Chereads / life must Go on / Chapter 23 - Bab 23

Chapter 23 - Bab 23

Saya rasa sudah cukup pelajaran hari ini. Sampai bertemu di jadwal berikutnya. Selamat siang!"

"Siang, Paaak!"

Waktu pembelajaran masih kurang lima belas menit sampai bel jam istirahat berbunyi namun sang guru Kimia memutuskan untuk mengakhiri pelajaran. Hanya lima belas menit namun berharga bagi siswa kelas XII-A2 yang baru mendapat pelajaran matematika di jam pertama, kemudian dilanjutkan kimia di pelajaran berikutnya yang baru selesai beberapa detik yang lalu. Bagaimana nasib otak mereka? Hanya mereka yang tahu dan merasakannya.

"Ngantin yuk!" ajak Roni, memandang Dika dan Alex bergantian. Cowok itu melepas kacamata bacanya dan memasukkannya ke dalam kotak.

"Ngadem dulu, bentar! Otak gue panas ini!" sahut Dika seraya menyandarkan punggungnya pada tembok disampingnya. Kini posisinya menyamping menghadap Roni, tidak berminat menghadap belakang di mana Alex tengah menelungkupkan kepalanya di atas meja.

"Panas apaan? Biasa aja." Roni tertawa mengejek, membuat Dika dengan semangat memukul belakang cowok itu.

"Sakit, Bego!"

"Makanya nggak usah sombong mentang mentang punya otak encer!"

Alex yang mendengar suara berisik dari bangku depan, merasa terganggu dan perlahan menegakkan punggungnya. "Berisik kalian."

Roni dan Dika kompak menoleh ke belakang. Namun Dika hanya menoleh sekian detik sebelum kembali pada asalnya.

"Ngantin yuk, Lex! Gue kangen sotonya Bu Sum nih!" seru Roni dengan penuh semangat. Sementara itu, Dika hanya melengos, todak menanggapi teman nya itu sesikit pun. Insiden kemarin yang menimpa Syila kemarin yang masih membekas di dalam pikirannya dan belum bisa Dika lupakan.

"Gue lagi ngantuk."

"Ah lo nggak asik Dik! Gue yang traktir deh! Gimana? Lex? Dik?" seru Roni bersemangat sekaligus membujuk Dika. Roni mengalihkan pandangannya memandang Alex dan Dika secara bergantian. Namun dua cowok itu malah sibuk dengan urusan masing-masing, seakan akan tidak melihat keberadaanya di sana. Alex yang kembali menelungkup kan badannga di atas meja dan Dika mulai bermain ponselnya.

"Le-"

"Iya, iya! Ayo!" Alex bangkit dari kursinya, lalu merenggangkan badan sejenak untuk merilekskan tubuhnya yang terasa sedikit kaku. Bukan sebuah hal yang bagus jika Roni sudah ingin sesuatu dan tidak dituruti. Orang yang pintar dan memiliki IQ tinggi belum menjamin seseorang itu menjadi pribadi yang dewasa dalam setiap hal. Karena ada kalanya Roni akan terus merengek jika permintaannya tidak dituruti. Dan yang paling sering menjadi korban adalah Alex dan Dika.

"Lo juga!" Roni mulai menarik tangan Dika beberapa kali. Dan beberapa kali pula Dika menarik dirinya untuk menolak.

" Lo aja. Gak ah, gue males!" Dika lalu melirik Alex dengan sinis. "Apalagi kalau ada-"

"Gue?" Alex menunjuk dirinya sendiri. Hanya menebak saja, sebab tumben Dika tidak mengajak Alex bicara sama sekali. Biasanya Dika akan terus bicara meski Alex tidak menghiraukan.

Mampus deh! Perang dunia ketiga nih bentar lagi! batin Roni sambil tangannya mengacak rambutnya merasa frustrasi.

Dika melirik lagi dan melengos membuat Alex tahu jika jawabannya adalah benar. Cowok itu memiringkan kepalanya bingung. "Kenapa Dik? Gue ngelakuin salah ke elo? Perasaan dari tadi lo cuek terus ke gue. Kalau ada masalah bilang aja!"

Roni yang mendengar nada suara Alex mulai meninggi langsung turun tangan. Dia menarik tangan Alex agar temannya yang punya temperamen tidak stabil itu segera pergi bersamanya. "Udah, Lex. Yuk!"

Hanya saja, Alex dengan cepat menangkis tangan Roni. "Lo juga, Ron. Gue tau lo ngehindar dari kemarin. Kenapa? Gue punya salah ke kalian?" Alex menatap Roni dan Dika bergantian seolah mencari jawaban atas pertanyaannya

"Enggak-"

"Harusnya gue yang nanya, ada masalah apa sama hidup lo?" Dika menyela santai, mengedikkan bahu saat ia mendapat tatapan horor dari Roni.

Seketika Alex langsung berdiri dengan cepat, terlalu cepat sampai kursinya mundur beberapa senti. "Maksud lo apa? Kayaknya lo udah tau semua masalah gue."

"Udah, udah! Nggak usah dibahas lagi." Roni menengahi. Tugas yang harus selalu dilakukannya ketika Alex dan Dika mulai menunjukkan taring masing-masing. Dua cowok yang ditakdirkan memiliki sifat kaku dan keras kepala. Memang bukan kali pertama mereka bertengkar, dan Roni lah yang selalu menjadi wasit yang menghentikan 'permainan' antara Alex dan Dika. Semoga saja kali ini dia berhasil.

Roni kemudian melirik sekitar, sedetik kemudian ia bisa bernapas lega karena kelas nya nyaris kosong. Hanya ada mereka bertiga. Alex dan Dika tidak sengaja menatap satu sama lain, dan secepat kilat memalingkan wajah masing-masing.

"Ayo! Keburu jam istirahat bunyi."

Roni segera menarik Alex dan Dika, masing-masing di sisi kanan dan kiri. Namun belum sempat dia berjalan, Dika langsung melepas tangannya.

"Sorry, gue bener-bener nggak mau ikut," ucap Dika. Tidak ada nada bercanda di ucapannya. Serta hal yang sangat langka ketika Dika terkenal dengan cengiran mautnya, kini terlihat begitu serius dengan tatapan mata tajam .

"Dik.."

"Gue ada urusan di kelas bawah."

Kelas bawah. Sebutan untuk kelas sebelas karena letak kelasnya di bawah lantai kelas dua belas.

"Ngapain lo ke sana?"

"Bukan urusan lo, gue rasa," ujar Dika sebelum membawa langkahnya keluar dari kelas. Melewati Alex dan sengaja menabrak pundak cowok itu.

Alex sangat yakin sekali, dugaannya tidak salah. Dika memang sedang marah padanya. Namun dia benar-benar tidak merasa membuat kesalahan besar ke cowok tengil dan humoris itu.

"Nggak usah dipikirin. Kayaknya Dika lagi bad mood sampek males bicara gitu."

"Iya. Tapi nggak males bicara sama lo. Kalian masih bisa bercanda tanpa gue."

Alis Roni mulai menukik. Roni tahu tidak seharusnya dia berpikir aneh di saat genting ini, tapi... kenapa Alex terdengar seperti cemburu dengan dirinya dan Dika? Seperti tidak terima jika Dika hanya mau bicara dengan Roni lalu mengabaikannya.

Roni berjengit geli. Bisa-bisanya otak cerdasnya berpikir sangat aneh seperti itu.

"Lo ke kantin sendiri aja. Gue mau nyariin Dika dulu," ucapan Alex barusan benar benar membuat Roni tersentak kaget. Belum sempat Roni menahannya, cowok jangkung itu lebih dulu pergi membuat Roni dengan susah payah menyusulnya. Langkah Alex terlalu lebar karena kaki panjangnya.

**

Bel tanda jam istirahat berbunyi nyaring. Satu persatu mulai meninggalkan bangku, mengistirahatkan pantat mereka yang panas karena duduk terlalu lama. Syila merenggangkan tubuhnya, menggerakkan kepalanya ke kiri dan kanan. Dia lalu melihat sekitar sambil memikirkan sesuatu. Ada hal yang harus ia lakukan di jam istirahat ini.

"Kamu mau ke mana?" tanya anisa saat melihat Syila berdiri dari kursinya.

Syila hanya tersenyum misterius. Lebih tepatnya 'sok' misterius. "Ada misi rahasia."

"Ih!" Anisa meringis geli. Syila tertawa terbahak-bahak dan mulai menjalankan misinya.

Yaitu menghampiri dan berkenalan dengan satu persatu temannya. Hal yang belum sempat Syila lakukan kemarin karena tidak ada waktu untuk melakukannya. Apalagi ia sempat membolos beberapa jam pelajaran setelah istirahat.

"Hai. Nama kamu siapa?" Bangku paling depan adalah sasaran Syila. Cowok pemilik bangku itu mendongak dan sedikit terkejut dengan keberadaan Violet yang tiba-tiba. Yang dia tahu, Syila duduk di bangku paling belakang. Sedikit aneh melihatnya berdiri di depan bangkunya.

"O-oh, gue Sandy, ketua kelas. Lo... Syila, kan?"

"Iya. Maaf ya kemarin belum sempat kenalan langsung. Hehe," Syila tertawa canggung, laean bicaranya tisDak berekspresi sedikitpun

"Kemarin lo nggak ada waktu dicariin bu Maria. Lo ke mana?"

"Gue dicariin? Maaf ada insiden dikit. Jadi gue nggak bisa balik ke kelas."

"Insiden sama kakak kelas itu?"

Ekspresi ramah Syila pun mulai luntur. Dia menggigit bibirnya dan memaksakan senyum. "Eung... aku ke lainnya dulu ya? Bye!"

Syila mulai terlihat tidak mood dan memilih menjauh. Hingga kemudian misi yang belum tuntas itu akhirnya terhenti setelah Syila mendapat beberapa pertanyaan yang mirip ketika dia membolos jam pelajaran kemarin. Kemudian Syila memilih berhenti berkeliling dan kembali pada bangkunya.

Syila melirik Anisa yang tengah asyik dengan novelnya. Cewek itu sesekali tersenyum sampai akhirnya dia sadar jika menjadi pusat perhatian Syila.

"Udah selesai misinya?" tanya Anisa sedikit kepo, lalu menjeda kegiatan favoritnya sebentar.

"Belum. Aku mendadak ngga mood." Syila lalu berdiri lagi. "Aku ke toilet dulu deh. Nitip hape aku ya? Kamu ngga ke mana-mana, kan?"

Anisa menggeleng, lalu Syila meletakkan ponselnya di atas meja Anisa dan ia segera keluar untuk ke toilet.

Novel romansa berhalaman tebal kembali menyita perhatian Anisa. Membaca buku atau novel adalah cara terbaik bagi Anisa untuk melupakan makan siang hingga ia bisa menjalankan dietnya dengan lancar. Namun baru satu menit, Anisa mendengar pergerakan di sebelahnya.

"Kok udah balik-" Anisa yang penasaran mulai mendongak, namun matanya membulat saat bukan Syila yang berada disana melainkan... dua cewek yang ia ketahui sebagai kakak kelasnya.

"Mana cewek itu?!"

Anisa mengerjapkan matanya, terkejut dan bingung harus menjawab apa sementara dia tidak tahu siapa yang dimaksud 'cewek itu' oleh mereka.

"S-siapa, Kak?"

"Ngga usah sok bodoh! Temen sebangku lo yang kurang ajar itu!"