"Ini bebeknya siapa yang abis tenggelam?"
"Bebek peliharaannya keluarga Prawira, ya kan?"
"Hahahaha!"
Sejujurnya Syila sekarang sedang tidak memiliki banyak kepercayaan diri ketika harus berjalan dengan keadaan seluruh tubuh yang basah kuyup. Dilihat dengan tatapan aneh oleh banyak pasang mata yang kebetulan ada di luar kelas, bahkan dihadiahi dengan tawa dan kalimat ejekan pula. Meski begitu, Syila tidak memiliki pilihan lain, kecuali berpura-pura bisu, tuli dan buta pada keadaan sekitarnya.
Hingga kemudian, Syila tidak pernah menduga jika ia harus berpapasan dengan Roni dan Dika saat akan menuruni tangga. Kedua cowok itu awalnya akan menyapa Syila yang sepertinya telah menyelesaikan urusannya bersama Alex. Namun mereka membelalakkan mata terkejut setelah melihat penampilan Syila yang berbeda dari beberapa menit lalu sebelum mereka akhirnya berpisah tempat.
"Lo kenapa?" tanya Roni, terkejut dan khawatir di saat bersamaan.
"Minggir!" ucap Syila dingin. Dia tidak ingin bicara dengan siapa pun saat ini. Tidak peduli bahwa Roni dan Dika adalah penolongnya tadi. Syila benar-benar tak peduli.
"Ila, Alex abis ngapain lo.."
"Aku bilang minggir, ya minggir!" bentak Syila tanpa melihat kearah mereka.
Lagi-lagi, setetes air mengalir di pipi Syila. Dengan cepat cewek itu menghapusnya dengan punggung tangan. Tidak membiarkan siapa pun melihatnya menangis.
Roni dan Dika tidak bisa berkutik. Mereka tidak lagi bertanya macam macam, hanya bisa mengawasi Syila yang melewati mereka tanpa pamit lalu menuruni tangga dengan langkah yang pelan dan gontai.
Meski demikian, tanpa bertanya apa pun, Roni dan Dika bisa melihat seburuk apa kelakuan yang Alex lakukan ketika mereka berdua tidak ada. Seragam bahkan sekujur tubuh Syila yang basah telah menjelaskan semuanya dengan jelas.
~~~
Yusman sedang mengelap mobil mewah milik majikannya sampai ponselnya berdering nyaring. Ponsel jadul dengan baterai tahan lama itu segera ia ambil untuk menjawab panggilannya.
"Halo?"
"P.. pak,"
Kening Yusman mengernyit bingung. Pria itu melihat layar ponselnya sekilas dan membawanya kembali ke daun telinga.
"Halo? Ini siapa?"
"Saya Syila , Pak."
"Oh, Mbak Syila. Kenapa, Mbak? Ada yang bisa saya bantu?"
"Pak Yusman ada di rumah, kan?"
"Iya, Mbak. Kenapa?"
"Eung... tolong anterin baju olahraga syila ke sekolah. Untuk tempatnya, Pak Yusman tanyakan ke Mbak Rani aja. Mbak Rank tau tempat aku nyimpen bajunya."
"Baik, Mbak Ila. Itu aja?"
"Iya, Pak. Tolong agak cepet ya, Pak? Mau saya pakai secepatnya."
"Tunggu sebentar, Mbak."
"Makasih banyak, Pak. Saya tunggu."
Klik!
Sambungan terputus. Yusman segera bergegas mencari Rani. Berkeliling ke seluruh rumah dan dia baru menemukan Rani baru keluar dari kamar Vina. Membawa vakum cleaner dan lap basah.
"Rank, tolong ambilkan baju olahraganya Mbak Syila ya. Mau aku anter ke sekolah," ucap Yusman sesuai permintaan Syila.
"Oh iya. Sebentar."
Rani segera pergi ke kamar Syila. Di saat bersamaan, Vina keluar dari kamar bersama beberapa buku dan sebuah MacBook.
"Kenapa, Pak?" tanya Vina yang heran melihat Yusman ada di depan kamarnya.
"Anu, Bu, itu saya lagi nunggu Rani mengambil baju olahraganya Mbak Syila. Saya harus mengantar ke sekolah secepatnya karena mau dipakai Mbak Syila." Yusman menjelaskan panjang lebar, lantas membuat Vina melebarkan matanya, terkejut.
"Syila minta tolong kamu?"
"Iya, Bu. Barusan Mbak Syila telepon saya."
Vina menggelengkan kepalanya pelan. "Kenapa ngga minta tolong saya langsung, ya?"
"Mungkin Mbak Syila ngga mau ngerepotin Bu Vina," tebak Yusman. Meski tak sepenuhnya menebak karena pria itu mendengar langsung dari Syila bahwa dia tidak ingin merepotkan tantenya itu.
"Ini, Pak, baju olahraganya Mbak Syila." Rani datang sambil membawa baju olahraga Syila yang dimasukkan ke dalam kantong kresek hitam.
"Ya sudah, saya berangkat dulu, Bu?"
"Hati-hati, Pak Yusman."
Yusman sudah akan menyalakan mesin mobil saat ponselnya kembali berdering. Kali ini nada deringnya berbeda, tanpa sebuah pesan masuk.
'Saya ngga jadi minta tolong, Pak Yusuf. Maaf.'
~~~
Syila sendirian. Dia tidak lagi bersekolah di SMA nya yang dulu dimana Ana ada untuk tempatnya berkeluh kesah. Kini, Syila tidak menemukan tempat untuk meluapkan isi hatinya ataupun untuk sekedar menemaninya menangis.
Toilet di lantai dua adalah tempat yang dipilih Syila untuk menyembunyikan kondisinya yang sedang berantakan. Rambutnya basah sampai ke akar akar nya, tidak ada bagian tubuhnya yang lolos dari guyuran air dalam ember itu. Kedua lengannya saling memeluk, merasakan dingin yang mampir di tubuhnya.
Syila duduk di atas closet, di bilik paling ujung agar tidak ada yang menyadari ada seseorang mengenaskan di sana. Kepalanya menunduk, di saat bersamaan air matanya jatuh.
Padahal hanya dipermainkan oleh Alex, tetapi kenapa hatinya sakit sekali? Bagaimana kalau Syila juga dipermainkan oleh para fans Alex ketika mereka bosan menatapnya sinis?
Syila sekarang benar-benar tidak tahu harus bagaimana. Jam pulang sekolah masih cukup lama. Dia tidak mungkin menunggu sampai jam pulang sekolah atau bahkan menunggu setelah semuanya pulang agar tidak ada yang melihat tubuhnya yang mirip korban tenggelam di laut.
Hanya satu ide yang dipikirkan Syila yaitu memakai baju olahraga. Meminta Yusmam mengambilkan baju olahraga dan memintanya mengantar ke sekolah seperti yang Syila lakukan barusan. Dia tidak memiliki baju ganti. Memangnya siapa yang menduga Syila akan basah basahan hari ini? Tidak ada yang tahu. Kecuali Alex, mungkin. Yang sudah merencanakan ini semua jauh-jauh hari.
Namun sepertinya Syila telah berubah pikiran. Tidak seharusnya ia merepotkan orang lain di saat ia harusnya berjuang sendiri. Memangnya setelah Yusman mengantar baju olahraga, lalu Syila berganti baju olahraga maka semuanya akan kembali normal? Tentu saja tidak.
Mood Syila sekarang benar-benar terjatuh hingga dasar. Dia juga tidak siap bertemu guru yang pastinya sudah masuk di ruang kelasnya, bahkan mungkin sudah memulai pelajaran sejak tadi.
Mungkin Syila akan menunggu di sini sampai pulang sekolah. Sepertinya itu adalah pilihan terbaik saat ini.
Syila menyalakan layar ponselnya kembali. Layar ponsel itu basah, namun untungnya masih bisa menyala dengan baik. Jari jari Syila mulai mengetikkan beberapa kata dan mengirimkannya ke Pak Yusman.
'Saya nggak jadi minta tolong, Pak Yusman. Maaf.'
~ ~ ~
Roni dan Dika sedikit banyak mulai bisa memahami apa yang terjadi. Bekas ember di depan pintu dan air yang menggenang di sana sudah menjadi bukti bahwa itulah penyebab Syila sangat kebasahan. Dua cowok itu juga melihat kardus berisi cola yang masih tersegel rapat, persis ketika mereka membelinya tadi. Yang berbeda hanyalah kardusnya yang rusak karena terkena air. Dan bagian bawahnya yang sedikit penyok seperti baru dibanting.
"Abis ada perang apa gimana, nih?" tanya Dika jenaka. Namun siapa yang tahu jika hati cowok humoris itu tengah mendidih. Memikirkan Syila, perjuangan cewek itu dan perlakuan buruk yang diterimanya. Tanpa sadar Dika juga ikut merasakan sakit seolah dia lah yang mendapatkan perlakuan tidak mengenakkan.
Kalau saja Roni dan Dika tidak sepakat menyembunyikan fakta perihal mereka yang membantu Syila, mungkin keduanya akan marah saat itu juga. Terlepas bahwa Alex teman mereka sendiri yang membuat masalah, mereka tidak akan tinggal diam. Bisa saja mereka akan menjauhi Alex untuk sementara, sampai cowok itu memahami kesalahannya sendiri.
Setelah melempar candaan garingnya dan ditanggapi dengan tawa tidak ikhlas oleh beberapa penghuni kelas, Dika menghampiri kursinya tanpa ada senyum sedikit pun. Roni pun mengikutinya dari belakang, tiba-tiba merasa malas menyapa Alex yang duduk di bangkunya sendiri. Tengah menopang dagu sambil melihat pemandangan di luar. Tatapannya kosong, seperti sedang memikirkan sesuatu. Entah apa itu.
"Dari mana kalian?" tanya Alex dari belakang. Nada suaranya berbeda, tidak sesantai biasanya. Matanya tidak lepas dari pemandangan luar, tidak perlu repot-repot menatap orang yang ditanyainya.
Hening. Roni menghela napas saat Dika pura-pura tidak dengar dan sibuk dengan ponselnya. Jika masalah seperti ini, Roni lah yang diharuskan mengalah. Roni memang sama sakit hatinya melihat perjuangan Syila dibalas permainan, namun dia lebih bisa diandalkan daripada Dika yang memiliki kepala sekeras batu. Setidaknya Roni pintar menyembunyikan rasa sakit hatinya.
Cowok itu berbalik dan memperlihatkan wajah senormal mungkin. "Dari kantin. Temen lo tuh ngerengek laper terus,"
Dhika melirik sekilas lalu kembali sibuk dengan buku-buku pelajaran. Atau pura-pura sibuk? "Ngga jadi lapar. Malah haus pengen cola habis bawa barang berat." sahutnya. Dan ternyata, selain memiliki kepala sekeras batu, Dika juga pintar berkata sarkasme.
"Itu ada cola di depan pintu."
"Ngga. Makasih. Liat itu gue sakit hati. Usaha gue rasanya ngga guna."
Lalu hening kembali. Alex tidak lagi bicara dan Roni tidak ingin membuka topik pembicaraan.
Ini aneh. Pertama kali Roni melihat Alex yang seolah tak bernyawa. Raganya di sini namun jiwanya entah berkelana dimana.
~~~
Bel pulang sekolah telah berbunyi. Namun Syila belum bisa bernafas lega karena ia harus menunggu sedikit lebih lama agar semuanya pulang lebih dulu dan kemudian ia leluasa masuk kelas untuk mengambil tasnya. Syila mulai menyentuh seragamnya. Sudah mulai mengering dengan sendirinya. Rambutnya yang sebelumnya diurai juga sudah mengering. Tubuhnya lumayan menghangat karena sinar matahari di luar yang sangat terik.
Dua puluh menit kemudian, Syila benar-benar keluar dari bilik toilet. Dia merapikan seragamnya sekilas, lalu berjalan menuju kelasnya di ujung koridor. Kelasnya sudah sepi. Nyaris penghuninya sudah pulang, kecuali satu bangku yang masih diduduki oleh seseorang.
"Anisa?"
Anisa segera mendongak dari novel yang dibacanya.
"Kok belum pulang?"
Anisa menggeleng pelan. "Aku jaga in tas kamu biar ngga ilang. Kamu dari mana aja?"
Syila sempat terharu melihat barangnya yang dijaga rapi oleh Anisa, tapi selanjutnya ia berdehem pelan membasahi kerongkongannya yang kering. "Aku dicari in, ya?"
"Iya. Kamu dicari in waktu absen terus kamu nya ngga ada."
"Maaf ya, ada insiden kecil tadi."
Syila nyengir. Sebenarnya tidak yakin kalau itu adalah insiden kecil ketika hatinya sangat sakit hanya karena itu. Sebuah rasa sakit yang tidak bisa di ungkapkan