Anisa terlihat sesekali melirik kearah Syila. Rasa ingin tahunya sangat lah besar atas apa yang baru saja dialami teman sebangkunya itu hingga seluruh seragamnya kebasahan. Meski sekilas terlihat kering dan normal-normal saja, namun seragam itu tetap saja basah dan terlihat lebih gelap layaknya kain yang basah. Ditambah lagi beberapa kali Syila kedapatan menggigil dan bibirnya agak kebiruan. Pasti cewek itu kedinginan meski tak ia perlihatkan secara langsung di depan Anisa.
Rasa kemanusiaan membuat Anisa melepaskan kembali ransel yang semula tersampir di punggungnya. Dia mengambil sesuatu dari dalam tas lalu menyerahkannya pada Syila. Syila mulai menatapnya heran.
"Pake aja,"
Syila tak bergeming. Matanya menatap bergantian Anisa dan cardigan rajut berwarna biru muda yang diulurkan Anisa.
"Kamu kedinginan, loh. Aku ngga tau apa yang terjadi sama kamu tapi seragam kamu basah semua. Kamu butuh ini biar agak angetan dikit."
Tidak ingin menunggu lama, Anisa lekas menarik tangan Syila dan meletakkan cardigan nya di tangan Syila. Bahkan Anisa dapat merasakan tangan Syila yang sangat dingin dan mengerut. Fokus Syila terpecah antara memikirkan perkataan Anisa atau menerima cardigan itu.
Anisa memang tidak tahu apa yang terjadi pada Syila. Namun semua orang di kelas Alex tahu. Syila tidak ingin menceritakan apapun pada nya karena besok Anisa pasti akan mendengar sendiri dari cewek-cewek lain. Bukankah pengaruh Alex memang sebesar itu.
"Cepet pake!"
"Kamu gimana?"
"Ngga aku pake kok. Itu emang selalu ada di tas buat jaga-jaga kalau misalnya aku kedinginan. Dan sekarang kamu yang lebih membutuhkan itu."
"Makasih," Syila memakai cardigan itu. Perbedaan ukuran tubuh keduanya membuat tubuh Syila tenggelam. Dia memeluk tubuhnya, bernapas lega setelah merasakan kehangatan meski hanya sedikit mengingat cardigan itu hanya mampu menghalau udara agar tidak memperparah rasa dinginnya.
"Kebesaran, ya? Maklum badan aku sebesar ini."
"Ngga kok. Ini pas banget. Bikin anget juga. Aku balikin besok, ya?"
"Kamu bisa balikin kapan aja, kok." Anisa memandang langit di luar yang mulai mendung. Cuaca memang tidak bisa diprediksi akhir-akhir ini, namun terjebak hujan di sekolah bukan ide bagus. Mereka harus segera pulang sebelum hujan tiba.
"Mau pulang sekarang?"
Anisa segera mengangguk dan kembali memakai ranselnya.
Syila dan Anisa keluar bersama dari ruang kelas mereka. Sekolah mulai sepi, hanya ada beberapa siswa yang masih betah disana untuk menjalani rutinitas ekstrakurikuler masing-masing.
"Kamu ngga ikut ekskul, Nis?" tanya Syila, dari lantai atas memperhatikan anak ekskul basket yang melakukan pemanasan di pinggir lapangan.
"Dulu pernah ikut ekskul karya ilmiah. Tapi sekarang ngga lagi." jawab Aniaa lalu mengikuti arah pandang Syila.
"loh Kenapa?"
"Kegiatannya ngga jelas. Kadang malah satu bulan ngga ada pertemuan sama sekali. Semua anggotanya sibuk sama urusan masing-masing." Syila mengerti dan mengangguk, mungkin jika berada di posisi Anisa, dia juga akan keluar dari ekstrakurikuler itu secepatnya. "Kalau kamu? Ikut ekskul apa di sekolah yang dulu?"
"Ngga ikut apa-apa. Aku orangnya mageran, males juga. Mending tidur siang dari pada habisin waktu di sekolah buat ekskul. Haha," Setelah beberapa jam dipenuhi amarah setelah dipermainkan Alex, akhirnya Syila bisa tertawa lagi.
"Iya sih. Aku juga milih tidur siang sekarang."
Keduanya berbagi tawa layaknya teman yang sudah lama mengenal. Padahal, nyatanya mereka baru kenal dalam hitungan jam. Itu pun hanya mengobrol singkat dan terkesan canggung. Dan anehnya, kecanggungan itu benar-benar hilang saat ini.
~~~
Syila sampai di kediaman Prawira bersama Yusman. Hanya sendirian. Seperti yang Alex katakan tadi pagi, cowok itu pulang bersama temannya. Tidak lagi duduk di sebelah Syila dengan keterdiaman yang membosankan. Tapi Syila jauh memilih duduk sendirian di mobil sementara Yusman fokus mengendarai mobilnya, dari pada harus duduk di samping Alex. Syila masih menyimpan sakit hati pada cowok itu. Dengan tidak adanya Alex, Syila tidak perlu merasakan hatinya kembali mendidih.
Syila turun dan disambut sapaan pelayan ketika ia membuka pintu utama. Syila hanya tersenyum tipis pada mereka, karena sedang tidak dalam mood bagus untuk menyapa balik pelayan itu dengan keceriaan seperti biasa. Langkah nya terlihat secepat mungkin menaiki tangga menuju kamar. Beruntung, Syila tidak menemukan keberadaan Vina. Bisa timbul masalah lain jika Vina melihat Syila pulang dalam keadaan basah. Vina akan memaksa Syila untuk mengatakan apa yang terjadi dan berujung pada masalah lainnya.
Dua puluh menit Syila butuh kan untuk mandi dan berganti baju. Jemarinya masih sedikit mengerut, namun itu lebih baik daripada sebelumnya. Tubuhnya juga lebih hangat dari pada beberapa jam terakhir saat ia harus bertahan dalam pakaian basahnya.
Syila membawa keranjang berisi baju kotor dan sepatu basahnya, berniat mencucinya di belakang. Syila sedikit kesulitan membuka pintu karena kedua tangannya tidak menganggur. Mengandalkan sikunya untuk menggerakkan engsel pintu, akhirnya Syila berhasil keluar kamar.
Namun, sepertinya Syila keluar di waktu tidak tepat. Karena pada saat yang sama, Alex baru sampai di ujung tangga, tepat di hadapan Syila. Cewek itu sempat terkejut, namun kembali menormalkan ekspresinya seolah tidak melihat apa-apa. Dengan santai Syila kembali melanjutkan jalannya. Melewati Alex secepat mungkin sebelum mood Syila semakin memburuk karena teringat perlakuan buruk cowok itu.
Menghiraukan sosok Alex yang entah mengapa masih berdiri di tempat yang sama dengan tatapan yang sulit diartikan. Lalu menyentuh pipi sebelah kirinya yang memerah samar dan masih ada sedikit rasa panas. Membuktikan bahwa Syila mengerahkan seluruh emosinya untuk menampar cowok itu.
~~~
Syila sudah tahu ini akan terjadi.
Layaknya virus mematikan. Penyebaran hanya butuh waktu kurang dari dua puluh empat jam sampai berita tentang Syila menampar Alex terdengar di seluruh penjuru kelas. Dari kelas sepuluh sampai kelas dua belas, dari ujung koridor kiri sampai ujung lainnya. Semuanya telah mendengar berita itu. Dan tentu saja, Syila adalah pihak yang bersalah di berita itu.
Mereka hanya menggunakan kalimat 'Syila menampar Alex sebagai hot Line, tanpa memahami alasan cewek itu melakukannya. Tanpa tahu betapa kejamnya sosok Alex kemarin siang. Siapa peduli? Bagi mereka, Alex tetaplah pihak yang harus dibela.
Tatapan setajam laser mengikuti setiap langkah Syila yang baru keluar dari mobil. Berbanding terbalik saat mereka menyambut kedatangan Alex dari mobil yang sama. Setelah Alex pergi dengan langkah lebar ke kelasnya, mereka tidak membubarkan diri. Memilih untuk menghakimi Syila meski tanpa tindakan fisik.
Tentu saja Syila merasa sangat tidak nyaman. Siapa yang nyaman jika mendapat tatapan menghakimi dari banyak orang yang bahkan berjenis kelamin yang sama dengannya? Hanya saja, Syila mulai berusaha keras mengabaikan para cewek itu. Mengabaikan keberadaan dan suara mereka yang sangat mengganggu itu.
"Syila!" Syila menoleh saat mendengar suara yang dikenalnya. Anisa baru saja datang dengan diantar sopir dan langsung menghampiri Syila. Syila langsung bernapas lega. Setidaknya dia memiliki teman mengobrol dalam perjalanannya menuju kelas yang pasti diawasi sekian pasang mata.
"Pagi, Nis. Ayo ke kelas!" Rupanya kebiasaan Syila yang suka memberi sapaan terbawa hingga ke sekolah. Tentu saja hanya pada orang tertentu yang sudah dikenalnya. Dia tidak mau dianggap sok kenal, apalagi namanya sudah buruk sejak awal.
"Itu cewek yang gendut mau aja temenan sama si pembokat? Apa ngga takut ketularan jadi pembokat juga?"
"Patut dipertanyakan tuh! Gue kalau jadi dia ogah banget temenan sama pelayan."
"Well. Gue jadi ngerti kenapa kelasnya Kak Alex ngeguyur dia pake air. Biar agak punya rasa malu."
"Diguyur pake air? Sumpah? Sial banget gue ngga liat live. Pasti keren banget!"
"Udah ngga usah didengerin. Mereka cuma iri sama kita. Yuk!" ujar Syila sengaja mengeraskan volume suaranya. Sengaja agar para cewek itu mendengar ucapan Syila yang kepalang kesal Anisa ikut terseret menjadi bahan ejekan. syila tidak berminat bermain fisik. Cukup Alex saja yang merasakan kuatnya tamparan yang ia berikan. Syila tidak akan memberikannya ke cewek cewek itu. Hanya mengotori tangannya saja.
"Jadi berita itu bener apa gak?" tanya Anisa saat keduanya melangkah menuju kelas mereka. Beberapa tatapan sinis masih Syila dapatkan, namun dia memusatkan perhatiannya pada Anisa.
Syila menoleh tanpa menghentikan langkahnya. "Berita apa?"
"Kamu dikerjai tadi di kelas Kak Alex. Jadinya badan kamu basah semua. Bener, kan?"
Syila sengaja mengulur waktu untuk menjawab. Atau lebih tepatnya, Syila tidak ingin menjawabnya.
"Udah ah ngga usah bahas itu. Males!"
Anisa mulai memiringkan wajahnya, melihat raut tidak nyaman Syila atas pertanyaannya. Mungkin Syila memang ingin melupakan kejadiannya kemarin tanpa menceritakannya pada siapa pun.
"Oke."
~~~
"Em, lo ngga tau berita ter hot pagi ini?"
Tara, cewek yang baru datang itu menghampiri teman sebangkunya. Sementara seorang cewek yang ia ajak bicara tidak menghiraukan sama sekali. Asyik dengan novel yang baru dibaca separuh.
"Temari, dengerin gue dulu dong!" Tara menggerakkan pundak Temari dengan keras. Berusaha mengalihkan perhatian cewek kurus yang menjadi teman sebangkunya sejak kelas sepuluh itu.
Temari sedikit melirik Tara dengan pandangan malas, lalu kembali terfokus pada novel roman yang dibacanya. "Hot news apa, sih?" tanya Temari santai, seakan dia terbiasa mendengar Tara berseru heboh hanya karena suatu hal. Malah terkadang karena hal-hal yang tidak terlalu penting.
"Alex,"
Mendengar satu nama itu disebut, Temari menutup novelnya tanpa menyelipkan pembatas. Selalu seperti itu. Alex selalu menjadi perhatian utama Temari hingga melupakan semuanya selain cowok itu.
"Kenapa sama Alex?"
"Kemarin, katanya dia ditampar sama seorang cewek."
"DITAMPAR?!" Temari berteriak saking terkejutnya. Pupil mata cewek itu melebar, bibirnya yang dipoles lipstik menganga, dan matanya menatap Tara meminta penjelasan.
"Slow dong, Babe!" Tara menepuk pundak Temari agar cewek itu lebih tenang. Tara sudah paham Temari akan bereaksi seperti itu. Reaksi tidak terima jika ada seseorang yang menyakiti Alex. Temari menghela nafas, mencoba mengatur nafasnya yang sempat terengah. Bahunya yang awalnya menegang menjadi lebih rileks.
"Siapa cewek yang berani beraninya menyentuh Alex bahkan menyakitinya?" tanya Temari setelah lebih tenang. Namun tatapan Temari masih menyimpan kemarahan disana. Tara bergidik ngeri. Temari bisa menjadi hewan buas jika sedang marah. Apalagi kemarahannya kali ini ada sangkut pautnya dengan Alex Prawira.
Tara menggeleng pelan. "Gue juga ngga paham. Gue barusan denger dari cewek-cewek yang ngumpul di halaman depan. Biasa, nyambut kedatangan Alex. Dan lo tau? Alex lebih nakutin dari biasanya."
"Maksud lo?"
"Gini lo, Em. Gue dan lo serta siapa pun udah tau gimana watak Alex yang dingin dan jutek itu. Tapi pagi ini keliatan beda banget. Kayak... auranya lebih horor gitu. Kayaknya sih gara-gara cewek yang diberitain sama dia itu."
"Sial! Tau gini gue ngga bolos kemarin! Biar tau apa yang bikin Alex kayak gitu!"
Temari sedikit banyak menyesal karena tidak masuk sekolah kemarin. Dia dan Tara sengaja membolos untuk mengikuti open casting iklan yang dijadwalkan pagi. Temari dan Tara memang sering mengikuti kegiatan entertain seperti casting iklan, drama dan sejenisnya. Keduanya pernah sekali berhasil menjadi model iklan tahun lalu. Membuat nama mereka sangat populer di sekolah. Sebagai gantinya, dua cewek populer dan cantik itu pun harus rela meninggalkan sekolahnya.
Temari mengepalkan tangannya di atas meja. "Gue harus tanya ke Alex langsung!" ucapnya final, kemudian melangkah lebar menuju kelas Alex. Berharap cowok itu ada dikelasnya.