Chereads / life must Go on / Chapter 19 - Bab19

Chapter 19 - Bab19

"Pak Hardi," panggil Roni dari kejauhan seraya mengatur napasnya. Tak lama kemudian, Dika dan Syila mengikutinya dan mereka bertiga berdiri bersisian.

"Mau ngapain kalian?" sahut Hardi, galak. Pria berkumis tebal itu menatap Roni, Dika, dan Syila satu persatu. Menatapnya seolah ketiga siswa itu ketahuan akan membolos pelajaran.

"Kami ijin keluar ya, Pak. Sebentaaaar aja ya!" pinta Dika dengan raut wajah memelas.

"Mau ke mana?"

"Ke toko sebelah, Pak. Nyari sesuatu," jawab Roni. Tidak lupa juga memasang wajah yang layak dimintai belas kasihan.

"Nyari apa?"

"Cola, Pak."

"Cola?"

"Iya, Pak. Minuman dalam kaleng itu, lho! Masa Pak Hardi nggak tau?"

Hardi tertawa singkat lalu memasang wajah menakutkan secepat kilat. "Nggak! Di kantin ada. Nggak usah mengada-ada kalian! Bilang aja mau bolos. Iya kan? Kamu juga, cewek cewek kok ikut bolos?"

Syila seketika tersentak ketika pak Hardi menatapnya dengan tajam. Dia hanya bisa menunduk dalam.

"Kalau ada di kantin kita nggak mungkin mohon-mohon keluar, Pak." Dika tidak mau kalah mengeluarkan argumentasinya.

"Sudah sana! Masuk kelas! Udah mau masuk malah keluyuran!" Entah sampai kapan satpam itu akan mengomel dan tidak mengizinkan ketiganya keluar sekolah.

Roni melihat jam tangannya lagi. Benar-benar tidak ada waktu.

Sebenarnya, Roni dan Dika sudah terbiasa terlambat. Mereka tergolong siswa berprestasi yang diloloskan dengan hanya melalui ucapan permintaan maaf. Namun, kali ini mereka membawa Syila. Murid baru yang tidak mungkin terlambat diari pertamanya sekolah. Citranya akan memburuk nanti. Terlebih, citranya telah lebih dulu buruk karena julukan pelayan kurang ajar yang ditujukan untuknya.

"Kami mohon, Pak! Lima menit, Pak. Janji, lima menit!" Dika tidak menyerah untuk meyakinkan Hardi.

"Empat menit deh, Pak! Nanti kalau ternyata di sana nggak ada, kita langsung balik kok Pak! Ya? Ya?"

Sepertinya, Dika memiliki kemampuan mumpuni untuk membujuk seseorang. Buktinya, sekarang Hardi menghela napas dan menyerah.

"Janji ya, empat menit! Kalau lebih, saya langsung bawa kalian ke Kesiswaan karena berniat bolos."

"Siap, Pak!"

"Ila, bisa lari, kan?" Roni bertanya pada Syila yang sedari tadi hanya diam. Bingung harus melakukan apa sedangkan Roni dan Dika sudah melakukan tugasnya dengan baik. Tugas membujuk Hardi agar dibukakan pintu gerbang.

"Bi.. bisa."

"Satu... dua... tiga..."

~~~

"Bisa bawanya?"

"Bisa, kok!" Syila sudah selesai membayar dan bersiap mengangkat kardus berisi dua puluh empat kaleng cola itu dengan tangan kurusnya.

"Si Anjir, bukannya langsung bantuin malah pake nanya dulu! Sini, gue bawain!" Dika menyambar kardus cola yang akan dibawa Syila untuk ia bawa. Syila berusaha meraihnya kembali namun Dika tidak mau memberikannya. "Cowok macem apa, Lo?"

"E.. eh, nggak usah!" Syila tentu saja menolak kebaikan Dika. Dua cowok itu sudah sangat berjasa membantu Syila menemukan apa yang ia cari, jadi dia tidak mau menambah beban mereka.

"Nggak apa-apa! Nanti tangan lo patah yang repot kita juga." Dika melirik tangan kurus Syila. Tampak sangat mudah patah jika mengangkat sesuatu yang berat.

"Aku kuat kok!"

Dika dan Roni tampaknya pura-pura tidak mendengar. Kedua cowok itu tetap melangkah, agak cepat karena waktu mereka tinggal sedikit sebelum waktu yang diberikan sang satpam berakhir. Syila mengikuti dengan susah payah. Langkah kaki Dika dan Roni terlalu panjang untuk dikejar.

"Yash! Berhasil! Makasih Pak Hardi!" Dhika bersorak senang. Tidak menyesal ia menyuruh penjual di toko kelontong tadi untuk melayani mereka cepat-cepat. Yang sukses mendapat lirikan sinis dari pelanggan lain yang merasa datang lebih dulu.

"Iya, iya. Sana masuk!"

Syila tersenyum singkat sebagai tanda berterima kasih pada Hardi. Dia kembali mengekori Roni dan Dika yang tampaknya melupakan keberadaan dirinya. Padahal, yang mendapat perintah membeli cola adalah Syila, tapi dua cowok itu tampaknya jauh lebih bersemangat.

"Lho, Syila man.. " Dika seketika teringat keberadaan Syila, lantas berbalik dan ternyata Syila melangkah dibelakangnya tanpa suara. "Astaga! Gue kira lo ketinggalan di toko tadi."

"Badan lo kekecilan, sih."

Syila sedikit mendengus, jengkel karena ditertawakan dua cowok jangkung itu, namun hanya sementara karena berikutnya dia tersenyum tulus. Syila tidak tahu seandainya tidak ada Roni dan Dika tadi. Pasti dia akan mendapat masalah lain nantinya. Masalah yang diakibatkan Alex Prawira.

"Ini ditaruh mana?"

"Biar aku yang bawa ke kelas Alex." Syila mengambil alih kardus cola-nya. Kali ini Dika tidak melarang karena memang harusnya Syila yang bawa sekarang. "Makasih banyak, ya."

"You're welcome." Roni dan Dika membalas senyuman dari Syila. Tak kalah tulus dari cewek itu.

"Kita pisah di sini, ya? Gue sama Roni mau ke kantin bentar. Seret nih tenggorokan."

Syila tertawa kecil lalu mengangguk. "Besok kalau ada waktu aku traktir kalian makan sepuasnya!"

"Boleh."

"Nggak usah, kita ikhlas kok bantuin lo. Nggak butuh imbalan." sela Roni menguburkan harapan Dhika makan gratis sepuasnya.

Dhika menatap Roni sengit. Harusnya mereka bisa mendapat makan gratis, kan? Namun Roni justru menolaknya.

"Jangan kayak orang susah, Dik."

"Bye, Ila. Kalau ada apa-apa, jangan segan minta bantuan kita."

Setelah berpamitan singkat, Syila melanjutkan langkahnya menuju lantai tiga dimana kelas Alex, si cowok dingin itu berada. Cewek itu berusaha mengatur napasnya yang terengah engah. Menaiki tangga sambil membawa sekardus cola ternyata melelahkan juga.

Sebuah pintu dengan tulisan XII-A2 diatasnya adalah alasan Syila berhenti. Dia mencoba mengatur nafas selama beberapa detik, sembari menyiapkan diri bertemu Alex agar dia tidak refleks memukul cowok itu karena sukses membuat jam istirahatnya terbuang sia-sia karena menuruti perintah cowok itu.

Setelah dirasa cukup, Syila perlahan membuka pintu kelas. Cukup kesulitan karena dia harus membawa kardus cola yang mungkin tidak berat bagi Dhika namun sangat melelahkan bagi Syila.

Baru saja Syila mengucapkan kata permisi, sesuatu lebih dulu menyambutnya.

BYUR!

"Hahahahaha!!"

Badan Syila terlihat basah kuyup. Tubuhnya tak ada yang tak terlewati oleh guyuran air dari atas pintu. Matanya refleks memejam, terlalu takut untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi, dan takut untuk melihat reaksi siswa di dalam kelas. Yang Syila tahu dan dengar hanyalah suara mereka yang tertawa puas, sedetik setelah air seember penuh mengguyur tubuh Syila dari atas pintu.

"Mampusin nggak nih?"

"Mampusin lah!"

"Mampus lo!"

"Hahahaha!!"

Syila membuka matanya dengan hati-hati. Pertama yang ia rasakan adalah rasa perih di matanya. Sebelah tangannya mengusap wajahnya, sementara tangan yang lain masih memeluk kardus cola yang entah mengapa rasanya tidak seberat sebelumnya.

Pandangannya normal beberapa saat kemudian. Saat itu pula, Syila mampu melihat dengan jelas, termasuk sosok Alex yang tengah berdiri di hadapannya sambil tersenyum sinis andalannya. Senyum yang selalu ia tunjukkan di hadapan Syila saja.

"Lama banget beli cola doang," ucap Alex seraya melihat tubuh basah Syila dari atas ke bawah. Mungkin karena masih sangat shock, Syila tidak bisa bergerak. Kakinya terasa diikat di tempat yang sama.

"Lo ngapain beli sebanyak ini?" Alex menunjuk kardus cola yang ikut basah di tangan Syila. "Gue kan cuma nyuruh beli satu. Satu kaleng, bodoh!"

Tawa yang lebih keras terdengar. Syila merasa dirinya diperlakukan oleh Ales mirip dengan hewan sirkus sekarang. Menjadi bahan lelucon bagi orang-orang yang belum ia kenali sebelumnya sama sekali tidak pernah terbayangkan oleh Syila, sepanjang hidupnya.

Brak!

Syila menjatuhkan kardus cola yang dipegangnya. Membiarkannya jatuh hingga menimbulkan suara yang cukup keras. Tawa langsung berhenti detik itu juga. Tidak ada yang berani mengeluarkan suara.

Tungkai cewek itu gemetar, namun perlahan ia mengambil langkah mendekati Alex. Kilatan marah dapat dilihat jelas dari mata bulatnya yang berkaca-kaca. Entah karena Syila ingin menangis, atau sisa air tadi. Tidak ada yang tahu.

PLAK!

Semuanya memekik kaget, sepersekian detik setelah Syila melayangkan tamparannya ke pipi kiri Alex yang berada tepat di hadapannya. Tamparan yang sangat keras, hingga Alex refleks mengelus pipinya dan meringis. Rasa perih langsung mendominasi wajah cowok itu. Rasanya tidak mungkin tamparan keras itu berasal dari tangan kurus Syila. Namun kenyataannya demikian. Membuktikan bahwa emosi seseorang bisa merubah kekuatan seseorang. Dari lemah menjadi kuat. Dari diam menahan diri menjadi meluapkan semuanya.

"Puas kan, lo? Ini kan yang lo harapkan dari rencana lo? Bikin gue kayak orang bodoh terus mempermalukan gue di depan orang banyak. Puas lo sekarang, Alex?!" Syila mulai berseru keras. Tangannya terkepal di kedua sisi tubuhnya yang masih meneteskan titik-titik air. Bibirnya bergemeletuk, antara menahan dingin dan menahan amarah yang bisa saja terbakar setelah ini.

Ingin sekali Syila melayangkan satu tamparan lagi. Sangat ingin. Namun, bayangan Vina dan Raka langsung terlintas di kepalanya. Memebuat Syila tidak bisa menumpahkan amarahnya pada cowok ini, pada cowok yang membuatnya tampak menyedihkan sampai harus meminta pertolongan pada orang lain hanya karena sebuah perintah yang sama sekali tidak serius. Rasa balas budi atas kebaikan orang tua Alex adalah alasan mengapa Syila sama sekali tidak bisa menumpahkan amarahnya lebih banyak. Hanya sebuah tamparan keras sebagai tanda bahwa Syila benar-benar sakit hati, benar-benar merasa dipermainkan tanpa ia tahu apa dosa yang telah diperbuatnya pada Alex.

"APA-APAAN LO ?!" Alex membentak keras. Sangat keras. Namun cowok itu tidak mencoba membalas perbuatan Syila.

Sejahat apa pun Alex, sebenci apa pun Alex pada Syila, dia tetap tidak bisa menyakiti fisik perempuan.

Namun sepertinya Alex lupa, bahwa ia menyakiti hati perempuan. Pernah. Dan waktunya adalah baru saja. Cewek berpenampilan berantakan inilah yang baru saja disakiti Alex.

"Apa?! Lo mau marah sama gue? Silakan! Siapa pun tau gue lah yang pantas marah di sini!"

Syila mengusap kasar matanya yang berair. Tidak seharusnya dia menangis di hadapan orang ini. Syila tidak ingin terlihat lemah, rapuh dan mudah ditindas yang membuat Alex merasa menang.

Namun Syila juga belum mampu menemukan dirinya yang lebih kuat. Syila hanya merasakan dadanya sesak. Ia harus segera keluar dari kelas ini sebelum dirinya semakin meledak dan membuat onar di sana. Syila menatap Alex untuk yang terakhir kali. Entah apa yang ada dipikiran Alex hingga ia hanya berdiri, diam, dan bungkam. Seolah emosinya yang tersulut setelah Syila dengan berani menamparnya kembali memadam dengan sendirinya.

"Makasih buat kejutannya! Ini... sangat mengesankan!" ucapnya ke penghuni kelas yang mendadak hening, sebelum Syila benar-benar pergi dari ruang kelas itu.

Banyak yang bilang bahwa kelas Syila terkenal atas kelas neraka nya. Namun bagi Violet, kelas neraka yang paling tepat adalah di belakang punggungnya. Kelas XII-A2.