aku bantu berdiri!
² Tidak perlu!
³ Ada yang bisa aku bantu?
⁴ Siapa namamu?
⁵ namaku Zea
⁶ namaku Phoenix, ingat itu.