Siapa yang tidak takut mendapat bentakan ketika kamu tidak salah apa-apa? Pupil mata Anisa bergerak tak tentu, merasa takut oleh keberadaan dua pasang mata yang tak berhenti memberinya tatapan tajam.
"Maksud kakak, S.. Syila?" Anisa memberanikan diri bertanya. Memastikan bahwa dua cewek itu Temari dan Tiara memang mencari keberadaan Syila, teman sebangkunya.
"Lelet banget astaga!" Jemari lentik Tiara memukul meja meski tak terlalu keras. "Iya! Di mana dia sekarang?!"
"D-di toilet. Baru saja keluar." Jantung Anisa berpacu sangat cepat, sebuah reaksi alami ketika merasa ketakutan.
"Gimana, Em? Nungguin anak itu?" tanya Tiara ke Temari yang sedari tadi hanya berdiri di belakang Tiara sambil melipat tangannya. Dia membiarkan Tiara yang bekerja, sedangkan nanti Temari yang bicara langsung dengan Syila.
"Tunggu aja," Temari menduduki kursi depan Anisa yang kebetulan kosong, mengamati isi kelas dengan pandangan berkerut jijik. Kelas XI-A6 sangat penuh debu. Sudut-sudut atas kelas tampak tidak pernah dibersihkan. Sangat tidak cocok untuk kulitnya yang sensitif dan menyebabkan ruam-ruam merah serta gatal. Temari tidak menyangka SMA Kesatuan Bangsa memiliki kelas sejorok ini. Entah karena memang tidak pernah dibersihkan atau penghuni kelasnya memang sangat jorok. Temari tidak tahu mana yang benar.
"Em, gue bosen!" keluh Tiara yang duduk di kursi berhadapan dengan Temari seraya memainkan ujung rambutnya yang diatur soft curly.
Temari mengerutkan kening. "Terus?"
"Gimana kalau kita main-main bentar sebelum cewek itu dateng?"
"Main-main?" Temari tidak mengerti. Namun melihat raut Tiara yang mencurigakan, dia tahu ada yang direncanakan oleh sahabatnya itu.
"Heh!" Tiara berdiri, kembali mendekati Anisa yang tadinya mulai tenang karena tidak lagi mendapat bentakan. Tapi kini Risha kembali menegakkan tubuhnya, menatap takut-takut pada salah satu cewek populer di sekolahnya itu.
"I-iya, Kak?"
"Caranya gendutin badan kayak lo gimana? Gue pengen lebih gendut, tapi ngga segendut lo juga sih."
"Pffft... Hahaha!"
Temari dan Tiara tertawa puas. Menertawakan sesuatu yang sangat lucu bagi mereka, namun menyakitkan bagi Anisa. Objek dari lelucon mereka.
Anisa menunduk, merasakan sakit yang lagi-lagi menghantam hatinya karena menjadi bahan tertawaan orang lain. Rasa percaya dirinya kembali menurun dan kembali membenci tubuh berisinya yang ia dapat sejak baru dilahirkan.
Anisa memang memiliki badan itu sebagai anugerah Tuhan, bukan karena nafsu makannya yang besar atau dia yang tidak dapat menjaga tubuhnya. Program diet yang Anisa lakukan tidak memberi dampak apa pun pada timbangan tubuhnya. Diet ketat yang pernah dilakukannya satu tahun lalu bahkan membuatnya jatuh sakit. Namun Anisa belum menyerah. Dia masih menjalani diet sampai sekarang meski tidak terlalu ketat.
"Udah ngga usah didengerin. Mereka cuman iri sama kita.
Anisa teringat perkataan Syila tadi pagi. Dia ingin berpikir positif seperti itu. Tapi mengapa sulit sekali? Lagi pula apa yang membuat mereka iri? Memangnya sehebat apa Anisa hingga mereka iri? Cewek populer dan punya segalanya seperti Tiara dan Temari tidak akan iri padanya.
"Kok ngga dijawab? Gue kan pengen punya pipi tembem kayak giniiii!" Tiara dengan sengaja mencubit pipi Anisa sampai kemerahan dan pemiliknya meringis menahan sakit. Temari kembali tertawa keras, sangat puas melihat Tiara mempermainkan wajah cewek yang baru dikenal dan bahkan belum tahu namanya.
Anisa memundurkan wajahnya. Dia melihat sekitar dan tidak ada yang berani menghentikan tingkah Tiara yang membuatnya tidak nyaman. Ah, apa yang Anisa harapkan? Dibantu agar tidak lagi diejek oleh kakak kelas? Tidak mungkin! Semua teman sekelas bahkan pernah mengejek badan gemuk Anisa meski tidak sampai menyentuh wajahnya.
"Ih sok-sokan ngga mau gue sentuh! Eh lo harusnya senang, gue bisa nularin tangan dewi gue ke wajah lo. Siapa tau besok ngga buruk lupa kayak gini lagi! Oh bentar, gue baru sadar. Yang satu gembrot nan buruk rupa, satunya lagi pelayan. Cocok lah duduk sebangku! Hahahaa!!"
"Sialan lo, Ra! Gue kan ngga bisa berhenti ketawa!"
"Ya bagus, dong! Gue dari tadi liat lo murung terus. Gue kan pengen hibur lo!"
Temari mengusap air mata di sudut matanya karena terlalu banyak tertawa. Cewek bersurai kecokelatan itu mengambil napas dan mengeluarkannya perlahan.
"Hiburan lo udah sukses bikin gue ketawa. Thanks!"
"Sama-sama sayangkuuu!!" Tiara dan Temari ber highfive. Sangat puas memainkan perasaan Anisa yang benar-benar tak sanggup mengangkat wajahnya lagi. Rasanya sangat memalukan. Meski sebenarnya Anisa memiliki tenaga cukup untuk melawan, tapi membuat masalah di sekolah berada di nomor terakhir di daftar keinginannya.
"Lama banget temen lo?"
"Ng ngga tau, Kak...." Anisa menggigit bibirnya yang gemetar.
"Pake akal, dong! Telpon, kek! Di chat, kek! Apa sekalian susul sana di toilet! Bilang kalau ada yang nyariin dia. Gue pengen tau yang mana Syila itu!"
"I..iya, Kak." Anisa memutuskan untuk mencari Syila karena ponsel Syila dititipkan padanya dan kini ada diatas meja. Anisa pun tidak bisa sendirian menghadapi dua kakak kelasnya yang berurusan dengan Syila itu. Anisa bisa saja pingsan saking takutnya.
***
Syila mencuci tangannya di wastafel, menatap pantulan wajahnya yang dihiasi dengan lingkaran hitam di sekitar matanya. Cewek itu mengambil napas dalam-dalam, lalu menghembuskan karbondioksida langsung di depan cermin. Cermin itu memburam, Syila mengusapnya dengan telapak tangan.
Syila sepertinya sangat berjodoh dengan toilet. Karena tiap kali dia masuk ke sana, dia sendirian. Tidak ada cewek-cewek yang bergosip tentang dirinya lengkap dengan tatapan sinis. Seakan Syila memiliki kebebasan di ruang itu. Tapi tentu saja Syila tidak bisa bersembunyi di toilet sepanjang hari. Mau tidak mau dia harus keluar dan menghadapi tatapan penuh menghakimi lainnya. Entah sampai kapan Syila harus bertahan dengan hal yang sangat membuatnya tidak nyaman itu.
"Udah jam berapa sekarang?" gumam Syila sambil melirik jam tangan di pergelangan tangan kirinya. "Astaga! Gue di sini udah sepuluh menit? Anisa pasti nyariin dari tadi."
Akhirnya Syila merapikan seragamnya sebelum memutuskan untuk keluar dari toilet. Seperti biasa, koridor penuh oleh siswa-siswi yang menikmati waktu di luar kelas sambil menunggu bel masuk berbunyi. Padahal tadi sewaktu Syila ke toilet tidak seramai itu.
"Etttt mau ke mana?"
Syila terlonjak kaget dan refleks memundurkan tubuhnya. "Kak Dika! Ngagetin aja!"
Dika hanya tertawa. Suaranya yang menggelegar menunjukkan bahwa dia tertawa dengan sangat puas. Puas membuat Syila kaget karena kehadirannya yang tiba tiba. Well, sebenarnya tidak tiba tiba. Karena kebetulan Dika baru saja turun dari tangga dan melihat Syila baru keluar dari toilet yang letaknya memang tidak jauh dari tangga.
"Ke kelas."
"Ngapain? Ke kantin, yuk! Gue mau ngomong sesuatu sama lo."
"Ng... nggak deh, Kak. Kapan-kapan aja, ya?" pinta Syila dengan wajah memelas. Terus terang, mood nya belum sepenuhnya membaik. Lagi pula Syila masih tidak enak hati saat kemarin sempat membentak Dika ketika berpapasan di dekat tangga lantai tiga. "Kalau Kak Dika pengen ngomong, mending sekarang aja."
Dika terdiam seperti tengah memikirkan sesuatu. Syila mulai jengah. Dhika tidak kunjung mengatakan sesuatu sampai nyaris dua menit. Sampai akhirnya, Syila berdehem dan berniat beranjak pergi.
"Gue anter sampai depan kelas, ya?" Dika menawarkan diri.
"Boleh," Syila langsung menyetujui tanpa kecurigaan sama sekali. Lagi pula, Dika memang tidak memiliki niat apa pun.
Syila dan Dika berjalan bersampingan menuju kelas Syila yang letaknya di ujung. Dika diam-diam melirik Syila yang berjalan santai meski suara-suara bisikan terdengar jelas di antara mereka.
Dika paham benar rasanya dibicarakan oleh banyak orang, dan rasanya sangat lah tidak nyaman. Terlebih, sekarang Syila dibicarakan oleh orang orang yang membencinya. Dika tidak bisa membayangkan sebesar apa rasa tidak nyaman yang Syila rasakan. Untungnya, cewek itu tidak terpengaruh sama sekali. Seolah sudah terbiasa dengan itu semua.
"Syila." Dika bersuara ditengah keheningan.
"Hm?" gumam Syila sambil menolehkan kepalanya menatap kakak kelas nya itu.
"Lo... ngga apa-apa, kan?" tanya Dika hati hati. Dia bahkan tidak berani melihat Syila langsung, takut jika pertanyaannya akan membuat Syila mengingat perlakuan jahat Alex kemarin.